Senin, 16 Juni 2008

Tabahlah Menghadapi Musibah

Kumpulan Artikel Islami

Tabahlah Menghadapi Musibah Allah telah menetapkan takdir dan ajal seluruhmakhluk-Nya, mengatur dan menentukan segala amal perbuatan sertatindak-tanduk mereka. Lalu Allah membagi-bagikan rezeki dan hartaduniawi kepada mereka. Allah menciptakan kehidupan dan kematiansebagai ujian, siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Allahjuga menjadikan iman terhadap qadha dan takdir-Nya sebagai salah saturukun iman. Setiap sesuatu yang bergerak atau berdiam di langit dan dibumi, pasti menuruti kehendak dan keinginan Allah.

Dunia ini sarat dengan kesulitan dan kesusahan; diciptakan secarafitrah untuk dipenuhi dengan beban dan ancaman, aral rintangan sertaberbagai cobaan. Tak ubahnya dingin dan panas, yang memang harusdirasakan oleh para hamba-Nya. Allah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikitketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Danberikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. .” [Al-Baqarah:155]

Berbagai musibah itu adalah batu ujian, untuk menentukan siapa diantara hamba-Nya yang benar dan yang tidak benar. Allah berfirman:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja]mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi”[Al-Ankabut: 2]

Jiwa manusia itu hanya dapat menjadi suci, setelah ditempa.

Ujian dan cobaan, akan memperlihatkan kesejatian seseorang. IbnulJauzi mengungkapkan: “Orang yang ingin mendapatkan keselamatan dankesejahteraan abadi tanpa ujian dan cobaan, berarti ia belum mengenalajaran Islam dan tidak mengenal arti pasrah diri kepada Allah.”

Setiap orang pasti akan merasakan susah, mukmin maupun kafir. Hidupini memang dibangun di atas berbagai kesulitan dan marabahaya. Makajanganlah seseorang membayangkan bahwa dirinya akan terbebas darikesusahan dan cobaan.

Cobaan adalah lawan dari tujuan dan memang bertentangan denganangan-angan dan kesenangan menikmati kelezatan hidup. Setiap orangpasti merasakannya, walau dengan ukuran yang berbeda, sedikit ataubanyak. Seorang mukmin diberi ujian sebagai tempaan baginya, bukansiksaan. Terkadang cobaan itu ada dalam kesenangan, terkadang juga adadalam kesusahan. Allah berfirman:

“Dan Kami coba mereka dengan [nikmat] yang baik-baik dan [bencana]yang buruk-buruk, agar mereka kembali [kepada kebenaran…” [Al-A’raaf:168]

Satu hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, satu hal yangdisukai kadang mendatangkan kesusahan. Janganlah merasa aman dengankesenangan, karena bisa saja ia menimbulkan kemudaratan. Janganlahmerasa putus asa karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkankesenangan.

Allah berfirman, artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi [pula] kamu menyukaisesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamutidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Segala cobaan itu ada batasnya di sisi Allah. Jangan mengucapkankata-kata makian, karena satu kata yang mengalir dari lidah, dapatmembinasakan seseorang. Seorang mukmin yang kuat akan tegar menghadapibeban berat. Hatinya tidak akan berubah dan lisannya tidak akanmengutuk.

Redamlah musibah itu dengan mengingat janji pahala dan kemudahan dariAllah, sehingga cobaan itu berlalu tanpa kita mengutukinya.Orang-orang berakal selalu menunjukkan ketegaran dalam menghadapmusibah, agar mereka tidak mendapatkan ejekan musuh-musuh mereka.Karena bila mereka menampakkan musibah itu, para musuh mereka akanmerasa senang dan gembira. Sebaliknya, menutup-nutupi musidah danderita kelaparan adalah sifat orang-orang mulia. Ketabahan akanmembendung bencana. Demikian cepatnya bencana itu berlalu, biladihadapi dengan ketabahan. Paling kita hanya harus tabah menghadapihari-hari yang pendek dalam hidup kita. Orang-orang yang binasamengalami kebinasaan mereka hanya karena mereka tidak memilikiketabahan.

Orang-orang yang tabah, akan men-dapatkan pahala terbaik. FirmanAllah:

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yangsabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah merekakerjakan. .”[An-Nahl: 96]

Dan firman Allah, artinya: “Mereka itu diberi pahala dua kalidisebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengankabaikan, dan sebagian dari apa yang kami rizkikan kepada mereka,mereka nafkahkan.” [Al-Qashash: 54]

Allah tidak pernah menahan sesuatu untukmu, wahai orang yang tertimpamusibah, melainkan karena Allah akan memberimu sesuatu yang lain.Allah hanya mengujimu, untuk memberikan keselamatan kepadamu. Allahhanya memberimu cobaan, untuk membersihkan dirimu. Selama masih adaumur, rezeki pasti akan datang. Allah berfirman:

“Tidak ada yang melata di bumi ini melainkan rezekinya ada di sisiAllah.” [Huud: 6]

Bila dengan kebijaksanaan-Nya, Allah menutup sebagian rezeki, pastiAllah akan membukakan pintu rezeki yang lain yang lebih bermanfaat.Cobaan, justeru akan mengangkat derajat orang-orang shalih danmeningkatkan pahala mereka.

Saad bin Abi Waqqash mengung-kapkan: “Aku pernah bertanya, “WahaiRasulullah! Siapakah orang yang paling berat cobaannya” Beliaumenjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yangsesudah mereka secara berurut menurut tingkat keshalih-annya.Seseorang akan diberi ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat,akan ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akandiringkankan cobaan baginya.

Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di mukabumi ini tanpa dosa sedikitpun.” [Riwayat Al-Bukhari]

Seorang ulama mengungkapkan: “Orang yang diciptakan untuk masuk Surga,pasti akan merasakan banyak kesulitan. Musibah yang sesungguhnyaadalah yang menimpa agama seseorang. Sementara musibah-musibah selainitu merupakan jalan keselamatan baginya. Ada yang berfungsimeningkatkan pahala, ada yang menjadi pengampun dosa. Orang yangbenar-benar tertimpa merana adalah mereka yang terhalang darimendapatkan pahala.

Tidak usah risau dengan hilangnya sebagian dunia. Karena keberadaannyahanyalah satu kejadian, membicarakan dunia justeru menimbulkankesedihan, jalan-jalan untuk mendapatkannya sarat dengan duka. Dalammencari dunia, manusia akan tersiksa sebatas rasa dukanya. Orang yangsenang mendapatkan dunia pada hakikatnya adalah orang yang sedih.Berbagai kepedihan bermunculan dari kenikmatan dunia. Berbagaikesedihan justeru lahir dari kesenangan dunia.

Abu Darda menyatakan: “Di antara bentuk kehinaan dunia di hadapanAllah adalah bahwa manusia berbuat maksiat selama ia di dunia, dan iahanya bisa menggapai apa yang ada di sisi Allah dengan meninggalkandunia. Maka hendaknya engkau menyibukkan diri dengan hal yang lebihberguna bagimu untuk mengambil kembali yang mungkin hilang darimu,yakni dengan cara memperbaiki kekeliruan, memaafkan kesalahan orang,dan mendekati pintu Ar-Rabb. Dengan itu, engkau akan melihat betapacepatnya musibah yang menimpamu itu menghilang. Kalau bukan karenakesusahan, engkau tidak bisa mengharapkan saat-saat senang.

