Minggu, 18 Mei 2008

Fiqh Wudhu : Sampai Dimana Batasan Wajah (Muka) ? Apa Yang Dimaksud Dengan Tertib (Urut) ?

Kumpulan Artikel Islami

Fiqh Wudhu : Sampai Dimana Batasan Wajah (Muka) ? Apa Yang Dimaksud Dengan Tertib (Urut) ? Fiqh Wudhu : Sampai Dimana Batasan Wajah [Muka] Apa Yang Dimaksud Dengan Tertib [Urut]

Kategori Fiqih Ibadah

Sabtu, 1 Oktober 2005 06:56:51 WIBFIQIH WUDHU BAB WUDHUOlehSyaikh Abdul Aziz Muhammad As-SalmanPertanyaan.Sampai dimana batasan wajah [muka] itu Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di [daerah] muka ketika berwudhu Jawaban.Batasan-batasan wajah [muka] adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu [janggut] memanjang [atas ke bawah], dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya [atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya] beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang [tidak lebat]. Karena Anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan disunnahkan menyela-nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.Pertanyaan.Apa yang dimaksud dengan tertib [urut] Apa dalil yang mewajibkannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah JawabanYang dimaksud dengan tertib [urut] adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan [sampai siku], kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas [Al-Maidah : 6]. Di dalam ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib [urut].Kedua, Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamâ€Å"Artinya : Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya” [2]Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Abasah. Dia berkata, â€Å"Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu ” Rasulullah berkata.â€Å"Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di [rongga] mulut dan rongga hidungnya bersama air wudhunya, kemudian [tidaklah] ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian [tidaklah] ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dosa-dosa tangannya bersama air wudhu melallui jari-jari tangannya, kemudian [tidaklah] ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dosa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian [tidaklah] ia memabasuh kedua kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya” [Hadits Riwayat Muslim No. 832]Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu ‘Alam.[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 07/I/1424H -2003M]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1595&bagian=0


Artikel Fiqh Wudhu : Sampai Dimana Batasan Wajah (Muka) ? Apa Yang Dimaksud Dengan Tertib (Urut) ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Fiqh Wudhu : Sampai Dimana Batasan Wajah (Muka) ? Apa Yang Dimaksud Dengan Tertib (Urut) ?.

Nasehat Untuk Ikhwan Dan Akhwat 1/3

Kumpulan Artikel Islami

Nasehat Untuk Ikhwan Dan Akhwat 1/3 Nasehat Untuk Ikhwan Dan Akhwat 1/3

Kategori Nasehat

Senin, 21 Juni 2004 09:50:13 WIBNASEHAT UNTUK IKHWAN DAN AKHWATOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BaazBagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]Inilah nasehatku kepada ikhwan dan akhwat fillah pada khususnya, dan kepada seluruh manusia pada umumnya. Inilah nasehatku buat kalian dan juga buat diriku sendiri. Yaitu ; hendaklah kita senantiasa memperhatikan Al-Qur'an, merenungi makna-maknanya. mengahafalnya di luar kepala, tamak untuk terus menerus membacanya, sesekali membaca dengan cara melihat pada mushaf, kali lain membaca dengan hafalan tanpa melihat mushaf. Manakala pembaca Al-Qur'an tergolong yang sudah hafal maka ditindaklanjuti dengan merenungi, memikirkan, dan mencari faedah dari apa yang dibaca. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah :"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran". [Shad : 29].Adapun pelaksanaannya yaitu dengan pengamalan, pemahaman dan pendalaman. Allah subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an untuk diamalkan, dikaji dan didalami. Allah berfirman :"Artinya : Dan Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat". [Al-An'am : 155]Al-Qur'an ini diturunkan untuk diamalkan dan diikuti. Tidak semata-mata hanya untuk dibaca dan dihafal. Karena menghafal dan membaca itu sekedar perantara saja. Adapun yang dimaksudkan adalah memahami kitab dan sunnah disertai dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dan melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Hal itu terkumpul dalam perintah Allah Ta'ala di dalam surat At-Taubah : 71."Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [At-Taubah : 71]Ayat ini merupakan kumpulan dari ayat-ayat yang secara menyeluruh menjelaskan sifat-sifat mukmin dan mukminat dan akhlaknya yang agung serta apa-apa yang diwajibkan atas mereka. Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong sebagian yang lain". [At-Tubah : 71].Ayat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mukminin dan mukminat, mereka itu adalah saling menjadi wali satu sama lain, mereka saling memberi nasehat dan saling mencintai karena Allah dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran dan saling tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Demikian sifat mukminin dan mukminat.Seorang mukminin menjadi wali atas saudaranya fillah, yang laki-laki dan perempuan. Seorang mukminat menjadi wali bagi saudaranya fillah, baik yang laki-laki dan perempuan. Masing-masing diantara mereka merasa senang terhadap kebaikan [yang diperoleh] saudaranya. Mereka mendoakan kebaikannya, turut bahagia atas keistiqamahan saudaranya dan mencegah keburukan yang akan menimpanya, tidak melakukan ghibah padanya, tidak berbicara yang dapat menjatuhkan kehormatannya, tidak mengadu domba tidak memberikan persaksian palsu atasnya dan tidak memakinya, serta tidak memanggilnya dengan panggilan bathil. Demikianlah akhlak mukminin dan mukminat.Manakala kau dapatkan dirimu menyakiti saudaramu fillah baik laki-laki atau perempaun misalkan dengan mengghibah, mencela, mengadu domba atau mendustainya dan lain semisalnya, ketahuilah bahwa keimananmu kurang atau engkau adalah orang yang lemah iman. Seandainya keimananmu itu benar-benar lurus lagi sempurna, niscaya kamu tidak akan mendhalimi saudaramu atau melakukan ghibah dan adu domba, atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan bathil, atau memberikan persaksian palsu atau sumpah palsu atau mencacinya dan semisalnya. Maka keimanan kepada Allah, dan rasul-Nya, taqwa kepada Allah, kebaikan dan hidayah, kesemuanya itu mencegah seseorang melakukan tindakan yang menyakitkan saudaranya fillah baik laki-laki atau wanita. Mereka dilarang melakukan ghibah, cacian, kedustaan, memanggil dengan sebutan yang bathil, mempersaksikan dengan kedustaan dan berbagi macam tindak kezhaliman. Keimanan seseorang yang benar, merintangi dan menghalangi untuk berbuat berbagi tindakan yang menyakitkan saudaranya.Allah berfirman :"Artinya : .... mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,....." [At-Taubah : 71]Inilah kewajiban yang besar yang didalamnya ada kebaikan bagi umat, kemenangan bagi agama dan terhindarnya sebab-sebab kebinasaan, kemaksiatan dan kejahatan.Sudah selayaknya bagi mukminin dan mukminat untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Seorang mukmin tidak akan berdiam diri melihat kemungkaran yang terjadi pada saudaranya, pastilah ia berusaha untuk mencegahnya. Apabila melihat pada diri saudara, bibi atau saudari perempuan yang lain melakukan kemaksiatan pastilah mereka akan mencegahnya. Apabila melihat pada diri saudaranya fillah meremehkan kewajiban pastikah akan mengingkarinya dan memerintahkannya kepada kebaikan. Itu semua dilakukan dengan bijak dan cara yang baik. Seorang mukmin apabila melihat saudaranya bermalas-malas dalam menunaikan shalat, melakukan ghibah, adu domba, minum khamr, merokok, mabuk-mabukan, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali persaudaraan, pastilah ia akan mengingkarinya dengan ucapan yang baik dan cara yang tepat, ia tidak menuduhnya dengan sebutan yang dibenci atau dengan cara yang kasar. Allah telah memberikan penjelasan bahwa hal tersebut adalah dilarang.Demikian pula jika ia melihat kemungkaran pada diri saudara perempuannya fillah, ia harus mengingkarinya. Seperti tatkala dia tidak patuh kepada orang tuanya, berlaku buruk pada suaminya, meremehkan pendidikan anak-anaknya atau meremehkan shalatnya, maka seorang mukmin harus mengingkarinya, baik [ia itu] suaminya, ayahnya, saudaranya, kemenakannya atau bahkan tidak ada hubungan kekerabatan dengannya. Sebaliknya jika seorang mukminah melihat pada diri suaminya sikap meremehkan [kewajiban], ia pun harus melarangnya. Seperti, jika ia melihat suaminya minum khamr, merokok,meremehkan shalat atau suaminya shalat fardhu di rumah [tidak di masjid], maka ia harus mengingkarinya dengan cara yang baik dan ucapan yang baik pula. Seperti dengan mengatakan [kepada suaminya], "Wahai Hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah ! Sesungguhnya perbuatan itu tidak boleh kamu lakukan. Peliharalah shalat jama'ah. Tinggalkanlah apa yang telah diharamkan Allah kepadamu dari minuman yang memabukkan, merokok, mencukur jenggot, memanjangkan kumis atau isbal".Kemungkaran-kemungkaran ini wajib diingkari oleh setiap orang beriman. Maka hal ini wajib atas suami dan istri, saudara, kerabat, tetangga, teman duduk dan yang lain untuk menegakkan kewajiban ini. Sebagaimana firman Allah :"Artinya : ... mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar ....". [At-Taubah : 71]Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Artinya : Sesungguhnya, apabila manusia telah melihat kemungkaran, lalu ia tidak mau merubahnya, dikhawatirkan Allah akan meratakan adzab-Nya"."Artinya : Barangsiapa di antara kamu sekalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman".Perintah ini berlaku umum untuk seluruh bentuk kemungkaran, baik yang terjadi di jalan-jalan, di rumah, di masjid, di kapal terbang, di kereta api, di mobil atau di tempat mana saja. Perintah amar ma'ruf nahi mungkar itu berlaku secara umum baik kepada laki-laki atau perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan harus berbicara tentang amar ma'ruf dan nahi mungkar. Karena amar ma'ruf nahi mungkar membawa kebaikan dan keselamatan untuk semua pihak. Tak seorangpun boleh berdiam diri dari amar ma'ruf nahi mungkar semata-mata karena takut kepada setiap muslim atau takut kepada suami, saudara laki-laki atau fulan dan fulan. Setiap muslim harus tetap beramar ma'ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan ucapan yang mengena, tidak dengan cara yang kasar dan keras. Disamping juga memperhatikan waktu yang tepat. Ada kalanya, seseorang tidak bisa menerima pengarahan pada waktu tertentu, tetapi ia bisa menerima pengarahan pada waktu yang lain, bahkan dengan lapang dada.[Disalin dari buku Akhlaqul Mukminin wal Mukminat, dengan edisi Indonesia Akhlak Salaf, Mukminin & Mukminat, oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, hal 35-42, terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Ihsan]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=839&bagian=0


