Minggu, 11 Mei 2008

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar;Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf)

Kumpulan Artikel Islami

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar;Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf) Seorang syaikh reformis besar, Muhammad RasyidRidha, siapa yang tidak mengenal matahari di tengah siang benderangRiwayat hidup reformis ini termasuk riwayat-riwayat hidup yang sangatmengesankan perasaan saya dan menggantungkan hati saya untukmengetahui lebih jauh lagi tentang siapa dia. Yah, tokoh yang lain danbeda dari tokoh-tokoh yang lainnya. Berbagai pengalaman di duniamembuat jalan Rasyid menjadi terang, ia cari kebenaran dengan dalilnya,bekerja keras demi menyampaikan dakwah, memberantas bid’ah danmenyebarkan apa yang dianggapnya haq. Ia terus belajar dan bepergianuntuk mencari orang yang kelak dapat menerangi cakrawala ma’rifahdengan dalilnya. Setelah berada di perguruan yang bertarung denganberbagai pengalaman, akhirnya kondisinya pun menjadi stabil. Berkattaufiq Allah, ia berjalan di atas jalan orang-orang yang shalih,membawa panji salaf sebagai penyebar, pengajar, pembela danpendebatnya. Maka lahirlah di tangannya generasi intelektual yangmengikuti jejaknya dan berkomitmen dengan manhaj Salaf.

Siapa Muhammad Rasyid Ridha

Beliau adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin binBaha’uddin al-Qalmuni, al-Husaini. Nasabnya sampai kepada Alu al-Bayt[Ahli Bayt] .

Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa bernamaQalmun, sebelah selatan kota Tharablas [Tripoli], Syam. Ia mulaimenuntut ilmu dengan menghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmuberhitung.

Kemudian belajar di madrasah “ar-Rasyidiyyah” yang bahasa pengantarnyaadalah bahasa Turki. Tetapi tak berapa lama, ia tinggalkan tempat ituuntuk meneruskan studinya di sekolah nasional Islam [al-Wathaniyyahal-Islamiyyah] yang didirikan dan diajarkan gurunya, Husain al-Jisr.Ia mengenyam belajar di sekolah ini selama 7 tahun yang kemudianmerubah perjalanan kehidupannya dan mulailah ‘rihlah’Tasawufnya.

Bersama Tarekat Syadziliyyah

Beliau mulai mempelajari tasawuf ketika gurunya, Husain al-Jisrmembacakan kepadanya sebagian buku-buku Tasawuf, di antaranya beberapapasal dari kitab ‘al-Futuuhaat al-Makkiyyah’ dan beberapa pasal darikitab karya al-Fariyaq.

Pernah ia membaca ‘wird as-Sahar’ dari buku Tasawuf itu, dan saatmembaca bait berikut:

Dan derai air mata telah mendahuluiku

Akibat rasa takut terhadap-Mu

Beliau berhenti dan menolak untuk membacanya karena merasa air matanyatidaklah berderai saat itu. Penolakannya ini semata karena merasa maluberdusta kepada Allah sebab kenyataannya air matanya belum dan tidakberderai ketika membaca bait itu.!!

Setelah beliau menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin, sadarlahia bahwa membaca ‘Wird’ tersebut termasuk bid’ah. Karena itu,ia pun meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajarial-Qur’an.

Beliau juga sempat belajar dengan gurunya yang lain, Abu al-Mahasinal-Qawiqji hingga berhasil mendapatkan ‘ijazah’ [semacam rekomendasisah sebagai murid yang berhak membaca buku gurunya-red] untuk kitab

‘Dala’il al-Khairat.’

Setelah mempelajarinya, semakin nyata baginya bahwa kebanyakan isibuku tersebut mengandung kedustaan terhadap Nabi SAW, maka beliau punmeninggalkannya.

Ia kemudian beranjak membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang berisishalawat kepada Nabi SAW yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan[valid].

Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah

Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa yang membuatnyagandrung mempelajar Tasawuf adalah pesona kitab ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Diin’karya Imam al-Ghazali.

Kemudian beliau meminta kepada gurunya dalam tarekat Syadziliyyah,Muhammad al-Qawiqji untuk memperkenankannya untuk tetap menjalankantarekat Syadziliyyah secara formalitas saja namun sang guruberkeberatan seraya berkata, “Wahai anakku, aku bukan orang yang tepatuntuk mengabulkan permintaanmu itu. Permadani ini telah dilipat danpara penganutnya telah berlalu…”

Syaikh Rasyid juga menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-Husainiberhasil menjadi seorang Sufi terselubung dalam tarekatNaqsyabandiyyag. Ia beranggapan dirinya telah mencapai tingkat‘Mursyid Sempurna’.

Karena itu, Rasyid lalu mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah ini melaluibimbingan temannya itu. Beliau akhirnya banyak menghabiskan usianyadalam tarekat ini. Mengenai hal ini, beliau bertutur, “Di sela-selaitu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara ruhani yang terjadi diluar kebiasaan. Dari banyak kejadian itu, aku berupaya menafsirkannyanamun sebagiannya tak berhasil aku ungkap.”