Hilangkan hasrat terhadap yang menjadi milik orang, niscaya engkauakan menjadi yang terkaya. Jangan berputus asa, karena itu membawakehinaan. Ingatlah nikmat Allah yang banyak kepadamu. Tepislah segalakesedihan dengan ridha terhadap takdir dan dengan shalat di malam yangpanjang. Bila sudah habis malam, masih ada subuh yang datang menjelang.Akhir kesedihan adalah awal kebahagiaan. Masa tidak akan berdiam dalamsatu kondisi, namun terus berganti. Segala kesulitan, pasti akanberangsur hilang. Jangan putus asa hanya karena musibah yang datangbertubi-tubi. Satu kesulitan, akan dikalahkan oleh dua kemudahan.Merunduklah kepada Allah, pasti kesulitanmu akan sirna selekasnya.Setiap orang yang penuh dengan ketabahan, pasti akan mendapatkan jalankeluar. ” Wallahu A’lam.

Artikel Tabahlah Menghadapi Musibah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tabahlah Menghadapi Musibah.

Wasiat Untuk Dikuburkan Di Tempat Tertentu Dan Kapan Waktu Untuk Mentalqin ?

Kumpulan Artikel Islami

Wasiat Untuk Dikuburkan Di Tempat Tertentu Dan Kapan Waktu Untuk Mentalqin ? Wasiat Untuk Dikuburkan Di Tempat Tertentu Dan Kapan Waktu Untuk Mentalqin

Kategori Jenazah

Kamis, 10 Maret 2005 19:42:39 WIBWASIAT UNTUK DIKUBURKAN DI TEMPAT TERTENTU DAN KAPAN WAKTU UNTUK MENTALQIN OlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaiamana pendapat Anda tentang seseorang yang berwasiat jika nanti mati agar di kubur di tempatnya si fulan, apakah hal ini harus dilaksanakan Jawaban.Pertama. Ia harus ditanya mengapa memilih tempat si fulan Boleh jadi ia memilih di sisi kuburan yang di dustakan, atau di sisi kuburan tempat mempersekurukan Allah dengannya, atau sebab lain yang diharamkan. Yang seperti ini tidak boleh dilaksanakan wasiatnya, dan ia dikuburkan bersama kaum muslimin jika memang ia seorang muslim.Adapun jika ia mewasiatkan dengan tujuan yang tidak diharamkan, seperti berwasiat agar dikuburkan di tempat ia hidup maka tidak mengapa melaksanakan wasiatnya selama tidak menghabiskan harta yang banyak. Tetapi jika menghabiskan harta yang banyak maka wasiatnya tidak usah dilaksanakan. Karena bumi Allah itu satu selama bumi itu dikuasai oleh kaum muslimin.Pertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan waktu untuk mentalqin [membimbing orang yang hendak mati dengan kalimat tauhid] JawabanTalqin diajarkan saat seseorang, sudah berada di ambang kematian. Ia ditalqin dengan kaliamt : â€Å"La ilaha illallah” sebagaimana yang dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat pamannya Abu Thalib hendak meninggal. Beliau mendatangi dan mengucapkan :â€Å"Wahai paman, katakanlah La ilaha illallah kalimat yang kujadikan hujjah untukmu di depan Allah”Tetapi pamannya Abu Thalib tidak mau mengucapkan hal ini – kita berlindung kepada Allah- dan mati di atas kesyirikan [1]Adapaun talqin setelah seseorang meninggal maka hal itu adalah bid’ah, karena tidak ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan tentang hal itu. Tetapi yang harus dikerjakan adalah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dawud ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai memakamkan mayat, beliau berdiri di depan kubur dan bersabda.â€Å"Artinya :Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintalah untuknya keteguhan karena ia sekarang sedang ditanya” [2]Adapun membaca Al-Qur’an di kuburan atau mentalqinnya di kuburan maka hal itu adalah bid’ah tidak ada dasarnya.[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah Oleh Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]_________Foote Note.[1]. Bukhari, Kitab Janaiz, bab : Jika orang musyrik mengucapkan La ilaha illallah saat hendak meninggal [1360], dan Muslim, Kitab Iman, bab : Dalil tntang shnya kislaman sseorang yang hendak meninggal [24].[2]. Abu Dawud, Kitab Janaiz bab memohonkan ampun di depan kubur mayit saat hendak meninggalkannya [3221]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1370&bagian=0


Artikel Wasiat Untuk Dikuburkan Di Tempat Tertentu Dan Kapan Waktu Untuk Mentalqin ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Wasiat Untuk Dikuburkan Di Tempat Tertentu Dan Kapan Waktu Untuk Mentalqin ?.

Menikahi Wanita Hamil

Kumpulan Artikel Islami

Menikahi Wanita Hamil Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah,terkadang orang justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yangberlipat-lipat dan berkepanjangan. Bila seorang laki-laki menghamiliwanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil ataumeminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nahapakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yangmereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah Mari kitasimak pembahasannya !!

Status Nikahnya :

Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baikdengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lainkecuali bila memenuhi dua syarat :*1

Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatanzinanya.*2 Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala telahmengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, DiaSubhanahu wa Ta'ala berfirman,

Artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuanyang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzinatidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-lakimusyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu’min.”3

Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukumyaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkanlaki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak bolehmenikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang [wali]menikahkannya kepada putri-nya.4

Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukannamun dia memaksakan dan melang-garnya, maka pernikahannya tidak sahdan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinah-an.5Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-lakiitu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak.6 Orang yangmenghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa AllahSubhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagaiorang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

Artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan [sekutu] selainAllah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkanAllah” 7

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan orang-orangyang membuat syari’at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berartiorang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubatadalah orang musyrik.*8

Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bilasyarat ke dua berikut terpenuhi.*9

Ke dua : Dia harus beristibra’ [menunggu kosongnya rahim]dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil,maka sampai melahir-kan kandungannya.*10

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : Artinya, “Tidakboleh digauli [budak] yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan [tidakboleh digauli] yang tidak hamil, sampai dia beristibra’ dengan satukali haid.*11

Di dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallammelarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampaimelahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahalbudak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya, “Tidak halalbagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkanair [maninya] pada semaian orang lain.*12

Mungkin sebagian orang mengata-kan, bahwa yang dirahim itu adalah anakyang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendakmenikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam MuhammadIbnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubatdan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya, karenaperbedaan dua air [mani], najis dan suci, baik dan buruk dan karenabedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” 13

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, “Danbila dia [laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat] inginmenikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra’ dengansatu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata diahamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecualisetelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits NabiShallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang seseorang menuangkan air [maninya]di persemaian orang lain.”*14

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpaberistibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itutidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa ituadalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanyamelakukan hubung-an badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat danpernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satukali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.

Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.