Artikel Nasehat Untuk Ikhwan Dan Akhwat 1/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Nasehat Untuk Ikhwan Dan Akhwat 1/3.

Beberapa Kesalahan Dilakukan Oleh Sebagian Jamaah Haji 2/2

Kumpulan Artikel Islami

Beberapa Kesalahan Dilakukan Oleh Sebagian Jamaah Haji 2/2 Beberapa Kesalahan Dilakukan Oleh Sebagian Jamaah Haji 2/2

Kategori Hajji Dan Umrah

Kamis, 4 Maret 2004 10:52:48 WIBBEBERAPA KESALAHAN YANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN JAMAAH HAJIOlehKumpulan UlamaBagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]Keenam : Beberapa Kesalahan Ketika Melempar Jamrah[1] Ketika melempar Jamrah, ada sebagian jama'ah haji yang beranggapan, bahwa mereka itu adalah melempar syaithan. Mereka melemparnya dengan penuh kemarahan disertai dengan caci maki terhadapnya. Padahal melempar Jamrah itu hanyalah semata-mata disyari'atkan untuk melaksanakan dzikir kepada Allah.[2] Sebagian mereka melempar Jamrah dengan batu besar, atau dengan sepatu, atau dengan kayu. Perbuatan ini adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang disyariatkan dalam melemparnya hanyalah dengan batu-batu kecil sebesar kotoran kambing.[3] Berdesak-desakan dan pukul-memukul didekat tempat-tempat Jamrah untuk dapat melempar. Sedang yang disyari'atkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain.[4] Melemparkan batu-batu tersebut seluruhnya sekaligus. Yang demikian itu hanya dihitung satu batu saja, menurut pendapat para Ulama. Dan yang disyariatkan, adalah melemparkan batu satu persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan.[5] Mewakilkan untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu, karena menghindari kesulitan dan desak-desakan. Padahal mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika ia sendiri tidak mampu, karena sakit atau semacamnya.Ketujuh : Beberapa Kesalahan Dalam Tawaf Wada'.[1] Sebagian jamaah haji meninggalkan Mina pada hari Nafar [tgl. 12 atau 13 Dzu-l-Hijjah] sebelum melempar Jamrah, dan langsung melakukan Tawaf Wada', kemudian kembali ke Mina untuk melempar Jamrah. Setelah itu, mereka langsung pergi dari sana menuju negara masing-masing ; dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat Jamrah, bukan dengan Baitullah. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan Mekkah, sebelum mengakhiri perjumpaannya [dengan melakukan Tawaf] di Baitullah". Maka dari itu, Tawaf Wada wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji, dan langsung beberapa saat sebelum bertolak. Setelah melakukan Tawaf Wada' hendaknya jangan menetap di Mekkah, kecuali untuk sedikit keperluan.[2] Seusai melakukan Tawaf Wada', sebagian mereka keluar dari Masjid dengan berjalan mundur sambil menghadapkan muka ke Ka'bah, karena mereka mengira bahwa yang sedemikian itu adalah merupakan penghormatan terhadap Ka'bah. Perbuatan ini adalah bid'ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama.[3] Saat sampai di pintu Masjid Haram, setelah melakuan Tawaf Wada', ada sebagian mereka yang berpaling ke Ka'bah dan mengucapkan berbagai do'a seakan-akan mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ka'bah. Ini pun bid'ah, tidak disyari'atkan.Kedelapan : Beberapa Kesalahan Ketika Ziarah ke Masjid Nabawi[1] Mengusap-ngusap dinding dan tiang-tiang besi ketika menziarahi kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikatkan benang-benang atau semacamnya pada jendela-jendela untuk mendapatkan berkah. Sedangkan keberkahan hanyalah terdapat dalam hal-hal yang disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan dalam bid'ah.[2] Pergi ke gua-gua di Gunung Uhud, begitu juga ke Gua Hira dan Gua Tsur di Mekkah, dan mengikatkan potongan-potongan kain di tempat tempat itu, disamping membaca berbagai do'a yang tidak diperkenankan oleh Allah, serta bersusah payah untuk melakukan hal-hal tersebut. Kesemuanya ini adalah bid'ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam Syari'at Islam yang suci ini.[3] Menziarahi beberapa tempat yang dianggapnya sebagai tanda peninggalan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, seperti tempat mendekamnya unta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sumur khatam mupun sumur Usman, dan mengambil pasir dari tempat-tempat ini dengan mengharapkan barakah.[4] Memohon kepada orang-orang yang telah mati ketika berziarah ke pekuburan Baqi' dan Syhadah Uhud, serta melemparkan uang ke pekuburan itu demi mendekatkan diri dan mengharapkan barakah dari penghuninya. Ini adalah termasuk kesalahan besar, bahkan termasuk perbuatan syirik yang terbesar, menurut pendapat para Ulama, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya ibadah itu hanyalah ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh sama sekali mengalihkan tujuan ibadah selain kepada Allah, seperti dalam berdo'a, menyembelih kurban, bernadzar dan jenis ibadah lainnya, karena firman Allah :"Artinya : Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama".Dan firman-Nya :"Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah".Kita memohon kepada Allah, semoga Ia memperbaiki keadaan ummat Islam ini dan memberi mereka kefahaman dalam agama serta melindungi kita dan seluruh ummat Islam dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar dan Mengabulkan do'a hamba-Nya.[Disalin dari buku Petunjuk Jama'ah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 37-41. Diterbitkan dan diedarkan oleh Department Agama, Waqaf, Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=370&bagian=0


Artikel Beberapa Kesalahan Dilakukan Oleh Sebagian Jamaah Haji 2/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Beberapa Kesalahan Dilakukan Oleh Sebagian Jamaah Haji 2/2.

Malu Mengenakan Busana Muslim Di Negara Kafir

Kumpulan Artikel Islami

Malu Mengenakan Busana Muslim Di Negara Kafir Malu Mengenakan Busana Muslim Di Negara Kafir

Kategori Al-Wala' Dan Al-Bara'

Senin, 7 Februari 2005 22:38:38 WIBMALU MENGENAKAN BUSANA MUSLIM DI NEGARA KAFIROlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

>> Pertanyaan :Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada sebagian orang yang ketika bertandang ke luar negeri merasa tertekan dan malu bila mengenakan busana yang menunjukkan keislamannya. Apa saran Syaikh?