Beliau melanjutkan, “Akan tetapi buah cita rasa yang tidak lazim initidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh sarananya adalahdisyari’atkan atau sebagiannya yang bernuansa bid’ah dibolehkanseperti yang kemudian aku teliti lagi.”

Rasyid menyebut kegiatannya menjalani ‘wirid harian’ dalam tarekatNaqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama ‘Allah’ di dalamhati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan keduamata, menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sangguru.

Setelah di kemudian hari jelas baginya semua itu, ia menyebut wiriditu sebagai perbuatan bid’ah bahkan dapat mencapai kesyirikanterselubung ketika seseorang mengikat hatinya dengan hati sang guru.Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang hamba di dalam setiap ibadahnyaharus menuju Allah semata, dengan lurus total dan tidak condong sertaberserah diri kepada-Nya dalam agama.

Mengenai pengalamannya bersama aliran ‘Tasawuf’ ini, Syaikh Rasyidkemudian menyebut banyak hal, di antaranya, beliau mengatakan,“Kesimpulannya, saya dulu berkeyakinan bahwa Thariqat [Tarekat/Jalan],Ma’rifah, Penyucian jiwa dan mengetahui rahasia-rahasianya adalahdibolehkan secara syari’at, tidak terlarang sama sekali dan dapatberguna seraya berharap mencapai ma’rifat Allah, tanpa melakukannyatidak akan mencapai sasaran.”

Mendapat Hidayah, Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Salaf

Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai Sufi, beliaumenuturkan pengalamannya, “Saya sudah menjalani TarekatNaqsyabandiyyah, mengenal yang tersembunyi dan paling tersembunyi darimisteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Aku telah mengarungi lautanTasawuf dan telah meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokohdan buih-buihnya yang terlempar ombak. Namun akhirnya petualangan ituberakhir ke tepian damai, ‘pemahaman Salaf ash-Shalih’ dan tahulah akubahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”

Beliau banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ danartikel-artikel para ulama dan sastrawan. Terlebih, pengaruh gurunya,Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau benar-benarterpengaruh sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkanakal dan pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah danmenggabungkan antara ilmu agama dan modern serta mengupayakan tegakkokohnya umat dalam upaya menggapai kemenangan.

Dan yang lebih banyak mempengaruhinya lagi adalah beliau buku-bukukarya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Hal itu, menciptakan gerak dan aktifitasnya setelah sebelumnyatenggelam dalam kubangan kemalasan, kehilangan kesadaran danterjerumus ke dalam berbagai bid’ah dan kesesatan seperti yang adapada aliran Tasawuf.

Mengingkari Penganut Tarekat-Tarekat Sufi

Kejadian pertama di mana secara terang-terangan beliau mengingkaritarekat-tarekat sufi itu adalah saat suatu hari, seusai shalat Jum’at,salah satu keluarga penganut tarekat Sufi mengadakan acara yangdisebut Rasyid sebagai ‘Pertemuan Dengan Maulawiyyah’.

Mengenai hal ini, Rasyid mengisahkan, bahwa tatkala sudah tiba waktupertemuan, para guru Sufi yang sering disebut ‘Darawisy Maulawiyyah’berkumpul di majlis mereka. Di depan mereka duduk sang guru resmi. Disitu, hadir para bocah-bocah berwajah tampan dan mulus, berpakaianputih cemerlang layaknya jilbab para pengantin. Mereka menari-narimengikuti irama musik, berputar-putar dengan sangat cepat serayabersorak-sorai. Jarak mereka beriringan, tidak saling berbenturan,mengulurkan lengan-lengan dan memiringkan pundak-pundak. Satu demisatu dari mereka melewati sang guru seraya merunduk.

Pemandangan itu sungguh mengganggu dan melukai perasaan Rasyid. Iatidak menyangka kondisi kaum muslimin sampai sekian jauh terperosok kedalam bid’ah dan khurafat. Betapa tega mempermainkan keyakinan manusiadan meracuni akal pikiran mereka. Yang benar-benar menyakitiperasaannya adalah anggapan mereka bahwa permainan bid’ah itu adalahsebagai bentuk ibadah dalam mendekatkan diri kepada Allah. Bahkanmendengar dan menyaksikan pemandangan itu mereka anggap sebagai ibadahyang disyari’atkan.

Rasyid tidak hanya bertopang dagu menyaksikan hal itu. Ia terpanggiluntuk mengemban kewajiban sesuai dengan bacaan yang selama ini iadapatkan dari referensi Salaf baik melalui kitab-kitab mau punmajalah-majalahnya.