Semua madzhab yang empat [Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali]telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab daripihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun silaki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengakubahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anaktersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama sajabaik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.*15Jadi anak itu tidak berbapak.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam :Artinya “Anak itu bagi [pemilik] firasy dan bagi laki-laki pezinaadalah batu [kerugian dan penyesalan].” 16

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yangpernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya,keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinyaatau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itudinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukansuami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanyamendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.17

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang laki-laki mengakuberzina dengan seorang wanita merdeka dan [dia mengakui] bahwa anakini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab [sianak itu] tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda RasulullahShalallahu 'alaihi wa sallam : Artinya “Anak itu bagi pemilikfirasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu [kerugian dan penyesalan]”18

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian danpenyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada haknasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian [peniadaan] nasabitu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.19

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,“Dan bagi laki-laki pezina adalah batu [kerugian dan penyesalan]” Makabeliau menafikan [meniadakan] adanya nasab anak zina di dalam Islam.20

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-lakiyang berzina maka :

Anak itu tidak berbapak.

Anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-lakiitu.

Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa inginmenikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidakmemiliki wali.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Makasulthan [pihak yang berwenang] adalah wali bagi orang yang tidakmemiliki wali”21

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yangdizinahi itu dinikahi sebelum beristibra’ dengan satu kali haidh, laludigauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil,kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamillagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahanini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baruterlahir itu

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karenataqlid kepada orang yang memboleh-kannya atau dia tidak mengetahuibahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahirakibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya,sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahanwanita di masa ‘iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwapernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwawanita itu sedang dalam masa ‘iddahnya, maka anak yang terlahir itutetap dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa ‘iddah itubatal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahandi atas adalah lebih berhak.22

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa,beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang diayakini pernikahan [yang sah], maka nasab [anak] diikutkan kepadanya,dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah [kekerabatan] dengankesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnyapernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu jugasetiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnyaharam, [maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya].23

Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubatkepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luasampunannya dan Maha berat siksanya. [Abu Sulaiman].

Endnote :

[1]Minhajul Muslim. [2]Taisiril Fiqhi Lijami'il Ikhtiyarat AlFiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584,Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami'ah Lil Mar'ah Al Muslimah2/5584. [3]An Nur : 3. [4]Fatawa Islamiyyah 3/246. [5]Ibid. [6]Ibid33/245. [7]Asy Syruraa : 21. [8]Syiakh Al Utsaimin di dalam FatawaIslamiyyah 3/246. [9]Ibid 3/247. [10]Taisiril Fiqhi Lijami'ilIkhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, AhmadMuwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110. [11]Lihat Mukhtashar Ma'alimisSunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan [yang dijadikan budak],Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan AlArnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwaisnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim.Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannyamenjadi kuat dan shahih.[ Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.][12]Abu Dawud, lihat, Artinya: 'alimus Sunan 3/75-76. [13]Fatawa WaRasail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128. [14]Majallah Al BuhutsAl Islamiyyah 9/72. [15]Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, AlKharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dariTaisiril Fiqh 2/828. [16]Al-Bukhari dan Muslim. [17]Taud-lihul Ahkam5/103. [18]Al Bukhari dan Muslim. [19]Al Mabsuth 17/154. [20]At Tamhid6/183 dari At Taisir. [21]Hadits hasan Riwayat Asy Syafi'iy, Ahmad,Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.[22]Al-Mughniy 6/455.[23]Dinukil dari nukilan Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104.

Artikel Menikahi Wanita Hamil diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menikahi Wanita Hamil.

Apakah Tepat Pertanyaan Yang Disampaiakn : Mana Dalilnya Dan Mengapa Begini ?!

Kumpulan Artikel Islami

Apakah Tepat Pertanyaan Yang Disampaiakn : Mana Dalilnya Dan Mengapa Begini ?! Apakah Tepat Pertanyaan Yang Disampaiakn : Mana Dalilnya Dan Mengapa Begini !

Kategori Al-Masaa'il

Minggu, 16 Oktober 2005 08:28:50 WIBAPAKAH TEPAT PERTANYAAN YANG DISAMPAIKAN : MANA DALILNYA DAN MENGAPA BEGINI !OlehSyaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelasakan tentang hukum tarian perempuan di depan anak-anak perempuan sejenisnyaMengenai hal ini, kami sampaikan, jika yang dimaksud tari modern maka tidak boleh. Kalau ditanya, apa dalilnya Jawabannya.Meluruskan masalah-masalah itu sulit sekali. Mungkin ada yang berlebih-lebihan atau meremehkan dalam menanggapinya. Khususnya orang yang hidup dalam waktu yang lama dalam amalan tertetntu. Bagi mereka telah tampak bahwa perkara itu ada penyimpangan dan syara’ menolak, tetapi mereka tetap berpaling dan kembali berbuat yang lebih parah dari yang laluHal ini sebagai pelajaran bagi kita sekarang dan yang akan datang, bila membahas suatu masalah dituntut adanya dalil dalam rangka membersihkan taqlid.Kaum muslimin hidup dalam waktu yang panjang. Mereka tidak mengenal selain madzhab Fulan dan madzhab Fulan, madzhab empat, madzhab ahlus sunnah wal jama’ah dan atau madzhab yang menyimpang dari ahlus sunnah wal jama’ah. Adapun yang bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah generasi yang telah disaksikan kebaikannya [Salafush Shalih]. Kemudian berlalu masa tersebut, sampai zaman Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya. Mereka menyeru kaum muslimin kepada keharusan untuk kembali kepada pemahaman Salafush Shalih dalam hal bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak diragukan bahwa da’wah Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya mempunyai pengaruh yang bagus. Tetapi pada masa itu peranannya sangat kecil dan kejumudan berfikir menguasai beberapa orang terutama orang-orang awam.Setelah generasi yang dibangunkan oleh Ibnu Taimiyah kaum muslimin kembali kepada kejumudan dalam memahami fiqih, kecuali pada akhir-akhir ini. Banyak sekali ulama yang memperbaharui da’wahnya untuk menggerakkan dan membangunkan manusia untuk kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Diantara ulama yang telah mendahului kita dalam hal ini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau telah menyeru untuk ittiba’ [mengikuti] kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Melihat keadaan penduduk Nejd yang aqidah keberhalaannya telah menguasai negeri mereka maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berusaha dengan gigih memeperbaiki tauhid mereka.Tabiat manusia kemampuannya terbatas. Mereka tidak sanggup memerangi semua kehinaan sebagaimana yang mereka katakan. Karena itu da’wah beliau bertumpu pada da’wah penyebaran tauhid dan memerangi kesyirikan serta keberhalaan. Sehingga sampailah da’wah yang bagus ke dunia Islam. Walaupun antara beliau dan lawannya terjadi peperangan yang sangat disesalkan. Ini adalah sunnatullah pada makhlukNya dan kamu tidak akan dapat menemui perubahan sunatullah.Pada saat ini telah banyak ulama yang memperbaharui da’wahnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Banyak sekali kebangkitan yang nampak dari bebagai kalangan di negeri-negeri Arab. Tetapi sangat disesalkan sekali negara-negara ajam [non Arab] masih nyenyak dalam tidurnya.Kelemahan bangsa Arab sebagaimana saya tunjukkan tadi, adalah bahwa sebagian mereka masih sepotong-sepotong dalam memahami Islam. Ada yang mengetahui sebagian tetapi bodoh pada bagian yang lain. Maka kita lihat seorang laki-laki umum, yang tidak faham sesuatu sedikitpun apabila bertanya kepada orang alim tentang suatu masalah, dia berkata apa hukumnya Sama saja, apakah jawabannya tidak ada atau larangan, dia tergesa-gesa menuntut apa dalilnya Tidak selalu orang alim itu dapat memberikan dalil. Suatu dalil bisa diambil dengan cara istimbat [mengeluarkan dari sumbernya melalui ijtihad untuk menetapkan suatu hukum] dan iqtibas [mengambil faidah dari sumbernya], belum tentu secara jelas dan lugas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti masalah ini, penanya hendak mengetahui sedalam-dalamnya dengan menanyakan â€Å"Apa Dalilnya ” Seharusnya penanya tahu diri, apakah dia itu ahli dalil atau tidak Apa dia telah mempunyai pengenalan dalil yang maknanya umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh Sedang dia tidak faham sedikitpun terhadap pengenalan tersebut. Apakah tepat pertanyaan yang disampaikan.. ”Apa Dalilnya!! Dan mengapa begini !”. Kami katakan tentang hukum tarian perempuan di depan suaminya, atau di depan saudara perempuannya sesama muslimah, bisa jadi boleh, bisa jadi dilarang ! Dan juga tarian laki-laki, dia menghendaki dalil diatas itu. Pada hakekatnya kami tidak menemukan dalil yang jelas dan gamblang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dasar tersebut ditemukan dengan istimbat, penelitian dan pemahaman. Karena itu kami katakan, tidaklah setiap masalah harus dijelaskan dalilnya secara rinci, sehingga mudah dipahami oleh setiap muslim. Baik itu orang umum yang buta baca tulis, atau penuntut ilmu. Tidak harus begitu untuk setiap pertanyaan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu” [An-Nahl : 43]Diantara contoh ekstrim yang telah saya tunjukan tadi, manusia yang paling jahil akan menjadi penentang dalil. Kebanyakan manusia yang menisbatkan dirinya dalam da’wah kepada Al-Kitab dan As-Sunnah menyangka, bahwa orang yang berilmu itu apabila ditanya suatu masalah, dia harus menjawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala [Al-Qur’an] dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [As-Sunnah].Aku [Al-Albani] menjawab bahwa ini tidak wajib. Hal ini merupakan salah satu dari faedah-faedah berintima [cenderung] kepada Salafus Shalih. Jalan mereka dan fatwa-fatwa mereka merupakan dalil bagi perbuatan yang telah saya jelaskan. Jadi wajib menyebutkan dalil ketika masalah itu menuntut adanya dalil. Tapi tidak wajib bagi setiap pertanyan harus dijawab dengan : â€Å"Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala begini atau kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begini” . Terlebih masalah ini merupakan masalah hukum yang rumit dan penuh perselisihan di dalamnya.Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.â€Å"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu” [An-Nahl : 43]Ini adalah secara umum. Tidak ada kewajiban kecuali bertanya kepada orang yang kalian duga ahli ilmu. Jika telah dijawab, wajib bagi kalian untuk mengikutinya. Kecuali bila engkau dengan jawaban yang syubhat dari seorang ahli ilmu lainnya, sebaiknya engkau jelaskan yang syubhat itu. Sedangkan orang alim tersebut wajib berusaha dengan kemampuan ilmunya untuk menghilangkan kesyubhatan yang telah tampak pada penanya.Ringkasnya tarian wanita di depan suaminya dengan batasan yang telah disebut adalah boleh. Adapun tarian wanita di depan anak-anak perempuan, maka ada dua kemungkinan juga, sebagaimana tariian perempuan di depan suaminya. Jika tariannya tidak diiringi dengan kegemaran dan hanya merupakan bagian dari lambaian tangannya, dimana tidak disertai gerakan/ayunan pantat atau sejenisnya yang bisa menggerakkan syahwat atau menimbulkan syubhat. Tarian ini tidak apa-apa, jika memang benar namanya tarian. Apabila terdapat hal-hal selain yang disyaratkan di atas, maka larangan merupakan hukum asal[Disunting dari sebagian jawaban dari pertanyaan Tarian Seorang Wanita dan Laki-laki kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Majalah Al-Ashalah 8/15 Jumadil Akhir 1414H hal. 73. Edisi Indonesia 25 Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Muhaimin Abu Najiah, Semarang 1955, dan judul artikel oleh admin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1611&bagian=0


Artikel Apakah Tepat Pertanyaan Yang Disampaiakn : Mana Dalilnya Dan Mengapa Begini ?! diambil dari http://www.asofwah.or.id
Apakah Tepat Pertanyaan Yang Disampaiakn : Mana Dalilnya Dan Mengapa Begini ?!.

Hukum Mentransfer Uang Melalui Bank-Bank Riba

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Mentransfer Uang Melalui Bank-Bank Riba Hukum Mentransfer Uang Melalui Bank-Bank Riba

Kategori Mu'amalat Dan Riba

Rabu, 21 September 2005 07:15:24 WIBHUKUM MENTRANSFER UANG MELALUI BANK-BANK RIBAOlehSyaikh Abdul Aziz bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Kami adalah para pegawai Turki yang bekerja di kerajaan Saudi Arabia. Negara kami Turki, sebagaimana yang kita maklumi, adalah negara yang menjadikan sekulerisme sebagai hukum dan undang-undang. Riba demikian memasyrakat di negeri kami dalam aplikasi yang aneh sekali, hingga mencapai 50% dalam satu tahunnya. Kami disini terpaksa mentransfer uang kepada keluarga kami di Turki melalui jasa bank-bank tersebut, yang jelas merupakan sumber dan biangnya riba.Kami juga terpaksa menyimpan uang kami di bank karena khawatir dicuri, hilang atau bahaya-bahaya lain. Dengan dasar itu, kami mengajukan dua pertanyaan penting bagi kami. Tolong berikan penjelasan dalam persoalan kami ini, semoga Allah memberi kan pahala terbaik bagi anda.Pertama : Bolehkah kami mengambil bunga dari bank-bank riba tersebut lalu kami sedekahkan kepada fakir miskin atau membangun sarana umum, daripada dibiarkan menjadi milik mereka Kedua : Kalau memang tidak boleh, apakah boleh menyimpan uang di bank-bank tersebut dengan alasan darurat untuk menjaga uang itu agar tidak tercuri atau hilang, tanpa mengambil bunganya Harus dimaklumi, bahwa pihak bank akan memanfaatkan uang tersebut selama masih ada didalammnya.JawabanKalau memang terpaksa mentransfer uang melalui bank riba, tidak ada masalah, insya Allah, berdasarkan firman Allah Ta’ala.â€Å"Artinya : …. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..” [Al-An’aam : 119]Tidak diragukan lagi, bahwa mentransfer uang melalui bank-bank itu termasuk bentuk kedaruratan umum pada masa sekarang ini, demikian juga menyimpan uang didalamnya tanpa harus mengambil bunganya. Kalau diberi bunga tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa persyaratan, boleh saja diambil untuk dioperasikan di berbagai kebutuhan umum, seperti membantu fakir miskin, menolong orang-orang yang terlilit hutang dan lain sebagainya.Namun bukan untuk dimiliki dan digunakan sendiri. Keberadaannya bahkan berbahaya bagi kaum muslimin bila ditinggalkan begitu saja, walaupun dari usaha yang tidak diperbolehkan. Maka lebih baik digunakan untuk yang lebih bermanfaat bagi kaum muslimin, daripada dibiarkan menjadi milik orang-orang kafir sehingga justru digunakan untuk hal-hal yang diharamkan oleh Allah.Namun bila mungkin mentransfer melalui bank-bank Islam atau melalui cara yang diperbolehkan, maka tidak boleh mentransfer melalui bank-bank riba. Demikian juga menyimpan uang, bila masih bisa dilakukan di bank-bank Islam atau di badan-badan usaha Islam, tidak boleh menyimpannya di bank-bank kafir berbasis riba, karena hilangnya unsur darurat. Hanya Allah yang bisa memberikan taufiqNya.[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerbit At-Tibyan – Solo]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1583&bagian=0


Artikel Hukum Mentransfer Uang Melalui Bank-Bank Riba diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Mentransfer Uang Melalui Bank-Bank Riba.

Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya

Kumpulan Artikel Islami

Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya

Kategori Wanita - Thaharah

Rabu, 28 Januari 2004 10:15:20 WIBBATALKAH WUDHU SEORANG WANITA YANG MENGELUARKAN ANGIN DARI FARAJNYAOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah keluarnya angin dari kemaluan wanita menyebabkan batalnya wudhu atau tidak JawabanAngin yang keluar dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu karena angin itu tidak keluar dari tempat najis sebagaimana keluarnya angin dari dubur.Karena banyaknya pertanyaan serupa dan beragamnya jawaban dari para ulama, maka kami menetapkan fatwa ini agar lebih banyak manfaatnya[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/197]APAKAH ANGIN YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA MEMBATALKAN SHALATOlehAl-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'PertanyaanAl-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Seorang wanita jika sedang melakukanshalat, termasuk ruku' dan sujud, kemudian keluar angin dari kemaluannya khususnya pada waktu sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud dan ruku, terkadang keluarnya angin ini terdengar oleh rekannya yang berada di sebelahnya, apakah hal serupa ini membatalkan shalat wanita itu dan terkadang angin yang keluar itu amat sedikit sekali sehingga tidak terdengar, apak hal serupa ini membatalkan wudhu dan juga shalat JawabanKeluarnya angin dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu dan juga tidakmembatalkan shalat.[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta, 5/159][Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi IndonesiaFatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 18, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=95&bagian=0


Artikel Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya.

Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama

Kategori Wanita - Thaharah

Rabu, 23 Maret 2005 18:36:01 WIBHUKUM WANITA YANG MENGALAMI HAIDH PERTAMAOlehSyaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-SyaikhPertanyaan.Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-Syaikh ditanya : Tentang hukum wanita yang baru pertama kali mengalami haidh Jawaban.Pendapat yang benar, yang tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengambil pendapat-pendapat lainnya selain pendapat ini adalah bahwa jika seorang wanita yang belum pernah mengalami haidh mengeluarkan darah pada suatu waktu yang diperkirakan sebagai masa haidh, maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya sehingga habis masa haidnya, masa itu adalah masa haidh, dan tidak perlu baginya untuk menunggu sampai berulangnya peristiwa serupa [untuk menetapkan sebagai masa haisdnya].Kaum wanita pada masa sekarang dan juga pada masa-masa sebelumnya hanya melaksanakan pendapat ini. Ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini. Adapun pendapat-pendapat ulama madzhab Hanbali sejauh yang saya ketahui adalah sama dengan pendapat ini, kemudian mereka menta'birkannya lima belas hari. Yang benar, pendapat ini adalah pendapat yang tidak ada dalil yang menguatkannya, untuk itu jika seorang wanita masih mengeluarkan darah hingga enam belas hari atau tujuh belas hari, atau delapan belas hari maka ia harus meinggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Seorang wanita harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya selama masih mengalir darinya darah yang bukan darah istihadhah [darah penyakit] dan darah istihadhah itu dapat dikenali.Darah istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dalam jumlah yang banyak[defenisi darah istihadhah menurut Syaikhhul Islam]. Dan perlu saya beritahukan di sini bawha ketika Allah menyebutkan tentang haidh, Allah tidak menyebutkan batas umur haidh, tidak menyebutkan masa haidh dan tidak merinci permulaan masa haidh, begitu pula Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa permulaan haidh adalah begini dan begitu. Pada dasarnya bahwa darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haidh, memang benar jika disebutkan bahwa ada darah yang dinamakan darah istihadhah, akan tetapi darah istihadhah ini memilki hukum tersendiri dan darah tersebut dapat dibedakan dengan darah haidh. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi kaum wanita kecuali harus melakasanakan pendapat ini. Bahkan sekalipun seseorang hendak mengobati wanita sehingga mereka melaksanakan pendapat tentu mereka tidak mampu dan tidak melaksankan pendapat orang tersebut. Dan ini meskipun bukan hujjah tapi bisa menerangkan bahwa apa yang disebutkan di dalam pendapat ini terdapat kesulitan.[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/99][Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1382&bagian=0


Artikel Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama.

Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron

Kategori Gambar Dan Permainan

Jumat, 18 Nopember 2005 15:49:41 WIBHUKUM MENDENGARKAN MUSIK DAN LAGU SERTA MENGIKUTI SINETRONOlehSyaikh Muhamamd bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek JawabanMendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Dan di antara manusia [ada] orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan [manusia] dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Luqman : 6]Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : â€Å"Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu”.Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ [dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam]. Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.â€Å"Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a’lam.[Fatawal Mar’ah 1/106][Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1668&bagian=0


Artikel Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Mendengarkan Musik Dan Lagu Serta Mengikuti Sinetron.

Seorang Muslim Harus Menunaikan Amanat

Kumpulan Artikel Islami

Seorang Muslim Harus Menunaikan Amanat Seorang Muslim Harus Menunaikan Amanat

Kategori Adab Dan Perilaku

Jumat, 11 Juni 2004 16:42:20 WIBSEORANG MUSLIM HARUS MENUNAIKAN AMANATOlehSyaikh Abdul Aziz bin BazPertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Sebagian karyawan dan pekerja tidak menunjukkan etos kerja yang lazim, kami dapati sebagian mereka selama setahun atau lebih tidak mengajak kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran, bahkan kadang terlambat bekerja dan mengatakan, â€Å"Saya diizinkan oleh atasan sehingga tidak apa-apa terhadapnya”. Apakah orang yang seperti itu berdosa selama ia tetap seperti itu Kami mohon fatwanya, semoga Allah memberi Anda kebaikan.Jawaban.Pertama : Disyariatkan atas setiap Muslim dan Muslimah menyampaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mendengar kebaikan, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.â€Å"Artinya : Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar ucapanku lalu menghayatinya dan menyampaikannya [kepada orang lain] sebagaimana yang didengarnya” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, bab Al-Ilm [2657], Ibnu Majah dalam Al-Muqadimmah [232]]Dan sabda beliau.â€Å"Artinya : Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” [Hadits Riwayat Bukhari, kitab Al-Anbiya [3461]]Adalah beliau, apabila memberi wejangan dan peringatan, beliau mengatakan.â€Å"Artinya : Hendaklah yang menyaksikan [ini] menyampaikan kepada yang tidak hadir, sebab, betapa banyak orang yang disampaikan berita kepadanya lebih mengerti daripada yang mendengar [langsung]” [Hadits Riwayat Bukhari, kitab Al-Hajj [1741]. Muslim kitab Al-Qisamah [1679]]Saya nasehatkan kepada Anda semua untuk menyampaikan kebaikan yang Anda dengar berdasarkan ilmu dan validitas berita. Maka setiap orang yang mendengar ilmu dan menghafalnya, hendaklah menyampaikannya kepada keluarganya, saudara-saudara dan teman-temannya selama itu mengandung kebaikan yang dibarengi dengan menjaga orisinalitas dan tidak membacakan sesuatu yang tidak dikuasainya. Sehingga dengan demikian termasuk golongan yang saling menasehati dengan kebenaran dan mengajak kepada kebaikan.Adapun karyawan yang tidak melaksanakan tugas dan tidak loyal, tentunya Anda telah mendengar bahwa di antara karakter keimanan adalah menunaikan amanat dan menjaganya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.â€Å"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 85]Penunaian amanat termasuk karakter yang paling agung, sementara khianat termasuk karakter kemunafikan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menandai orang-orang yang beriman.â€Å"Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat [yang dipikulnya] dan janjinya” [Al-Muminun : 8]Dalam ayat yang lain.â€Å"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul [Muhammad] dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]Maka kewajiban seorang karyawan adalah melaksanakan amanat dengan jujur dab ikhlas serta penuh perhatian dan senantiasa selalu memelihara waktu sehingga terlepas dari beban tanggung jawab, pekerjaannya menjadi baik dan diridhai Allah serta loyal terhadap negaranya dalam hal ini atau terhadap perusahaan atau lembaga lainnya tempat ia bekerja. Itulah yang wajib atas setiap karyawan, yaitu bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanat dengan seksama dan penuh loyalitas dengan mengharap pahala Allah dan terhadap siksaNya serta mengamalkan firman Allah Ta’ala.â€Å"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 85]Diantara keriteria kemunafikan ialah berkhianat terhadap amanat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.â€Å"Artinya : Tanda orang munafik ada tiga ; Apabila berbicara ia dusta ; Apabila berjanji ingkar ; Dan apabila dipercaya ia berkhianat” [Muttafaq ‘Alaihi. Al-Bukhari, kitab Al-Aiman [33], Muslim, kitab Al-Iman [59]]Hendaknya seorang Muslim tidak menyerupai orang-orang munafik, tapi ia harus menjauhi sifat-sifat mereka, senantiasa menjaga amanat dan melaksanakan tugasnya dengan tekun serta memelihara waktu kerja walaupun atasannya kurang perhatian atau tidak memerintahkannya seperti itu. Hendaknya ia tidak meninggalkan pekerjaan dan menyepelekannya, bahkan seharusnya ia bekerja keras sehingga lebih baik dari atasannya dalam melaksanakan tugas dan dalam loyalitas terhadap amanat sehingga ia menjadi teladan yang baik bagi lainnya.[Fatawa Lil Muwazhzhafin Wal Ummal, Syaikh Ibnu Baz, hal. 7-9][Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 556-558, Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=808&bagian=0


Artikel Seorang Muslim Harus Menunaikan Amanat diambil dari http://www.asofwah.or.id
Seorang Muslim Harus Menunaikan Amanat.

Hewan Kurban

Kumpulan Artikel Islami

Hewan Kurban Hewan Kurban

Kategori Kurban Dan Aqiqah

Kamis, 6 Januari 2005 09:54:31 WIBHEWAN KURBANOlehSyaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al AtsariKurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman."Artinya : Katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku [nusuk], hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya" [Al-An'am : 162]Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[1]Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih [tepat] dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :PERTAMADari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Siapa yang memiliki kelapangan [harta] tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami" [2]Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban ini.KEDUADari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka sembelihlah" [3]Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.KETIGAMikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda."Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiyah" [6]Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun 'atirah telah dihapus hukumnya [mansukh], dan penghapusan kewajiban 'atirah tidak mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.Berkata Ibnul Atsir :'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan [bahwa] menyembelih kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Apabila masuk sepuluh hari [yang awal dari bulan Dzulhijjah -pen], lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya". [8]Mereka berkata [9] :"Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan [iradah] seseorang".Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya [10]"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata : "Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah [kehendak/keinginan] !" Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan : "Jika engkau mau lakukanlah", tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...." [Al-Maidah : 6]Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah [mintalah perlindungan kepada Allah]. Thaharah [bersuci] itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur'an [Al-Fatihah-pent] di dalam shalat itu wajib.Dalam ayat ini Allah berfirman :"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, [yaitu] bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus" [At-Takwir : 27]Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib".Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ..... " [12]Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda beliau : "Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ........"Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab "Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah [keinginan/kehendak] dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam- adalah lawan dari sahwu [lupa] bukan takhyir [pilihan, boleh tidaknya -pent]". Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : "Siapa yang bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian", dan ini tidak menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]Dan sabda beliau."Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka hendaklah ia mandi" [16]Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, [jadi] bukanlah takhyir ....Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" [2810], "Sunan At-Tirmidzi" [1574] dan "Musnad Ahmad" [3/356] dengan sanad yang shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.Wallahu a'lam[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]_________Foote Note.[1]. Lihat Minhajul Muslim [355-356][2]. Riwayat Ahmad [1/321], Ibnu Majah [3123], Ad-Daruquthni [4/277], Al-Hakim [2/349] dan [4/231] dan sanadnya hasan[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari [5562], Muslim [1960], An-Nasa'i [7/224], Ibnu Majah [3152], Ath-Thayalisi [936] dan Ahmad [4/312,3131].[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunnah, nantikanlah.[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" [1/195] : "Atirah adalah sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.[6]. Diriwayatkan Ahmad [4/215], Ibnu Majah [3125] Abu Daud [2788] Al-Baghawi [1128], At-Tirmidzi [1518], An-Nasa'i [7/167] dan dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul [tidak dikenal]. Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad [5/76] namun sanadnya lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari [10/4], Lihat Al-Ishabah [9/151][7]. Jami ul-ushul [3/317] dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah [103-105] dan "Al-Mughni" [8/650-651].[8]. Diriwayatkan Muslim [1977], Abu Daud [2791], An-Nasa'i [7/211dan 212], Al-Baghawi [1127], Ibnu Majah [3149], Al-Baihaqi [9/266], Ahmad [6/289] dan [6/301 dan 311], Al-Hakim [4/220] dan Ath-Thahawi dalam "Syarhu Ma'anil Atsar" [4/181] dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.[9]. "Al-majmu" 98/302] dan Mughni Al-Muhtaj" [4/282] 'Syarhus Sunnah" [4/348] dan "Al-Muhalla" 98/3][10]. Majmu Al-Fatawa [22/162-163].[11]. Sama dengan di atas[12]. Diriwayatkan Ahmad [1/214,323, 355], Ibnu Majah [3883], Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah [1/114] dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud [1732], Ad-Darimi [2/28], Al-Hakim [1/448], Ahmad [1/225] dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul Ghalil" oleh ustadz kami Al-Albani [4/168-169][13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" [9/106-114][14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" [2/2031-2040]. Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun [593H], biografinya bisa dilihat dalam 'Al-Fawaidul Bahiyah" [141].[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil.[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim [844] dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor [877], 9894] dan [919]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1280&bagian=0


Artikel Hewan Kurban diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hewan Kurban.

Cara Membayar Zakat Harta

Kumpulan Artikel Islami

Cara Membayar Zakat Harta Cara Membayar Zakat Harta

Kategori Zakat

Kamis, 18 Maret 2004 06:47:23 WIBCARA MEMBAYAR ZAKAT HARTAOlehLajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal IftaPertanyaan.Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Seorang pegawai menabung gaji bulanannya dalam jumlah yang berubah-ubah setiap bulan. Kadang uang yang ia tabung sedikit dan kadang banyak. Sebagian dari uang tabungannya itu ada yang telah genap satu haul dan ada yang belum. Sementara ia tidak dapat menentukan uang yang telah genap satu tahun. Bagaimanakah caranya membayarkan zakat uang tabungannya .Pertanyaan ke 2.Seorang pegawai lainnya memiliki gaji bulanan yang selalu ditabungnya dalam kotak tabungan. Setiap hari ia isi kotak tabungan itu dengan sejumlah uang dan dalam waktu yang tidak begitu jauh ia juga mengambil sejumlah uang untuk nafkah sehari-hari sesuai dari kebutuhan dari kotak itu. Bagaimanakah cara ia menentukan uang tabungan yang telah genap satu tahun Dan bagaimanakah caranya mengeluarkan zakat uang tabungan itu Sementara sebagaimana yang diketahui, tidak semua uang tabungannya itu telah genap satu haul !Jawaban.Pertanyaan pertama dan kedua sebenarnya tidak jauh berbeda. Lajnah juga sering disodorkan pertanyaan serupa, maka Lajnah akan menjawabnya secara tuntas, supaya faidahnya dapat dipetik bersama.Jawabannya sebagai berikut : Barangsiapa memiliki uang yang telah mencapai nishabnya, kemudian dalam waktu lain kembali memperoleh uang yang tidak terkait sama sekali dengan uang pertama tadi, seperti uang tabungan dari gaji bulanan, harta warisan, hadiah, uang hasil penyewaan rumah dan lainnya, apabila ia sungguh-sungguh ingin menghitung dengan teliti haknya dan tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak kecuali sejumlah harta yang benar-benar wajib dikeluarkan zakatnya, maka hendaklah ia membuat pembukuan hasil usahanya. Ia hitung jumlah uang yang dimiliki untuk menetapkan haul dimulai sejak pertama kali ia memiliki uang itu. Lalu ia keluarkan zakat dari harta yang telah ditetapkannya itu bila telah genap satu haul.Jika ingin cara yang lebih mudah, lebih memilih cara yang lebih sosial dan lebih mengutamakan fakir miskin dan golongan yang berhak menerima zakat lainnya, maka ia boleh mengeluarkan zakat dari seluruh uang yang telah mencapai nishab dari yang dimilikinya setiap kali telah genap satu haul. Dengan begitu pahala yang diterimanyaa lebih besar, lebih mengangkat derajatnya dan lebih mudah dilakukan serta lebih menjaga hak-hak fakir miskin dan seluruh golongan yang berhak menerima zakat.Hendaklah jumlah yang berlebih dari zakat yang wajib dibayarnya diniatkan untuk berbuat baik, sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Allah atas nikmat-nikmatNya dan anugrahNya yang berlimpah. Dan mengharap agar Allah menambah karuniaNya itu bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah.â€Å"Artinya : Jika kamu bersyukur maka Aku akan tambah nikmatKu bagi kamu” [Ibrahim : 7]Semoga Allah senantiasa memberi taufiq bagi kita semua.[Fatawa Lil Muwazhafin Wal Ummat, Lajnah Da’imah, hal 75-77][Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 266-267 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=491&bagian=0


Artikel Cara Membayar Zakat Harta diambil dari http://www.asofwah.or.id
Cara Membayar Zakat Harta.

Istighfar Dan Taubat 1/2

Kumpulan Artikel Islami

Istighfar Dan Taubat 1/2 Istighfar Dan Taubat 1/2

Kategori Mafatiihur Rizq

Jumat, 23 Juli 2004 10:00:05 WIBISTIGHFAR DAN TAUBATOlehSyaikh Dr. Fadhl IlahiBagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah itsighfar [memohon ampun] dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi [kesalahan]. Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan.Pertama : Hakikat Istighfar dan TaubatKedua : Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki.Pertama : Hakikat Istighfar dan TaubatSebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan."Artinya : Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya".Tetapi kalimat-kalimat diatas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi [diganti]. Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna" [Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata " tauba" hal. 76]Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat [dosa] itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan [maksiat]nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri [memenuhi] hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had [hukuman] tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma'af kepadanya. Jika berupa ghibah [menggunjing], maka ia harus meminta maaf" [Riyadhus Shalihin, hal. 41-42]Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah " Meminta [ampunan] dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah."Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun" [Nuh : 10]Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun [istighfar] hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta" [Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata "ghafara" hal. 362]Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci RizkiBeberapa nash [teks] Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Ta'ala. Dibawah ini beberapa nash dimaksud :[1] Apa Yang Disebutkan Allah Subhana Wa Ta'ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang Berkata Kepada Kaumnya."Artinya : Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesunguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan [pula di dalamnya] untukmu sungai-sungai". [Nuh : 10-12]Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar.Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : "Sesungghuhnya Dia adalah Maha Pengampun".Dditurunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata "midraaraa" adalah [hujan] yang turun dengan deras. [Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666]Allah akan membanyakan harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat "wayumdid kum biamwalin wabanina" Atha' berkata : Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian" [Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154]Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai.Imam Al-Qurthubi berkata : "Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam [surat Hud : 3 "Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhamnu dan bertaubat kepada-Nya] adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan". [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417]Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :" Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa menta'atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu [untuk kalian]". [Tafsir Ibnu Katsir, 4/449]Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta'ala.Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi : "Bahwasanya Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar [memohon ampun kepada Allah] lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih[1] langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat."Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhamu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat".[Nuh : 10-11]. [Tafsir Al-Khazin, 7/154][Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Dr. Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc]________Fote Note[1] Majadih bentuk tunggalnya adalah majdah yakni salah satu jenis bintang yang menurut bangsa Arab merupakan bintang [yang jika muncul] menunjukkan hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan istighfar sama dengan bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa yang mereka ketahui. Dan sebelumnya mereka memang menganggap bahwa adanya bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar berpendapat bahwa turunnya hujan karena bintang-bintang tersebut. [Tafsir Al-Khazin, 7/154]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=932&bagian=0


Artikel Istighfar Dan Taubat 1/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Istighfar Dan Taubat 1/2.

Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin 1/3

Kumpulan Artikel Islami

Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin 1/3 Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin 1/3

Kategori Nasehat

Senin, 26 Januari 2004 18:54:13 WIBNASEHAT DALAM MENGHADAPI IKHTILAF DI ANTARA IKHWAH SALAFIYYINOlehSyaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzohullahSyaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullahBagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3][I]. Nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr[Ulama besar dan Muhaddits Madinah Nabawiyah]Pertanyaan.Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad ditanya : Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf [perbedaan pendapat] sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tidak menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal JamaahJawaban.Ikhtilaf yang tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu, masalah-masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu inilah yang masih bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan [saling menjauhi] diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga rasa saling mencintai dan menyayangi.Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahuanhum, dimana mereka berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu, mereka radhiallaahu anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan sebab ikhtilaf tersebut. Setiap shahabat berpegang dengan ijtihadnya [pendapat] masing-masing. Mereka radhiallaahu anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat dua pahala sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat satu pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang artinya:Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala[II]. Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah[1]. Pertanyaan.Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di IndonesiaJawaban.Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :[a]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah [keilmuan] ataupun masalah amaliyah [pengamalan] yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnyaKewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syari yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.[b]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada[c]. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:"Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia [An-Nisaa:114]Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan[d]. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut [meneliti] perkataan dan perbuatannya.[e]. Bersikap wasath [netral] antara ahli ghuluw [berlebih-lebihan] yang menghitung [membesar-besarkan] setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin [terlalu bermudah-mudahan/meremehkan], yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah[f]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan[g]. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua ....[2]. Pertanyaan.Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : "Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith [batasan-batasan] perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah: perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus sunnah..?

>> Jawaban :"Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: Permasalahan yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar [pada hari kiamat] melihat Rabb atau tidak", apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanyaSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai ahlul bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur [ma'af] pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkanAdapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul bid'ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur [dimaafkan] bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat ahlul bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati ahlul bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid'ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok [tata cara] ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bidah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat ahlul bidah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan ahlul bidah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bidah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur [maaf] dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.[3]. Pertanyaan.Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yang menyebabkan ishlah [perdamaian]!Jawaban.Hal-Hal Yang Menambah Perpecahan Adalah :[a].Taashub [fanatik] yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan.[b].Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran dengan figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya[c].Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci qilla wa qoola, banyak bertanya dan membuang-buang harta Qilla wa qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: Kata Fulan begini, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini, Fulan dikatakan begitu.. sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan ini. Maka inilah diantara sebab yang paling besar yang menyebabkan kerasnya hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah perpecahan.Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah menjauhinya dan mengatakan: Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat, kecuali jika [menukil perkataan itu] ada maslahatnya untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.[d]. Jahil [bodoh], yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq [orang-orang yang mengikuti al-haq]. Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yang mengatakan: Kata Fulan begini kata Fulan begitu.. tentunya seorang yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan pada dia.Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataannya, haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil [tidak mengetahui] terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama, tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan [sebagian penuntut ilmu] negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: Kata Fulan begini,kata Fulan begitu tentunya orang alim itu berbicara sesuai dengan apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengarSeorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar, karena seorang alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadinya perselisihan.Adapun Sebab-Sebab Perdamaian Adalah :[a]. Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih: Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu [An-Nisaa: 35], kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur [benar], karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian[b]. Doa untuk kebaikan ikhwah, yaitu mendoakan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat dalam berdoa agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran[c].Menasehati pihak yang salah, kita katakan pada dia: Anda bersalah, maka kembalilah kepada al-haq, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya[d]. Menasehati pihak yang benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu [yang bersalah] karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan al-haq, tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan pada temannya: Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa, Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: [Mereka] adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa padahal beliau adalah orang yang paling utama mudah-mudahan Allah meridhoinya-.Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini [khilafah] dan mengakui keutamaan beliau, lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah muamalah yang harus dilakukan terhadap saudara-saudara kita.[Risalah ini disusun oleh. Abu Abdirrahman Abdullah Zaen [Mhs Universitas Islam Madinah] dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk [Mhs Universitas Islam Madinah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=79&bagian=0


Artikel Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin 1/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin 1/3.

Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?

Kumpulan Artikel Islami

Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ? Apakah Nabi Khidir Masih Hidup

Kategori Tauhid

Selasa, 13 September 2005 08:34:29 WIBAPAKAH NABI KHIDIR MASIH HIDUP OlehLajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal IftaPertanyaan.Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah Nabi Khidir [masih hidup] sebagai penjaga di sungai-sungai dan lembah-lembah ; dan apakah ia mampu menolong orang-orang yang tersesat jalan jika memanggilnya Jawaban.Yang benar menurut para ulama adalah bahwa Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala.â€Å"Artinya : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu [Muhammad], maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ” [Al-Anbiya : 34]Dan diperkirakan Nabi Khidir masih hidup sampai bertemu dengan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sesudah itu, maka ada hadits yang menunjukkan bahwa dia meninggal setelah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dengan jarak waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang hal ini dengan bersabda.â€Å"Artinya : Tidaklah kalian melihat pada malam kalian ini, bahwa sesungguhnya siapa yang umurnya [berkepala] seratus tahun tidak [tersisa] pada hari ini di atas permukaan bumi seorang pun”[1]Atas dasar ini, maka keadaan Nabi Khidir adalah sebagai orang mati yang tidak dapat mendengar panggilan siapa yang memanggilnya, dan tidak mampu menjawab siapa yang menyerunya, dan tidak mampu menunjukkan jalan kepada siapa yang tersesat jalan ketika meminta petunjuknya.Adapun perkiraan bahwa ia masih hidup sampai saat ini, maka ini adalah masalah ghaib. Keadaannya seperti masalah-masalah ghaib yang lainnya ; tidak boleh kita berdo’a kepadanya dan meminta kebaikan kepadanya dalam keadaan susah maupun senang.Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah Fatwa I/170 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 08/I/ 1424H]_________Foote Note[1]. Bukhari I/37, 141, 149. Muslim dengan Syarah Nawawi XVI/89, Abu Dawud IV/516, Tirmidzi IV/520

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1573&bagian=0


Artikel Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?.

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik 1/3

Kumpulan Artikel Islami

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik 1/3 Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik 1/3

Kategori Rifqon Ahlassunnah

Selasa, 11 Mei 2004 09:18:01 WIBMENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIKOlehSyaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-BadrBagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]RIFQON AHLASSUNNAH BI AHLISSUNNAH [Menyikapi Fenomena TAHDZIR & HAJR]Allah berfirman :â€Å"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]Dalam ayat lain disebutkan.â€Å"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]Allah juga berfirman.â€Å"Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, [yaitu] ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]Begitu juga firman Allah Ta’ala.â€Å"Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]Dala kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.â€Å"Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, â€Å"Tahukah kalian apa itu ghibah ” Para sahabat menjawab, â€Å"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. â€Å"Beliau berkata, â€Å"Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, â€Å"Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya” Beliau menjawab, â€Å"Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”Allah Azza wa Jalla berfirman.â€Å"Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali [agama] Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala [berkata tanpa berdasar], banyak bertanya [yang tidak berfaedah] serta menyia-nyiakan harta” [1]Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. [Dalam hal ini], hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.â€Å"Artinya : Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, â€Å"Siapakah orang muslim yang paling baik ’Beliau menjawab, â€Å"Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.Al-Hafizh [Ibnu Hajar Al-Asqalani] menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, â€Å"Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnyaTanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadiBila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpalJika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.â€Å"Artinya : Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku [untuk menjaga] apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]_________Foote Note.[1] Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=709&bagian=0


Artikel Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik 1/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik 1/3.