>> Jawaban :Memang benar apa yang dikatakan oleh penanya, dan ini sungguh ironis. Kendati kita memang orang-orang yang tinggi derajatnya, namun kita dapati adanya kelemahan kepribadian, dan realitanya kita merasakan bahwa kita hanyalah pengekor dan pengikut mereka. Ada sebagian orang di antara kita, ketika melihat sesuatu yang bermanfaat tidak mengaitkannya kepada dirinya dan tidak pula kepada kaum muslimin lainnya, akan tetapi mengatakan, 'ini merupakan peradaban barat atau timur, dan ia tidak merasa bangga dengan kepribadiannya di hadapan arus kerusakan mereka, padahal ketika mereka datang ke negera kita dengan pakaian mereka yang memalukan, terbuka dan vulgar, bahkan para wanita mereka ketika berada di negara-negara kaum muslimin berpakaian dengan setengah pahanya terbuka, lehernya terbuka, betisnya terbuka dan berjalan berlenggak-lenggok dengan kedua kakinya, seolah-olah menghentakkan bumi dari bawah dan tidak peduli bahwa dirinya adalah seorang wanita. Lalu, bagaimana dengan kaum laki-laki muslim Kenapa mesti malu berjalan dengan mengenakan busana muslim yang tertutup di negara mereka Bukankah ini bukti nyata yang menunjukkan lemahnya kepribadianJawabnya, tentu saja. Jika kita memperlakukan mereka dengan cara serupa berarti kita telah memperlakukan mereka dengan adil. Saat mereka datang ke negara kita dengan pakaian mereka tanpa mempedulikan perasaan kita, kenapa kita tidak bisa datang bertandang ke negara mereka dengan mengenakan busana khas kita dan tidak mempedulikan perasaan mereka.Ada seseorang yang saya percaya bercerita kepada saya, kini ia telah menghuni kuburan, ia mengatakan, bahwa ketika ia berkunjung ke suatu ibu kota negara barat dengan mengenakan busana Islami khas negaranya, ia mengatakan, 'saya dapati mereka lebih banyak menghormati, bahkan mereka bersegera membukakan pintu mobil saat aku hendak naik.'Lihat, bagaimana seseorang merasa bangga karena telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, tapi jika kita merendahkan diri di hadapan mereka, tentunya ini bukan sikap seorang muslim. Jika Anda melihat ulang sejarah dan perilaku para mujahidin muslimin terhadap musuh-musuh mereka dalam peperangan, tentu akan Anda dapatkan, betapa bangganya mereka, kaum muslimin, terhadap para musuhnya. Kemudian, seharusnya seorang muslim memelihara kehormatannya, yaitu dengan tidak menganggap cara hidup mereka yang memalukan itu sebagai peradaban, tapi yang benar adalah kehinaan, bukannya peradaban karena yang demikian itu mengarah kepada kerusakan moral dan kekejian bahkan kekufuran kepada Allah Subhnahu wa Ta'ala. Demi Allah, tidak benar kita menyebutnya sebagai peradaban, bagaimana jadinya. Peradaban yang sesungguhnya adalah kemajuan yang bermanfaat, yaitu dengan berpegang teguh dengan agama Islam dan moralnya. Kenapa kita memberi mereka harga yang murah Agar kita katakan bahwa kalian adalah penyandang peradaban dan kita adalah penyandang keterbelakangan, padahal seharusnya kita maju dengan keislaman kita, baik secara aqidah, perbuatan, maupun manhaj, agar peradaban kita masuk kepada mereka.Bukankah "kejujuran" termasuk peradaban Jawabannya, benar. Itu terdapat dalam Islam, dan Islam telah menganjurkannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. " [At-Taubah: 119].Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjukkan ke surga, dan sungguh seseorang se-nantiasa berlaku jujur hingga dicatat sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menjukkan kepada kejahatan dan kejahatan itu menunjukkan ke neraka, dan sungguh seseorang senantiasa berdusta sehingga dicatat sebagai pendusta."[1]Namun sayangnya, banyak kaum muslimin yang telah kehilangan kejujuran, sehingga kita belum mencerminkan Islam dengan porsi yang besar dalam segi ini.Jujur dan terus terang dalam pergaulan telah diajarkan oleh Islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Dua orang yang saling berjual beli tetap memiliki hak pilih selama mereka belum berpisah, jika keduanya jujur dan saling berterus terang, maka akan diberkahi bagi mereka pada jual beli mereka, namun jika kedua saling berdusta dan saling menutupi, maka akan dicabut keberhakan dari jual beli mereka."[2]Apakah kejujuran dan keterusterangan ini telah terealisasi pada setiap muslim Jawabnya, tidak, bahkan itu telah sirna dari sebagian kaum muslimin, karena ada sebagian kaum muslimin yang tidak jujur dan enggan berterus terang, bahkan ada yang mengatakan, 'barang ini harganya seratus real', padahal sebenarnya hanya lima puluh real. Bukankah ini merupakan kedustaan dan penipuan! Padahal Islam telah melarang ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda."Artinya : Barangsiapa yang menipu kami, ia bukan dari golongan kami. "[3]Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berlepas diri dari yang demikian, namun demikian, sebagian kaum muslimin melakukan penipuan -na'udzu billah-. Dan bila kita amati sekitar kita-kaum muslimin-, akan kita dapati kondisi yang memalukan, Anda akan dapati bahwa ajaran-ajaran Islam yang telah memerintahkan untuk berlaku jujur, terus terang, lembut dan halus, telah sirna dari sebagian kita, bahkan kondisi yang kebalikannya yang banyak terdapat pada sebagian kita. Karena itu bisa kita katakan, bahwa sebagian kaum muslimin telah lari dari Islam dengan perilaku yang bertolak belakang dengan Islam.[Fatwa Al-'Aqidah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 787-789.][Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]_________Foote Note[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab [6094], Muslim dalam Al-Birr wash Shllah [2607].[2]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Buyu [2079], Muslim dalam Al-Buyu [1532].[3]. HR. Muslim dalam Al-Iman [101].

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1339&bagian=0


Artikel Malu Mengenakan Busana Muslim Di Negara Kafir diambil dari http://www.asofwah.or.id
Malu Mengenakan Busana Muslim Di Negara Kafir.

Bagaimana caranya menjadi orang yang kuat imannya

Kumpulan Artikel Islami

Bagaimana caranya menjadi orang yang kuat imannya

>> Pertanyaan :

Bagaimana agar seseorang itu menjadi kuat imannya, melaksanakanperintah-perintah Allah dan takut dari azab-Nya ?

>> Jawaban :

Yaitu dengan membaca kitab Allah [ Al-Qur'an ], mempelajari danmemahami arti dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dan denganmempelajari sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mengetahuisyari'at yang dikandung oleh sunnah tersebut secara rinci danmengamalkan sesuai dengan tuntunan keduanya dan selalu berpegangkepadanya dalam aqidah, perkataan dan perbuatan, serta selalumenghadirkan perasaan bahwa Allah selalu mengawasinya, dan selalumenghadirkan keagungan Allah, dan mengingat hari akhir dan apa yangada pada hari akhir tersebut, dari hal hisab, balasan, sangsi, danmengingat dahsyatnya hari pembalasan tersebut, dan juga dengan bergauldengan orang-orang shalih yang dikenalnya, serta menjauhi orang-orangyang jahat. Wallahu A'lam Fatwa Lajnah Daimah, Jld I/360

Artikel Bagaimana caranya menjadi orang yang kuat imannya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Bagaimana caranya menjadi orang yang kuat imannya.

Adab Berjalan Ke Masjid Dan Bacaan Sewaktu Masuk Dan Keluarnya

Kumpulan Artikel Islami

Adab Berjalan Ke Masjid Dan Bacaan Sewaktu Masuk Dan Keluarnya Adab Berjalan Ke Masjid Dan Bacaan Sewaktu Masuk Dan Keluarnya

Kategori Al-Masaa'il

Sabtu, 23 Oktober 2004 07:12:15 WIBADAB BERJALAN KE MASJID DAN BACAAN SEWAKTU MASUK DAN KELUARNYAOlehAl-Ustadz Abdul Hakim bin Amir AbdatHadits Pertama"Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang [yang datang]. Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa dengan kamu tadi [berisik] ". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut [jama'ah]", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan [dari shalatnya Imam], maka shalatlah kamu [seperti itu] dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !" [Hadits Shahih Riwayat : Bukhari, Muslim dan Ahmad]Hadits Kedua"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda : "Apabila kamu mendengar qamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan [dari shalatnya Imam], maka shalatlah kamu [seperti itu] dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah". [Hadits Riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa'i dan Ahmad]Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum :[1]. Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat [masjid].[2]. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun qamat telah dikumandangkan.[3]. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat [jama'ah] telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama'ah.[4]. Imam masjid perlu menegur [memberikan pelajaran/nasehat] kepada para jama'ah [ma'mum] yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain.[5]. Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat imam waktu itu.[6]. Setelah imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan.Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda."Artinya : Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat". [Hadits Shahih Riwayat : Muslim].Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam [Syarah Bulughul Maram] 2 : 33, 34. Nailul Authar [Terjemahan] 2 : 781. Koleksi Hadits Hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah.Hadits Ketiga".Artinya : ....Kemudian muadzin adzan [Shubuh], lalu Nabi keluar ke [tempat] shalat [masjid], dan beliau mengucapkan : "ALLAHUMMAJ 'AL FI QALBY NUURAN dan seterusnya [yang artinya] : "[Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan didalam ucapakanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada penglihatanku cahaya, dan jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya, dan jadikanlah dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya, ya Allah berikanlah kepadaku cahaya". [Hadits Riwayat : Muslim dan Abu Dawud]Keterangan :[1]. Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas yang menerangkan tentang shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diwaktu malam [shalat lail].[2]. Hadits ini menyatakan : Disukai kita mengucapkan do'a di atas di waktu pergi ke Masjid.Periksa : Tuhfatudz Dzakirin halaman : 93, Imam Syaukani. Al-Adzkar halaman : 25, Imam Nawawi. Fat-hul Bari' 11 : 116, Ibnu Hajar. Aunul Ma'bud [Syarah Abu Dawud] 4 : 232. Syarah Shahih Muslim 5 : 51, Imam Nawawi.Hadits Keempat"Artinya : Dari Abi Humaid atau dari Abi Usaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila salah seorang kamu masuk masjid, maka ucapkanlah : "ALLAHUMMAF TAHLII ABWAABA RAHMATIKA [Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu]". Dan apabila keluar [dari masjid], maka ucapkanlah : "ALLAHUMMA INNI AS ALUKA MIN FADLIKA [Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepada-Mu dari karunia-Mu] ".[Hadits Shahih Riwayat : Muslim, Ahmad dan Nasa'i].Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita mengucapkan do'a di atas apabila masuk ke masjid dan keluar dari masjid.Periksa : Shahih Muslim 2 : 155. Sunan Nasa'i 2: 41. Fat-hur Rabbani 3 : 51,52 Nomor hadits 314. Al-Adzkar hal : 25.Hadits Kelima"Artinya :Dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, apabila masuk masjid, beliau mengucapkan : "AUDZU BILLAHIL 'AZHIMI WABIWAJHIHIL KARIIMI WA SULTHANIHIL QADIIMI MINASY SYAITHANIR RAJIIM" [Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang tiada yang mendahuluinya, dari [gangguan] syaithan yang terkutuk]". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : Apabila ia mengucapkan demikian [do'a di atas], syaithanpun berkata : Dipeliharalah ia dari padaku sisa harinya" [Hadits Shaih Riwayat Abu Dawud]Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita membaca do'a mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan apabila memasuki masjid.Periksa : Sunan Abu Dawud Nomor hadits : 466, Aunul Ma'bud Nomor hadits : 462. Minhalul 'Adzbul Mauruud [Syarah Abu Dawud] 4 : 75, Tuhfatudz Dzakrin halman 94, Al-Kalimut Thayyib halaman 51,52, Ibnu Taimiyah. Al-Adzkar halman 26. Tafsir Ibnu Katsir 3 :294. [1][Disalin dari kitab Al-Masaa-il [Masalah-Masalah Agama]- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M]_________Foote Note[1]. Ditulis tanggal 28-1-1986

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1131&bagian=0


Artikel Adab Berjalan Ke Masjid Dan Bacaan Sewaktu Masuk Dan Keluarnya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Adab Berjalan Ke Masjid Dan Bacaan Sewaktu Masuk Dan Keluarnya.

Shalat Sendirian Di Belakang Shaf

Kumpulan Artikel Islami

Shalat Sendirian Di Belakang Shaf Shalat Sendirian Di Belakang Shaf

Kategori Shalat

Rabu, 25 Februari 2004 22:13:03 WIBSHALAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHAFOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

>> Pertanyaan :Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana pendapat yang shahih mengenai orang yang shalat sendirian di belakang imam ."?

>> Jawaban :Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam :[1] Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab ; Malik, Abu Hanifah, dan Al-Syafi'i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menafsirkan hadits kepada ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan : "Artinya : Tidak sempurna shalatnya orang sendirian di belakang shaf".[2] Shalatnya batal, baik shaf yang di depannya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits : "Artinya : Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam". Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.[3] Pendapat moderat ; jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni jika saudara masuk mesjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan firman Allah berikut. "Artinya : Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan" [At-Taghaabun : 16]Jika bukan dalam keadaan seperti itu, maka saudara bisa menempuh cara berikut ; menarik seorang makmum dari shaf untuk shalat bersama saudara ; maju ke depan untuk shalat bersama imam ; sendirian tidak berjama'ah ; atau shalat berjama'ah namun sendirian di belakang shaf karena tidak mungkin masuk ke shaf yang di depan. Inilah empat cara yang bisa dilakukan.Cara kesatu, yaitu menarik seseorang ke belakang untuk shalat bersama saudara. Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di sana ada tempat yang kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara'.Cara kedua, maju ke depan untuk shalat bersama imam. Cara ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian di tempatnya agar diikuti oleh yang dibelakang dan jangan sampai terjadi dua imam. Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki mesjid dan dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjama'ah lalu beliau ikut shalat di sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti itu dalam keadaan darurat, dimana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di shaf belakang. Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat yang tidak menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal ini menyalahi sunnah.Sedangkan cara ketiga, yaitu saudara meninggalkan berjama'ah dan shalat sendirian, berarti saudara kehilangan nilai berjama'ah dan nilai barisan shalat. Padahal diketahui bahwa shalat berjama'ah walau sendirian shafnya adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjama'ah. Hal ini telah dikuatkan oleh berbagai atsar [keterangan shahabat] dan pandangan yang sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya.Maka menurutku pendapat yang terkuat adalah jika shaf shalat telah penuh lalu seseorang shalat di belakang shaf dengan berjama'ah adalah lebih baik dan shalatnya sah.[Disalin dari buku Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shaleh Al-Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press hal. 96-97 alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=296&bagian=0


Artikel Shalat Sendirian Di Belakang Shaf diambil dari http://www.asofwah.or.id
Shalat Sendirian Di Belakang Shaf.

Iman Kepada Hari Akhir Mengandung Tiga Unsur

Kumpulan Artikel Islami

Iman Kepada Hari Akhir Mengandung Tiga Unsur Iman Kepada Hari Akhir Mengandung Tiga Unsur

Kategori Syarhu Ushulil Iman

Senin, 9 Mei 2005 06:05:28 WIBIMAN KEPADA HARI AKHIROlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminBagian Pertama Dari Tiga Tulisan 1/3Hari akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab da dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur.[1]. Mengimani ba’ts [kebangkitan], yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya” [Al-Anbiyaa : 104]Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al-Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan [dari kuburmu] di hari Kiamat” [Al-Mu’minun : 15-16]Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.â€Å"Artinya : Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat” [Hadits Riwayat Bukhari-Muslim]Umat Islam sepakat akan adanya hari Kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaanNya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkanNya melalui lisan para rasulNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kami secara main-main [saja], dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ” [Al-Mu’minun : 115]Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamâ€Å"Artinya :Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu [melaksanakan hukum-hukum] Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali” [Al-Qashash : 85][2]. Mengimani hisab [perhitungan] dan jaza’ [pembalasan] dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, Sunnah dan ijma [kesepakatan] umat Islam.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmanâ€Å"Artinya : Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka” [Al-Ghasyiyah : 25-26]â€Å"Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya [pahala] sepuluh kali lipat amalnya ; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya [dirugikan]” [Al-An’am : 160]â€Å"Artinya : Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika [amalan itu] hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan [pahalanya]. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan” [Al-Anbiyaa : 47]Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Allan nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya : â€Å"Apakah kamu tahu dosamu itu ” Ia menjawab, â€Å"Ya Rabbku”. Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, â€Å"Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya”. Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang Kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim” [Hadits Riwayat Bukhari Muslim]Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Sesungguhnya yang berniat melakukan satu kebaikan lalu mengamalkannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai beberapa lipat lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah menulisnya satu kejahatan saja”Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentangNya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb Yang Mahabijaksana, Mahasuci darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan hal itu dalam firmanNya.â€Å"Artinya : Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai [pula] rasul-rasul [Kami], maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka [apa-apa yang telah mereka perbuat], sedang [Kami] mengetahui [keadaan mereka], dan Kami sekali-kali tidak jauh [dari mereka]” [Al-A’raaf : 6-7][3]. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasulNya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.â€Å"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘And yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah [balasan] bagi orang yang takut kepada Rabbnya” [Al-Bayyinnah : 7-8]â€Å"Artinya : Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu [bermacam-macam nikmat] yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” [As-Sajdah : 17]Neraka adalah tempat adzab yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk orang-orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan RasulNya. Di dalam Neraka terdapat berbagai adzab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.â€Å"Artinya : Dan peliharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir” [Al-Imran : 131]â€Å"Artinya : …. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” [Al-Kahfi : 29]â€Å"Artinya : Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala [Neraka]. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak [pula] seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Nereka, mereka berkata ; â€Å"Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat [pula] kepada Rasul” [Al-Ahzab : 64-66][Ditulis ulang dari Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1426&bagian=0


Artikel Iman Kepada Hari Akhir Mengandung Tiga Unsur diambil dari http://www.asofwah.or.id
Iman Kepada Hari Akhir Mengandung Tiga Unsur.

Hukum Memakai Emas

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Memakai Emas Hukum Memakai Emas

Kategori Ahkam

Minggu, 15 Februari 2004 17:54:19 WIBHUKUM MEMAKAI EMAS SEPUHANOlehSyaikh Abdul Aziz bin BazPertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa hukumnya memakai emas sepuhan Jawaban.Dihalalkan bagi wanita untuk memakai emas, baik yang sepuhan maupun yang tidak sepuhan, berdasarkan keumuman ayat :"Artinya : Dan apakah patut [menjadi anak Allah] orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran" [Az-Zukhrif : 18]Di sini Allah menyebutkan bahwa berhias merupakan tabi'at wanita yang mencakup berhias dengan emas maupun selainnya. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad jayyid, dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil sutera dan memegangnya dengan tangan kanannya, dan mengambil emas serta memegangnya dengan tangan kirinya kemudian beliau berkata :"Artinya : Sesungguhnya kedua barang ini hukumnya haram atas para pria dari umatku"Ibnu Majah menambahkan dalam riwayatnya, "Dan dihalalkan untuk para wanita umatku"Juga berdasarkan riwayat Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, yang menshahihkannya, juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan ia menshahihkannya, diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani yang menshahihkannya, diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dan Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Dihalalkan emas dan sutera bagi para wanita dari umatku dan diharamkan bagi para lelaki dari umatku"[Fatawa Mar'ah, 2/87][Disalin dari kitab Al-Fatawa al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indoensia Fatwa-fatwa Tentang Wanita 3,Darul Haq, hal. 100-101]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=209&bagian=0


Artikel Hukum Memakai Emas diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Memakai Emas.

Hutang Tidak Menghalangi Zakat

Kumpulan Artikel Islami

Hutang Tidak Menghalangi Zakat Hutang Tidak Menghalangi Zakat

Kategori Zakat

Sabtu, 17 September 2005 07:46:33 WIBHUTANG TIDAK MENGHALANGI ZAKATOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang yang berjualan barang-barang dagangan dengan cara mengambil barang-barang tersebut di sebuah perseroan asing secara kredit [hutang]. Ketika barang-barang tersebut sudah mencapai haul [sudah tiba saatnya di zakati], dia masih punya hutang kepada perseroan tersebut dalam jumlah yang sangat besar, tapi belum jatuh tempo. Beberapa hari sebelum haulnya tiba, dia melunasi seluruh hutangnya dengan niat agar dia tidak membayar zakat dari hutang tersebut. Berdosakah niat yang ia lakukan tersebut Bagaimana cara pembayaran zakatnya apabila saat jatuh haul :[1]. Jumlah seluruh barang dagangan yang disimpan sebesar 200.000 real[2]. Jumlah hutang 300.000 real[3]. Jumlah piutang 200.000 real[4]. Uang simpanan di bank sebanyak 100.000 realApabila dia menunda pembayaran hutang tersebut sampai akhirnya tiba saat haul, lalu dia membayar hutangnya dengan uang simpanannya sendiri [bukan dengan uang hasil penjualan barang-barang terebut]. Apakah pembayaran hutang tersebut bisa dianggap sebagai zakat JawabanOrang yang membayar hutang sebelum hutang tersebut tiba masa haulnya, maka dia tidak wajib membayar zakatnya dan hal itu diperbolehkan. Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu pernah memerintahkan kepada orang yang berhutang agar membayar hutangnya sebelum hutang tersebut mencapai haul. Begitu juga orang yang berhutang boleh menyegerakan membayar sebagian hutangnya setelah jatuh tempo. Ini merupakan pendapat yang paling shahih diantara pendapat para ulama. Karena hal ini mengandung maslahat [kebaikan] bagi orang yang berhutang dan yang berpiutang, serta hal itu jauh dari riba.Adapun barang-barang dagangan yang berada di tangan anda, maka Anda wajib mengeluarkan zakatnya apabila sudah sampai haul. Begitu juga tabungan Anda yang berada di bank, Anda wajib menzakatinya ketika tabungan tersebut sudah mencapai haul. Sedangkan harta Anda yang berada di tangan orang lain [piutang] maka hal ini masih membutuhkan perincian lebih lanjut : Apabila Anda masih mempunyai harapan bahwa harta tersebut akan kembali ke tangan anda, maka Anda wajib menzakatinya apabila sudah sampai haul, karena harta tersebut tidak ubahnya seperti uang yang Anda tabung di bank atau di tempat lain. Tetapi apabila Anda tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan harta tersebut misalnya karena yang berhutang mengalami kebangkrutan, maka dalam hal ini Anda tidak wajib menzakatinya. Demikianlah pendapat yang shahih di antara pendapat para ulama.Sebagian ulama dalam hal ini berpendapat bahwa dia wajib menzakati piutangnya selama satu kali haul saja. Ini adalah pendapat yang bagus karena pendapat ini mengandung kehati-hatian akan tetapi hal ini tidak wajib, karena zakat itu merupakan kelebihan [dari suatu harta]. Oleh karena itu tidak wajib zakat terhadap suatu harta yang belum diketahui apakah harta tersebut masih ada atau sudah hilang, misalnya seperti harta yang berada di tangan orang yang mengalami kebangkrutan atau dicuri orang, atau hilang atau binatang ternak yang tersesat dan lain-lain.Adapun hutang yang menjadi tanggungan anda, maka Anda harus mengeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai haul, demikianlah pendapat yang lebih shahih dari para ulama. Dan harta [hutang] yang berada di tangan Anda yang akan Anda serahkan kepada orang yang berpiutang, lalu harta tersebut mencapai haul sebelum Anda serahkan kepada orang yang berpiutang, maka harta tersebut masih harus dizakati dan anda-lah yang wajib mezakatinya. Karena harta tersebut telah mencapai haul ketika masih berada di tangan anda. Dan Allah tempat meminta tolong[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan – Solo]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1577&bagian=0


Artikel Hutang Tidak Menghalangi Zakat diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hutang Tidak Menghalangi Zakat.

Manhaj Salaf Tidak Mempunyai Program Perbaikan Komprehensif, Pemecah Belah Dan Pemicu Fitnah

Kumpulan Artikel Islami

Manhaj Salaf Tidak Mempunyai Program Perbaikan Komprehensif, Pemecah Belah Dan Pemicu Fitnah Manhaj Salaf Tidak Mempunyai Program Perbaikan Komprehensif, Pemecah Belah Dan Pemicu Fitnah

Kategori Fokus Utama

Rabu, 10 Agustus 2005 07:46:46 WIBDAKWAH SALAFIYAH MENEPIS TUDUHANOlehSyaikh DR. Abu Anas Muhammad Musa Alu NashrBagian Terakhir dari Empat Tulisan [4/4][7]. TIDAK MEMPUNYAI PROGRAM KE DEPAN YANG JELAS DAN PROGRAM PERBAIKAN SECARA KOMPREHENSIFTuduhan bahwa manhaj salaf tidak memiliki program perbaikan secara komprehensif, ini adalah kedustaan. Sebab manhaj salaf itu mereguk kaidah dan asasnya dari Al-Qur’an, Sunnah dan peninggalan para sahabat, tabi’in. Sedang mereka memahami agama ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat untuk diterapkan pada kehidupan nyata dan masyarakat mereka. Kemudian mereka mentrasnfer ilmu ini kepada generasi sesudahnya. Tidak samar lagi bagi orang yang berakal bahwa kemenangan, kebaikan dan kemuliaan, muncul di tengah umat ini [tiga kurun utama] hanyalah karena dilandasi mengikhlaskan agama ini bagi Allah dan hanya mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah generasi yang terbaik dan utama yang telah dipuji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sabdanya : â€Å"Sebaik-baik manusia adalah orang-orang dimasaku, orang-orang sesudah mereka dan sesudahnya”. Berawal dari sini terlontarlah ucapan Imam Malik rahimahullah : â€Å"Tidak akan sukses umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah membuat sukses generasi awal”. Generasi awal itu meraih kesuksesan lantaran mereka hanya mengesakan Allah dan hanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang selalu didengungkan salafiyun yang kemudian dinamakan Tashfiyah dan Tarbiyah.Tashfiyah adalah pemurnian secara menyeluruh ajaran Islam dari anasir di luar Islam, baik dalam aqidah, fiqh, tafsir, ilmu dan amalan. Tarbiyah adalah mendidik umat di atas agama yang telah dimurnikan tadi, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menggambarkan kelompok yang selamat : â€Å" Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj yang aku dan sahabatku menempuhnya”.Adapun program ke depan, cukuplah bagi kita firman Allah.â€Å"Artinya : Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya ; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi” [Ar-Ra’du : 17]â€Å"Artinya : Jika kamu menolong [agama] Allah,niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” [Muhammad : 7]â€Å"Artinya : Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada di sangka-sangkanya” [At-Thalaq : 2-3]Sabda RasulNya.â€Å"Artinya :Demi Allah, Dia akan menyempurnakan urusan ini hingga seorang berkendara dari Shan’a menuju Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah dan tidak takut serigala akan menerkam kambingnya, tetapi kalian terburu-buru” [Hadits Riwayat Bukhari 3416]Masa depan hanya di tangan Allah dan Dia telah menanggungnya. Balasan itu tergantung amalan. Yang penting kita beramal sesuai perintah Allah dan RasulNya, sedang hasil itu di tanganNya. Ini tidak menghalangi untuk saling membantu dengan didasari Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan berdasarkan perkumpulan hizbiyah yang memecah belah umat menjadi kelompok-kelompok. Perkumpulan ini tidak memberi sumbangan kepada umat kecuali kerusakan sepanjang masa.[8]. DAKWAH SALAFIYAH, DAKWAH PEMECAH BELAH DAN PEMANTIK FITNAHMereka tidak menuduh demikian melainkan karena dakwah ini memilah antara yang jelek dengan yang baik. Inilah yang dikehendaki Allah dan RasulNya.â€Å"Artinya : Supaya Allah memisahkan [golongan] yang buruk dan baik” [Al-Anfal : 37]â€Å"Artinya : Dan katakanlah ; Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu ; maka barangsiapa yang ingin [beriman] hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin [kafir] biarlah ia kafir” [Al-Kahfi : 29]Ketika da’i salafi memerangi bid’ah, pelakunya dan menyebar aibnya serta merta dituduh dengan tuduhan keji. Sebab termasuk asas pengekor hawa nafsu dan bid’ah adalah menyatukan umat untuk menjaga kesatuannya.Tidak peduli kepada kualitas dan ciri mereka. Tetapi yang diperhatikan hanya sisi kuantitas bagaimanapun rupa mereka. Oleh karena itu kamu melihat, mereka itu bersikap ramah kepada pelaku bid’ah dan penyesat dengan landasan agama. Mereka juga bersikap baik dan menunjukkan loyalitas kepada syi’ah. Anehnya mereka tidak mau berdamai dengan salafiyun dan tidak memberi toleransi. Bahkan mereka sangat memusuhi, membenci dan mencela salafiyun. Tidak sebatas itu mereka juga membesar-besarkan kesalahan salafiyun.Masih terngiang di telinga kita ucapan salah seorang tokoh ikhwan muslimin di kota Zarqo [Yordania], dimana dia membela Khomeini, revolusinya dan membantah salafiyin yang memperingatkan revolusi Khomeini ini, dia berkata : â€Å"Seorang muslim syi’ah yang menegakkan syari’at Allah lebih baik ketimbang sunni salafi yang tidak menegakkan syari’atNya, mereka adalah Talafiyuun [talafiyuun kata plesetan dari salafiyun, maksudnya perusak,-pen], mulailah dia menimbang tuduhan ; salafiyun pembuat fitnah dan pemecah belah umat.Saya [Abu Anas] katakana : â€Å"Ketahuilah bahwa mereka telah jatuh kedalam fitnah”. Tidak tahukah mereka bahwa syi’ah adalah yahudi umat ini. Mereka adalah makhluk terjelek dari seluruh kelompok, sebab mereka banyak melakukan bid’ah dan kesesatan, merubah kitab Allah, melaknat para sahabat, menuduh Ummul Mukminin Aisyah berzina, padahal Allah telah membersihkannya dari tuduhan itu langsung dari langit”. Maha Suci Allah dari semua ucapan orang-orang dhalim itu dan dari kedustaan mereka.Allahu A’lam.[Disalin dari kitab Madza Yanqimuna Minas Salafiyah dan dimuat di majalah Al-Furqon edisi 5 Th III, hal 29-33, alih bahasa Abu Nu’aim Al-Atsari]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1527&bagian=0


Artikel Manhaj Salaf Tidak Mempunyai Program Perbaikan Komprehensif, Pemecah Belah Dan Pemicu Fitnah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Manhaj Salaf Tidak Mempunyai Program Perbaikan Komprehensif, Pemecah Belah Dan Pemicu Fitnah.

Mengenal Tanda-Tanda Munafik (2-2)

Kumpulan Artikel Islami

Mengenal Tanda-Tanda Munafik (2-2) Pada kajian sebelumnya telah dibahas mengenaidefinisi ‘Nifaq’, jenis-jenisnya dan penjelasan makna hadits. Sekarangkita ikuti kajian selanjutnya!

3. Perbedaan Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menepati janji dalam 3pendapat:

PERTAMA, Menepati janji hukumnya Mustahab [dianjurkan], bukanwajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalahpendapat Jumhur ulama, yaitu tiga imam madzhab; Abu Hanifah,asy-Syafi’i dan Ahmad.

Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata, “Meriwayatkan hal itu sebagai ijma’tidak dapat diterima [ditolak] sebab perbedaan mengenainya amatmasyhur akan tetapi yang mengatakan demikian sedikit.

Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:

1. Hadits yang dikeluarkan Ibn Majah dan Abu Daud [yang menilainyaHasan], bahwasanya nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antarakamu berjanji kepada saudaranya sementara di dalam niatnya akanmenepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak ada dosa baginya.”

2. Bila seorang laki-laki berjanji, bersumpah dan ber-istitsna’ [bersumpahdengan menggunakan kata; insya Allah setelah sumpah tersebut], makamenurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap sumpahnya telah gugur [tidakdinilai melanggar sumpah]. Ini merupakan dalil gugurnya janji daripenjanji tersebut.

KE-DUA, Tidak harus menepati janji baik dari aspek keagamaan mau punpenunaian. Ini adalah pendapat Ibn Syubrumah, yaitu madzhab sebagianulama Salaf seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaqbin Rahawaih dan Zhahiriah.

Pendapat ini berdalil dengan nash-nash dari al-Qur’an dan hadits, diantaranya:

1. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilahaqad-aqad* itu.” [QS.al-Maa’idah:1] Dan firman-Nya, “Haiorang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamuperbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakanapa-apa yang tiada kamu kerjakan.” [QS.ash-Shaff:3-4], danayat-ayat lainnya.

2. Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda,

“Tanda orang munafiq ada tiga…” Di antaranya disebutkan: bilaberjanji, ia berdusta. Dengan begitu, mengingkari perjanjjanmerupakan salah satu sifat orang-orang munafik sehingga ia diharamkan.

3. Hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi, bahwa nabi SAW bersabda,

“Jangan berdebat dengan saudaramu, jangan mencandainya dan berjanjipadanya lalu kemudian kamu mengingkari [melanggar]nya.”

KE-TIGA, Merinci; wajib menepatinya bila janji tersebut ada sebabnyaseperti bila ia diperintahkan melakukan pembelian barang ataumelakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji melakukantindakan kesalahan, maka penjanji boleh menarik janjinya. Dalam halini, wajib memenuhi janji secara keagamaan mau pun penunaian.

Ada pun bila tidak terjadi hal yang merugikan terhadap orang yangdiberi janji dengan ditariknya janji tersebut, maka janji itu tidaklagi menjadi keharusan.

Dalil Pendapat Ini:

Bahwa nash-nash syari’at dalam masalah ini saling bertabrakan. Dan apayang disebutkan di atas adalah cara penggabungan [sinkronisasi] palingbaik.

Pendapat Syaikh asy-Syanqithi

Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-Bayaan” di dalam tafsirnya mengatakan,“Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan menepati janji;sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara mutlak. Sebagianlagi mengatakan, tidak harus secara mutlak. Sedangkan sebagian yanglain, bila dengan berjanji itu membuat orang yang diberi janji beradadalam kesulitan [bahaya], maka harus memenuhinya tetapi bila tidakdemikian, maka menjadi tidak harus lagi.

Abu Hanifah dan para sahabatnya, imam al-Awza’i dan asy-Syafi’i sertaseluruh ulama fiqih mengatakan, sesungguhnya tidak ada keharusan apapun terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak beradadalam pegangan, sama seperti masalah ‘Ariyah** yang bersifatdadakan.

Pendapat yang jelas bagiku, bahwa mengingkari janji tidak boleh sebabia merupakan salah satu tanda kemunafikan akan tetapi bila penjanjimenolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman apapun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mestidiperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.”

Pendapat Ulama Kontemporer

Di antara ulama kontemporer yang menyatakan keharusan memenuhi janjiadalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Abdurrahman bin Qasim,Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradhawi dan ulama lainnya.

Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam

Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah dalam keputusan bernomor 2, pada daurahke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6 Jumadal Ula 1409 H memutuskansebagai berikut:

“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaankecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bilaterkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitanakibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapatdilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau menggantikerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janjitersebut tanpa ‘udzur.”

CATATAN:

* Aqad [perjanjian] mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah SSWTdan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam perjanjian sesamanya

** Ulama fiqih mendefinisikannya, ‘Tindakan pemilik barang yangmembolehkan penggunaan barang miliknya kepada orang lain tanpakompensasi apa pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah-red]

[SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314]

Artikel Mengenal Tanda-Tanda Munafik (2-2) diambil dari http://www.asofwah.or.id
Mengenal Tanda-Tanda Munafik (2-2).

Hukum Memberi Uang Suap Agar Memperoleh Pekerjaan Dan Sejenisnya

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Memberi Uang Suap Agar Memperoleh Pekerjaan Dan Sejenisnya Hukum Memberi Uang Suap Agar Memperoleh Pekerjaan Dan Sejenisnya

Kategori Mu'amalat Dan Riba

Sabtu, 27 Maret 2004 08:39:24 WIBHUKUM MEMBERI UANG SUAP AGAR MEMPEROLEH PEKERJAAN DAN SEJENISNYAOlehSyaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-JibrinPertanyaan.Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Bagaimana hukum syrai’at tentang orang yang memberi uang dengan terpaksa agar bisa memperoleh pekerjaan atau bisa mendaftarkan anaknya di suatu perguruan tinggi atau hal-hal lain yang sulit diperoleh tanpa memberikan uang kepada petugas yang berwenang. Apakah orang yang memberi uang itu berdosa dalam kondisi seperti demikian Berilah kami fatwa, semoga Anda mendapat pahala.Jawaban.Tidak boleh memberi uang untuk memperoleh pekerjaan atau untuk bisa belajar di suatu perguruan tinggi atau fakultas tertentu, karena lembaga-lembaga pendidikan dan lowongan-lowongan pekerjaan itu terbuka bagi siapa saja yang berminat atau diprioritaskan bagi yang lebih dulu mendaftar atau yang lebih professional, maka tidak boleh dikhususkan bagi yang memberi uang atau bagi yang mempunyai hubungan dekat.Memberikan uang seperti itu disebut menyogok, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang menyogok dan yang disogok, karena uang/pemberian itu akan mempengaruhi kinerja para petugas yang memegang tugas-tugas tersebut atau lembaga-lembaga pendidikan tersebut sehingga mereka tidak obyektif dan tidak selektif, mereka hanya menerima orang yang mau memberi uang sejumlah yang diminta.Seharusnya mereka bekerja sesuai dengan peraturan dan tata tertib yang telah ditetapkan oleh atasan-atasan mereka, seperti ; mengutamakan orang-orang yang potensial dan para professional, mengutamakan yang lebih dulu mendaftar atau menentukan dengan di undi jika kualifikasinya sama. Dengan demikian setiap muslim akan rela dengan keputusan yang ditetapkan dan tidak ada paksaan untuk menyerahkan sejumlah uang untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan tersebut. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dan mengaruniainya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Wallahu A’lam.[Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin][Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 554-555 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=548&bagian=0


Artikel Hukum Memberi Uang Suap Agar Memperoleh Pekerjaan Dan Sejenisnya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Memberi Uang Suap Agar Memperoleh Pekerjaan Dan Sejenisnya.

Tafsir Ayat Poligami

Kumpulan Artikel Islami

Tafsir Ayat Poligami

>> Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Ayat tentang poligami dalamAl-Qur'an berbunyi: Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlakuadil, maka [kawinilah] seorang saja . [An-Nisa': 3]. Dan dalam ayatlain Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: Dan kamu sekali-kali tidakakan dapat berlaku adil di antara istri-istri [mu] walaupun kamusangat ingin berbuat demikian . [An-Nisa': 129]. Dalam ayat yangpertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwauntuk bersikap adil itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertamadinasakh [dihapus hukumnya] oleh ayat yang kedua yang berarti tidakboleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkindiwujudkan?

>> Jawaban :

Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertamatidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut darisikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapunsikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istriitu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firmanAllah Subhaanahu wa Ta'ala : Dan kamu selaki-kali tidak akan dapatberlaku adil di antara istri-istri [mu] walaupun kamu sangat inginberbuat demikian . [An-Nisa': 129]. Oleh sebab itu ada sebuah haditsdari Aisyah Radhiallaahu 'anha bahwasanya Rasu-lullah Shallallaahu 'alaihiwa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil,lalu mengadu kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala dalam do'anya: YaAllah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlahEngkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan . [HR. Abu Daud,Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban danHakim].

Artikel Tafsir Ayat Poligami diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tafsir Ayat Poligami.

Batas Waktu Tinggalnya Dajjal Di Bumi

Kumpulan Artikel Islami

Batas Waktu Tinggalnya Dajjal Di Bumi Batas Waktu Tinggalnya Dajjal Di Bumi

Kategori Fatawa 'Arkanil Islam

Kamis, 22 Juli 2004 08:16:48 WIBBATAS WAKTU TINGGALNYA DAJJAL DI BUMIOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Berapa lama batas waktu tinggalnya Dajjal di muka bumi Jawaban.Lamanya Dajjal tinggal di muka bumi hanya empat puluh hari. Akan tetapi sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan dan sehari seperti seminggu. Seluruh hari-hari yang dilaluinya seperti hari-hari yang kita lalui sekarang. Demikianlah yang dituturkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat pernah bertanya kepada Nabi, â€Å"Ya Rasulullah, hari yang seperti setahun ini, apakah cukup shalat sehari saja ” Beliau menjawab, â€Å"Tidak! Kira-kirakanlah saja !”Perhatikanlah contoh seperti ini agar kita bisa mengambil pelajaran bagaimana para sahabat senantiasa membenarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mau mentahrif [merubah atau menyelewengkan makna] atau menta’wil atau mengatakan bahwa hari tidak mungkin molor, karena matahari itu senantiasa beredar pada porosnya dan tidak berubah, akan tetapi memanjang lantaran banyak kesulitan yang terjadi pada hari itu atau karena hari itu sungguh melelahkan. Mereka tidak mengatakan demikian sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang sok pintar, akan tetapi membenarkan bahwa hari itu setahunnya juga dua belas bulan secara hakiki tanpa perlu ditahrif ataupun di ta’wil.Demikianlah mestinya seorang mukmin yang hakiki senantiasa tunduk terhadap apa yang diberikan oleh Allah dan RasulNya berupa masalah-masalah ghaib meskipun akalnya tidak sampai. Mereka tahu bahwa apa yang diberitakan oleh Allah dan RasulNya tidak mungkin sesuatu yang mustahil secara akal akan tetapi akal yang tidak sampai karena tak mampu mengetahuinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa hari pertama dari hari-hari yang dilalui oleh Dajjal adalah seperti setahun. Sekiranya hadits ini dibaca oleh roang-orang â€Å"belakangan” [muta’akhirin] yang mengaku sebagai kaum intelektual, mereka akan mengatakan, bahwa panjangnya hari itu merupakan majaz dari keletihan dan kesulitan yang ada pada hari itu, karena hari-hari bahagia adalah pendek sedangkan hari-hari sial adalah panjang.Berbeda dengan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum yang karena kejernihan hati dan ketundukan mereka menerima apa adanya dan mengatakan dengan polos bahwa Dzat yang telah menciptakan matahari menjadikannya berputar selama dua puluh empat jam sehari semalam kuasa untuk menjadikannya berputar selama dua belas bulan, karena Pencipta itu hanya satu dan Dia Maha Kuasa. Karena itulah mereka menerima dan pasrah, sedangkan yang ditanyakan adalah, â€Å"Bagaimana kami melakukan shalat !” Mereka menanyakan tentang masalah syar’i yang dibebankan kepada mereka, yaitu shalat.Demi Allah, ini merupakan hakikat ketundukan dan kepasrahan. Mereka mengatakan, â€Å"Ya Rasulullah! Hari yang seperti setahun itu, cukupkah bagi kita shalat sehari saja ” Beliau menjawab, â€Å"Tidak, namun kira-kirakanlah saja !” Subhanallah …. Jika Anda mau merenungkan, pasti jelas sekali bawah dien ini benar-benar sempurna dan menyeluruh, karena tidak mungkin ada satu masalahpun yang dibutuhkan oleh manusia sampai hari kiamat melainkan akan dia dapatkan pangkalnya dien ini.Bagaimana Allah membuat para sahabat itu menanyakan yang demikian Ini dimaksudkan agar dien ini menjadi sempurna dan tidak lagi butuh penyempurnaan. Manusia yang hidup di daerah-daerah kutub sekarang ini membutuhkan penjelasan semacam ini, karena disana bisa terjadi malam hari selama enam bulan dan siang hari selama enam bulan pula. Oleh karena itu, mereka membutuhkan hadits ini. Perhatikanlah bagaimana Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan fatwa seperti ini sebelum problema seperti ini terjadi, karena Allah telah berfirman.â€Å"Artinya : Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian din kalian dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian” [Al-Ma’idah : 3]Demi Allah, kalau kita renungkan â€Å"Telah Aku sempurnakan din kalian atas kalian”, pastilah kita tahu bahwa selamanya tidak akan terdapat satu kekuranganpun. Ia sempurna dari sehala sisi. Sedangkan kekurangan ada pada diri kita, entah karena sempitnya akal dan pemahaman kita atau karena adanya kehendak-kehendak yang tidak terarah dan tidak terkendali dari manusia yang hanya ingin memenangkan pendapatnya sehingga ia buta dari kebenaran. Namun kalau saja kita mau perhatikan berdasarkan ilmu dan pengetahuan serta niat baik, pasti akan kita dapatkan bahwa dien ini tidak memerlukan penyempurna dan tidak mungkin muncul satu masalah yang kecil ataupun yang besar melainkan terdapat pemecahannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Akan tetapi ketika hawa nafsu telah mendominasi manusia, jadilah sebagian manusia buta dari kebenaran dan kebenaran itu tidak tampak olehnya. Anda akan dapati mereka itu jika muncul suatu peristiwa atau masalah yang belum pernah dikenal sebelumnya secara persis, msekipun jenisnya sama, mereka saling berselisih pendapat lebihd ari jumlah jari-jari mereka. Jika hal itu mengandung dua pendapat, ada dapati mereka terdapat sepuluh pendapat. Ini semua karena hawa nafsu telah mendominasi manusia dewasa ini. Seandainya tidak dan niat yang ada adalah lurus, pemahamannya bersih, serta ilmunya luas, tentu kebenaran itu akan jelas.Pokoknya, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa Dajjal itu akan tinggal selama empat puluh hari, dan setelah empata puluh hari itu turunlah Al-Masih Isa putra Maryam yang dahulu telah dianggkat oleh Allah kepadaNya. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan : â€Å"Dia [Nabi Isa] akan turun di Menara Putih timur kota Damaskus dengan meletakkan kedua telapaknya pada saya dua malaikat. Jika kepalanya menunduk keluar aroma dan jika diangkat keluar permata seperti mutiara. Tiada seorang kafirpun yang mendapatkan baunya kecauali ia pasti mati”. Ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Selanjutnya Nabi Isa terus memburu Dajjal sehingga terpojok di Pintu Ludd di Palestina lalu dibunuh di sana. Saat itulah akhir riwayatnya.Nabi Isa selanjutnya tidak mau menerima agama lain selain Islam dan dia tidak mau menerima jizyah. Dia juga akan menghancurkan salib dan membunuh babi sehingga tiada yang diibadahi dan disembah selain Allah. Bertolak dari sini, jizyah yang diwajibkan oleh umat Islam berakhir sampai di sini, ketika turunnya Isa. Namun tidak bisa dikatakan bahwa ini syari’at Nabi Isa ‘alaihis salam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan hal itu serta menetapkannya. Tidak diberitahukan hal itu serta menetapkannya. Tidak diberlakukanny lagi jizyah setelah turunnya Nabi Isa merupakan Sunnah atau ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sunnah Rasul itu meliputi perkataan, perbuatan serta iqrar [pengakuan]. Beliau berbicara tentang Nabi Isa putra Maryam serta memberikan pengakuan, maka ini termasuk sunnahnya. Isa tidaklah membawa syari’at baru dan tidak ada seorangpun yang akan membawa syari’at baru kecuali dengan syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat.Inilah beberapa hal yang berkaitan dengan Dajjal yang bisa kami terangkan. Kita memohon kepda Allah agar melindungi kita semua dari fitnahnya.[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=929&bagian=0


Artikel Batas Waktu Tinggalnya Dajjal Di Bumi diambil dari http://www.asofwah.or.id
Batas Waktu Tinggalnya Dajjal Di Bumi.

Apakah makna ikhlas itu ?

Kumpulan Artikel Islami

Apakah makna ikhlas itu ?

>> Pertanyaan :

Apakah makna ikhlas itu ?

>> Jawaban :

Ikhlas karena Allah artinya apabila seseorang memaksudkan ibadahnyauntuk bertaqarrub [ mendekatkan diri ] kepada Allah dan bertawassul [menjadikan ibadahnya itu untuk mencapai ] kemuliaan-Nya. Apabilaseseorang memaksudkan ibadahnya untuk sesuatu yang lain, maka disiniada uraiannya, yang dapat dirinci menurut tiga macam golongan :1.seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahini dan untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain. Tentu saja halini menggugurkan pahala amal dan ini termasuk syirik. Dalam haditsqudsi Allah berfirman : Aku adalah sekutu yang paling tidakmembutuhkan sekutu. Barang siapa melakkukan suatu amal yang diamenyekutukan selain Aku di dalamnya bersamaKu, maka Akumeninggalkannya dan dia tetap dalam sekutunya . 2.Ibadahnyadimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti kursi kepemimpinan,kedudukan dan harta, tanpa memaksudkannya untuk taqarrub kepada Allah,maka amal semacam ini gugur dan tidak dapat mendekatkanya kepada Allahsebagai mana Allah berfirman : {Barang siapa yang menghendakikehiduupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanyabalasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di duniaitu tidak akan dirugikan.Itulah orang-orang yang tidak memperoleh diakhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telahmereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan [ Hud: 15-16 ]. Perbedaan antara golongan pertama dan kedua, kalaugolongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnyakepada Allah, sedang golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjungsebagai ahli ibadah kepada Allah, dan dia tidak ada kepentingan dengansanjungan manusia karena perbuatannya 1. Seseorang memaksudkanibadahnya untuk taqarrub kepada Allah dan sekaligus untuk tujuanduniawi yang bisa diperolehnya. Seperti dia bermaksud membersihkanbadan di samping berniat beribadah kepada Allah tatkala melakukanthaharah , mendirikan shalat sambil melatih badan dan pergerakkannya,puasa sambil menyusutkan berat badan dan menghilangkan kelebihan lemak,menunaikan ibadah haji sambil melihat masya'ir dan para jama'ah, semuaini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyakadalah niat ibadah, maka dia kehilangan balasan kesempurnaanamal.Tetapi hal itu tidak menyeretnya kepada dosa, yang didasarkanpada firman Allah : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia[rizkihasil perniagaan ] dari Rabb-Mu [ al-Baqarah:198]. Apabila yang lebihbanyak adalah niat untuk selain ibadah, maka dia tidak memperolehbalasan di akhirat. Tetapi balasannya hanya dia peroleh di dunia saja.Bahkan dikhawatirkan hal itu akan menyeretnya kepada dosa. Sebab diamenjadikan ibadah yang mestinya merupakan tujuan paling tinggi,sebagai sarana untuk mendapatkan keduniaan yang rendah nilainya,akhirnya ia termasuk orang-orang yang Allah firmankan :{ dan diantaramereka ada orang yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika merekadiberi sebagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika merekatidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadimarah }.at-Taubah:58. Dalam sunan Abu Daud, dari Abu Hurairahradhiyallahu 'anhu : sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: WahaiRasulullah, seseorang ada yang ingin berjihad, dan dia inginmendapatkan imbalah dari imbalan dunia Maka Beliau berkata : Tidakada pahala baginya orang itu mengulang hingga tiga kali. Dan beliauberkata, tidak ada pahala baginya . Dan dalam hadits Bukhari danMuslim,Rasulullah bersabda : Barangsiapa yang hijrahnya untuk duniayang bisa diperolehnya atau untuk wanita yang bisa dinikahinya, makahijrahnya adalah kepada apa yang dia berpindah kepadanya . Apabila duatujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah tidak lebih banyakdaripada niat selain ibadah, maka penilaian yang lebih dekat dengankebenaran ialah, dia tidak mendapat pahala apa-apa. Perbedaan antaragolongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadahpada golongan sebelumnya merupakan itu sasarannya.Kehendaknyamerupakankehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan apa yangdituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka. Apabila adayang bertanya : apakah timbangan untuk mengetahui tujuan orang yangtermasuk dalam golongan ini, lebih banyak untuk ibadah atau pun bukanuntuk ibadah Dapat dijawab : timbangannya ialah apabila dia tidakmenuruh perhatian kecuali kepada ibadah, berhasil maupun tidak , makahal ini telah menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah.Dan kebalikannnya merupakan indikasi dari kebalikannya pula.Bagaimanapun juga, niat adalah perkataan hati, yang urusannya amatbesar dan penting. Seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisamelorot ke tingkatan orang-orang yang paling bawah karena perkataanhati itu. Sebagian orang salaf berkata : diriku tidak pernah berperangmelawan sesuatu seperti perangnya menghadapi keikhlasan . kitamemohon keikhlasan dalam niat dan kebaikan dalam amal kepada Allahbagi kami dan juga bagi kalian semua. Fatwa syaikh Muhammad Shalih 'Utsaimin.juz:1

Artikel Apakah makna ikhlas itu ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Apakah makna ikhlas itu ?.

Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka

Kumpulan Artikel Islami

Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka

Kategori Al-Qur'an - Tanya Jawab

Rabu, 3 Maret 2004 09:49:03 WIBPENJELASAN : ORANG-ORANG KAFIR ITU MEMBUAT TIPU DAYA, DAN ALLAH MEMBALAS TIPU DAYA MEREKA. DAN ALLAH SEBAIK-BAIK PEMBALAS TIPU DAYAOlehSyaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniPertanyaan.Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran : 54 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman."Artinya : Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya"Sebagian orang merasa berat memahami makna dari ayat ini. Bagaimana kita memahami bahwa Allah itu pembuat tipu daya yang terbaik Sementara tidak ada ta'wil untuk ayat tersebut Jawaban.Dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, insya Allah masalah tersebut mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu bahwa tipu daya itu tidak selamanya jelek dan tercela dan sebaliknya tidak selamanya baik.Misalnya ada seorang kafir yang akan membuat tipu daya terhadap seorang muslim, tetapi karena si muslim ini kebetulan seorang yang cerdik dan selalu waspada, maka dia balik membikin tipu daya agar niat jahat si kafir tersebut tidak sampai mengenai dirinya. Dalam keadaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan bahwa si muslim ini telah berbuat kesalahan dan melanggar syari'at.Hal ini akan lebih jelas ketika kita perhatikan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Perang adalah tipuan" [Shahih Bukhari No. 3030, Shahih Muslim No. 1740]Kata "tipuan" dalam hadits ini sama sifatnya dengan kata "tipu daya" pada ayat di atas. Seorang muslim yang menipu saudaranya sesama muslim jelas hukumnya adalah haram, tetapi seorang muslim yang menipu orang kafir yang merupakan musuh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam [di dalam peperangan], maka hal seperti itu tidaklah haram, bahkan hukumnya wajib.Demikian juga tipu daya seorang muslim terhadap orang kafir yang lebih dulu berniat membuat tipu daya terhadap dirinya dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya seperti ini jelas tidak tercela, bahka ini adalah tipu daya yang baik. Tipu daya ini dilakukan oleh seorang manusia. Lalu bagaimana kalau tipu daya tersebut berasal dari Dzat yang menguasai seluruh alam Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana, Apakah mungkin tipu daya-Nya tercela .Kesimpulan.Tipu daya itu ada yang jelek dan ada yang baikSegala sesuatu yang tercela menurut angan-angan kita, maka akan menjadi terpuji [menjadi sebaliknya] apabila disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.Angan-angan/anggapan yang tidak dikembalikan kepada Allah [tidak berdasarkan dalil] merupakan suatu kesalahan.Ayat di atas mengandung pujian terhadap Allah, bukan mengandung sesuatu yang tidak boleh di-nisbat-kan [disandarkan] kepada Allah.[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=356&bagian=0


Artikel Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka diambil dari http://www.asofwah.or.id
Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka.

Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah ?

Kumpulan Artikel Islami

Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah ? Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah

Kategori Akhlak

Minggu, 25 September 2005 06:53:12 WIBBAGAIMANAKAH SIKAP KITA TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA AHLUS SUNNAH.OlehSyaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily HafidzohullahPertanyaanSyaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di IndonesiaJawaban.Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :[1]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah [keilmuan] ataupun masalah amaliyah [pengamalan] yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnyaKewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar'i yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.[2]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara Ahlus Sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada[3]. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:"Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia". [An-Nisaa :114]Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan[4]. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut [meneliti] perkataan dan perbuatannya.[5]. Bersikap wasath antara ahli ghuluw [berlebih-lebihan] yang menghitung [membesar-besarkan] setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin [terlalu bermudah-mudahan/meremehkan], yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah[6]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan[7]. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua.[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1589&bagian=0


Artikel Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah ?.