Ia mengisahkan, “Aku katakan kepada mereka, ‘Apa ini.’ Salah seorangmenjawab, ‘Ini dzikir tarekat maulana Jalaluddin ar-Rumi, penyandangkedudukan terhormat.!’ Mendengar itu, aku tidak dapat menahan dirilagi. Aku langsung berdiri di ruang utama seraya berteriaksekencang-kencangnya, yang kira-kira bunyinya, ‘Wahai manusia dan kaummuslimin! Ini perbuatan munkar, tidak boleh dilihat apalagimendiamkannya sebab sama artinya menyetujui dan melegitimasi parapelakunya. Padahal Allah berfirman, ‘Mereka menjadikan agama merekasebagai ejekan dan mainan.’ Sungguh, aku telah menjalankankewajibanku. Karena itu, keluarlah kalian, semoga Allah merahmati!’”

Kemudian, Rasyid pun cepat-cepat keluar menuju kota. Teriakan ‘Salafi’-nyaitu berbuah juga. Sekali pun baru diikuti segelintir orang tetapigaungnya masih terus bergema di tengah masyarakat. Ada pihak yangmendukung dan ada pula yang menentangnya.

Sekalipun banyak dari kalangan tuan-tuan guru Sufi yang menentang danmengingkari tindakan Rasyid, namun anak muda ini bertekad akan terusmenempuh caranya dalam memperbaiki masyarakat dari kesesatan-kesesatandan bid’ah-bid’ah tersebut.

Ironisnya, justeru di antara yang menentangnya itu adalah gurunyasendiri, yang dulu beliau pernah mendalami tarekat Syadzili padanya,Syaikh Husain al-Jisr. Sang guru beranggapan, tidak boleh mengganggupara Sufi dan aktifitas bid’ahnya, siapa pun orangnya. Saat itu,gurunya itu berkata kepadanya, “Aku nasehati kamu agar tidakmengganggu para ahli tarekat.” Rasyid menjawab dengan nada mengingkari,“Apakah para ahli tarekat itu memiliki hukum-hukum syari’at sendiriselain hukum-hukum umum untuk seluruh umat Islam.”

Ia menjawab, “Tidak! Tetapi mereka memiliki niat yang tidak samadengan niat sembarang orang, mereka juga memiliki pandangan yangberbeda dengan pandangan orang-orang.” Rasyid menjawab, “Dosa yangdilakukan para ahli tarekat itu lebih besar daripada dosa pelakumaksiat biasa sebab mereka [para ahli tarekat] telah menganggapmendengarkan kemungkaran dan tarian yang dilakukan bocah-bocah tampandan mulus itu sebagai bentuk ibadah yang disyari’atkan sehingga merekaitu telah membuat syari’at agama untuk diri mereka yang tidak pernahdiperkenankan Allah sama sekali. Tetapi saya tidak pernah tidakmengingkari suatu kemungkaran yang terjadi di hadapan mata saya.!”

Sekali pun hujjah Rasyid sangat kuat dalam membantah gurunya, hanyasaja sang guru tetap berpegang pada pendiriannya karena menganggap iamemiliki kehormatan dan kemuliaan.!!

Perbedaan pendapat di antara murid dan sang guru itu terus berlanjut,bahkan semakin tajam saat Rasyid berhijrah ke Mesir. Apalagi melaluimajalahnya, ‘al-Manar,’ Rasyid sangat mengingkari perbuatanpara ahli tarekat Sufi itu. Sebab ia sudah melihat sendiri betapakemungkaran dan bid’ah yang terjadi dalam berbagai kegiatan spritualtarekat-tarekat sufi itu seperti perayaan maulid. Sementara itu, sangguru, al-Jisr gigih pula membantah pendapat Rasyid, yang kemudiandibalas pula oleh Rasyid melalui majalahnya.

Setelah banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadapbuku-buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim,ditambah buku karya Ibn Hajar ‘az-Zawaajir ‘An Iqtiraaf al-Kabaa’ir’,Rasyid terus menentang tindakan para penyembah kuburan [Quburiyyun]dari kalangan aliran Tasawuf dan lainnya.

Ia pun telah mengkaji secara seksama buku karangan al-Alusi,

‘Jalaa’ al-‘Ainain Fii Muhaakamati al-‘Ahmadiin’. Buku inimenyadarkannya mengenai penyebab-penyebab terjadinya penyimpanganaliran Tasawuf dan betapa jernihnya dakwah Syaikhul Islam. Iamenyadari, bahwa ucapan-ucapan al-Haitsami dan ulama Tasawuf [kaumSufi] lainnya tidak lain hanya terbit dari hawa nafsu dan bualan kaumSufi semata.!!

Semoga Allah, merahmati Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Sang reformisbesar atas apa yang telah dipersembahkan dan dilakukannya dalammenasehati dan membongkar kedok kaum Sufi.

Semoga Allah menerima taubatnya dan mema’afkan ketergelincirannya. WaShallallahu ‘ala Sayyidina Muhammad, Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Ditulis oleh Abu ‘Umar al-Manhaji, dari situs, ad-difa’ ‘an as-Sunnah.[AH]

Artikel Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar;Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf) diambil dari http://www.asofwah.or.id
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar;Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf).

Tidak ada komentar: