Kamis, 12 Juni 2008

Objek Kajian Ilmu Aqidah 1/2

Kumpulan Artikel Islami

Objek Kajian Ilmu Aqidah 1/2 Objek Kajian Ilmu Aqidah 1/2

Kategori Aqidah Ahlus Sunnah

Jumat, 8 Oktober 2004 06:07:53 WIBOBJEK KAJIAN ILMU ‘AQIDAH[1]OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir JawasBagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2 ‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyat [hal-hal ghaib], kenabian, taqdir, berita-berita [tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang], dasar-dasar hukum yang qath’i [pasti], seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesat-kan serta sikap terhadap mereka.Disiplin ilmu ‘Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah [golongan-golongan] lainnya.Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:[1]. ‘Aqidah [I’tiqad dan ‘Aqa-id]Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘Aqidah Salaf, ‘Aqidah Ahlul Atsar di dalam kitab-kitab mereka.[2][2]. TauhidKarena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau peng-esaan kepada Allah di dalam Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Maka, dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid secara umum menurut Ulama Salaf [3][3]. As-SunnahAs-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut as-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah j dan para Shahabat g di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur [populer] pada tiga ge-nerasi pertama.[4][4]. Ushuluddin dan UshuluddiyanahUshul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi ke-sepakatan para ulama.[5][5]. Al-Fiqh al-AkbarIni adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqh al-Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[6][6]. Asy-Syari’ahMaksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin [masalah-masalah ‘aqidah].[7]Itulah beberapa nama lain dari Ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menama-kan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah [Asy’ariyah], terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]_________Foote Note[1] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah [hal. 12-14].[2] Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni [wafat th. 449 H], Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah [hal. 5-6] oleh Imam al-Laalika-iy [wafat th. 418 H] dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqy [wafat th. 458 H]. Rahimahullah[3] Seperti Kitabut Tauhid di dalam Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari [wafat th. 256 H], Kitabut Tauhid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah [wafat th. 311 H], Kitab I’tiqaad at-Tauhid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif [wafat th. 371 H], Kitabut Tauhid oleh Ibnu Mandah [wafat th. 359 H] dan Kitabut Tauhid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab [wafat th. 1206 H]. Rahimahullah[4] Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal [wafat th. 241 H], as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal [wafat th. 290 H], as-Sunnah karya al-Khallal [wafat th. 311 H] dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahary Rahimahullah[5] Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi [wafat th. 429 H], asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari [wafat th. 378 H] dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari [wafat th. 324 H].[5] Seperti kitab al-Fiq-hul Akbar karya Imam Abu Hanifah t [wafat th. 150].[6] Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri [wafat th. 360 H] dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.[7] Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri [wafat th. 360 H] dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1075&bagian=0


Artikel Objek Kajian Ilmu Aqidah 1/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Objek Kajian Ilmu Aqidah 1/2.

Hukum Bersumpah Atas Nama Selain Allah

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Bersumpah Atas Nama Selain Allah Hukum Bersumpah Atas Nama Selain Allah

Kategori Sumpah Dan Nadzar

Kamis, 27 Mei 2004 08:54:05 WIBHUKUM BERSUMPAH ATAS NAMA SELAIN ALLAHOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala Padahal telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.â€Å"Artinya : Sungguh, demi ayahnya ! telah beruntunglah dia, jika dia benar [sungguh-sungguh]” [Muslim dalam kitab Al-Iman 9-11]Jawaban.Bersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mengatakan â€Å"Demi hidupmu”, â€Å"Demi hidupku”, â€Å"Demi Tuan Pimpinan”, atau â€Å"Demi Rakyat”, semua itu diharamkan bahkan termasuk syirik sebab jenis pengagungan seperti ini hanya boleh dilakukan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Barangsiapa yang mengagungkan selain Allah dengan suatu pengagungan yang tidak layak diberikan selain kepada Allah, maka dia telah menjadi musyrik. Akan tetapi manakala si orang yang bersumpah ini tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah, maka dia tidak melakukan syirik besar tetapi syirik kecil. Jadi, barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kesyirikan kecil.Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian ; barangsiapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau lebih biak diam” [Al-Bukhari secara ringkas dalam kitab Manaqib Al-Anshar 3836, Muslim di dalam kitab Al-Iman III : 1646]Beliau juga bersabda.â€Å"Artinya : Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka dia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan” [Abu Daud dalam kitab Al-Iman 3251. At-Tirmidzi dalam kitab An-Nudzur 1535]Oleh karena itu, janganlah bersumpah atas nama selain Allah, siapa dan apapun sesuatu yang dijadikan sumpah tersebut sekalipun dia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jibril atau para Rasul lainnya, malaikat atau manusia. Demikian juga mereka yang dibawah kedudukan para Rasul. Jadi, janganlah bersumpah atas nama sesuatupun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sedangkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.â€Å"Artinya : Sungguh, demi ayahnya ! telah beruntunglah dia, jika dia benar [sungguh-sungguh]”Kata ‘Demi Ayahnya’ tersebut masih diperselisihkan oleh para Hafizh [Ulama yang banyak menghafal hadits]. Di antara mereka ada yang mengingkari lafazh semacam itu dan menyatakan, â€Å" Tidak shahih berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Berdasarkan statement ini, maka tema yang dipertanyakan tersebut tidak jadi masalah lagi sebab suatu Mu’aridh [lafazh yang bertentangan maknanya dengan lafazh yang lebih masyhur, pent] harus efektif [sehingga dapat berlaku], sebab bila tidak demikian, maka dia tidak dapat diberlakukan dan tidak ditoleh alias tidak dapat dijadikan acuan.Akan tetapi berdasarkan statement bahwa kalimat ‘Demi Ayahnya’ tersebut valid/jelas, maka jawaban atasnya adalah bahwa ini termasuk Musykil [sesuatu yang rumit] sementara masalah bersumpah atas nama selain Allah termasuk Muhkam [sesuatu yang valid/jelas] sehingga kita memiliki dua hal ; Muhkam dan Mutasyabih [yang masih samar]. Dan cara yang ditempuh oleh para ulama yang mumpuni keilmuannya dalam hal ini adalah dengan meninggalkan yang Mutasyabih tersebut dan mengambil yang Muhkam. Hal ini senada dengan firmanNya.â€Å"Artinya : Dialah yang menurunkan Al-Kitab [Al-Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mustasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, â€Å"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami” [Ali-Imran : 7]Dan sisi kenapa ia dikatakan sebagai Mutasyabih, karena di dalamnya terdapat banyak sekali kemungkinan-kemungkinan ; bisa jadi, hadits tersebut ada sebelum datangnya larangan tentang hal itu. Bisa jadi juga, ia khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja [di dalam mengungkapkan lafazh seperti itu, -pent] karena beliau sangat jauh dari melakukan kesyirikan. Bisa jadi pula, ia hanya merupakan sesuatu yang terbiasa diucapkan lisan tanpa maksud sebenarnya. Nah, manakala terdapat kemungkinan-kemungkinan semacam ini terhadap dimuatnya kalimat tersebut –jika ia memang shahih berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka menjadi kewajiban kita untuk mengambil sesuatu yang sudah Muhkam, yaitu larangan bersumpah atas nama selain Allah.Akan tetapi terkadang ada sebagian orang yang mempertanyakan, â€Å"Sesungguhnya bersumpah atas nama selain Allah telah terbiasa diucapkan lisan dan sangat sulit untuk meninggalkannya” Apa jawabanya Kita katakan, sesungguhnya itu bukanlah suatu hujjah akan tetapi seharusnya berjuanglah melawan diri Anda untuk meninggalkan dan keluar dari kebiasaan tersebut.Saya ingat dulu pernah melarang seorang laki-laki mengatakan ‘Demi Nabi’. Ketika itu dia mengucapkan sesuatu kepadaku sembari berkata, â€Å"Demi Nabi, aku tidak akan mengulanginya”. Dia mengucapkan ini hanya untuk menguatkan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi akan tetapi terbiasa diucapkan lisannya. Maka kami katakana â€Å"Berusahalah semampumu untuk menghapus ucapan seperti itu dari lisanmu sebab ia adalah perbuatan syirik sedangkan perbuatan syirik amat besar bahayanya sekalipun kecil”. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan pernah berkata, â€Å"Sesungguhnya kesyirikan tidak akan diampuni Allah sekalipun kecil”.Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, â€Å"Sungguh, bahwa aku bersumpah atas nama Allah dalam kondisi berdusta adalah lebih aku sukai daripada aku bersumpah atas nama selainNya dalam kondisi jujur”Syaikhul Islam mengomentari, â€Å"Hal itu, karena keburukan perbuatan syirik lebih besar [akibatnya] ketimbang keburukan besar”[Fatawa Syaikh Al-Utsaimin, Jld I][Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 109-112 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=757&bagian=0


Artikel Hukum Bersumpah Atas Nama Selain Allah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Bersumpah Atas Nama Selain Allah.

F i d y a h

Kumpulan Artikel Islami

F i d y a h F i d y a h

Kategori Puasa

Senin, 25 Oktober 2004 12:58:20 WIBF I D Y A HOlehSyaikh Salim bin 'Ied Al-HilaalySyaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid[1]. Bagi Siapa Fidyah Itu Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah."Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta [baik laki-laki maupun perempuan], orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.[2]. Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[Hadits Riwayat Bukhari 8/135]Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain [disebutkan]."Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat."Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu [Ramadhan-ed] maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. [Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih]Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat [Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma] menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan ![3]. Yang Benar Ayat Tersebut [Al-Baqarah : 185] MansukhYang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a'alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna' [pengecualian], syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan [bisa juga] dengan sebab dari luar. [Lihat I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi]Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka [orang arab] akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat [problema] yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.[4]. Ayat Tersebut Bersifat UmumYang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat :"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu [Ramadhan-ed] maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus [dinaskh], hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu : "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat."Artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...." [Al-Baqarah : 183]Kemudian Allah menurunkan ayat."Artinya : Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [Al-Baqarah : 185]Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih]Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya [yaitu] hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288][5]. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur'an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.[a]. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an, mengabarkan ayat Al-Qur'an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad, [Lihat Tadribur Rawi 1/192-193 karya Suyuhthi, 'Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah][b]. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.Dari Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin" [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya Shahih]Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau [Ibnu Umar] berkata : "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha". Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha" sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.[c]. Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. [Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21][6]. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur PuasanyaKeterangan ini menjelaskan makna : "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi "Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya" dia bayar fidyah tidak mengqadha.[7]. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha'Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al-Qur'an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir."Artinya : Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah bagimu berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 184]Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya."Artinya : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah [yaitu] memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1138&bagian=0


Artikel F i d y a h diambil dari http://www.asofwah.or.id
F i d y a h.

Hukum orang yang murtad (orang yang keluar dari agamaIslam )

Kumpulan Artikel Islami

Hukum orang yang murtad (orang yang keluar dari agamaIslam )

>> Pertanyaan :

Sampai dimana kebenaran hadits Barangsiapa mengganti agamanya makabunuhlah dia dan apa maksudnya dan bagaimana memahaminya denganfirman Allah : tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam dandengan firman Allah : Dan jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentulahberiman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamuhendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang berimanasemuanya dan dengan hadits Aku diperintahkan untuk memerangimanusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq selaianAllah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka jika merekamelakukan itu, mereka telah memelihara dariku darah dan harta merekakecuali dengan haknya dan perhitungan mereka atas Allah 'Azza wa Jalla .Dan apakah dapat dipahami bahwa memeluk agama dengan pilihan sendiritidak dengan paksaan ?

>> Jawaban :

Pertama-tama : hadits Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlahdia adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnyadari ahli sunnah dengan lafadz Barang siapa mengganti agamanya, makabunuhlah dia . Adapun cara mengumpulkan pemahaman antara hadits inidan dalil-dalil yang disebutkan dalam pertanyaan, maka sama sekalitidak ada pertentangan antara dalil-dalil tersebut dan segala pujibagi Allah. Karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia bagi orang yangmurtad yang kafir setelah menjadi muslim, maka orang tearsebut harusdibunuh setelah diminta agar dia bertaubat, maka jika dia bertaubat [tidaklahia dibunuh], namun jika tidak bertaubat juga, maka dia dibunuh. Adapunfirman Allah : tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam [al-Baqarah: 256 ], dan firman Allah : Dan jikalau Tuhan-mu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakahkamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yangberimana semuanya [ Yunus : 99], maka tidak ada pertentangan antaradalil-dalil tersebut, karena masuk agama Islam, tidak mungkindipaksa-paksakan, karena hal itu adalah sesuatu yang ada dalam hati,dan kepuasan dalam hati, dan tidak mungkin bagi kita untuk bertindakdalam hati tersebut, dan menjadikan hati-hati itu beriman, ini ada ditangan Allah, Dia adalah Muqallibul qulub [ Yang Membalik-balikkanhati ] Dia-lah Yang memberi petunjuk siapa saja yang dikehendaki-Nya,dan menyesatkan yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi kewajiban kitaadalah berda'wah [ mengajak orang lain ] kepada Allah dan memberikanpenjelasan serta berjihad [ berperang ] di jalan Allah bagi merekayang membangkang setelah mengenal Al-Haq, dan membangkang setelahmengenalnya, Nah orang seperti ini wajib kita perangi, adapun bahwakita memaksakan orang untuk masuk dalam agama Islam dan menjadikaniman [keyakinan/kepercayaan] masuk dalam hati, hal ini bukan ada padakemampuan kita, hal yang sedemikian hanya kembali kepada AllahSubhanahu wa Ta'ala, akan tetapi kita-pertama-tama- berda'wah kepadaAllah dengan hikmah dan nasehat yang baik dan menerangkan kepadamanusia agama ini.

Kedua : kita memerangi orang-orang yang membangkang [keras kepala] danorang-orang yang kafir dan juhud[mengingkari] sehingga Agama hanyamenjadi bagi Allah dan tidak ada lagi fitnah [ syirik dankekufuran].Adapun orang yang murtad maka dia dibunuh, karena dia kafirsetelah menjadi muslim, dan meninggalkan kebenaran setelah mengenalnya,maka dia bagaikan anggota tubuh yang rusak yang harus dipotong, danmenyelamatkan masyarakat darinya, karena dia telah rusak aqidahnya,dan ditakutkan akan merusak aqidah orang lain, karena dia meninggalkankebenaran bukan karena bodoh, akan tetapi dia meninggalkannyasemata-mata karena keras kepala setelah dia mengenal kebenarantersebut, oleh karena itu dia tidak pantas lagi untuk hidup, makanyadia harus dibunuh.Dan tidak ada pertentangan antara firman Allah : tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam [al-Baqarah : 256 ]dengan membunuh orang yang murtad tersebut, karena memaksakan dalamberagama disini ketika akan masuk agama Islam, dan adapun membunuhorang yang murtad, hal itu terjadi ketika dia keluar dari agama Islamsetelah dia masuk kedalamnya. Dengan dasar bahwa firman Allah : : tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam [al-Baqarah : 256 ]terdapat beberapa perkataan dari ahli tafsir, di antara mereka adayang mengatakan bahwa ayat ini khusus bagi ahli kitab dan bahwa ahlikitab tidak dipaksakan.[ yang dimaksudkan ahli kitab adalah yahudi dannashrani ], dan dari mereka hanya diminta untuk beriman atau membayarjizyah[ yaitu harta yang dibayarkan oleh ahli kitab kepada khilafahislam. Penterjemah] maka mereka dibiarkan melaksanakan ajaran agamamereka, jika mereka telah membayar jizyah tersebut, sedang merekatunduk terhadap hukum Islam, dan ayat ini bukan umum bagi setiap orangyang kafir, dan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat initelah mansukhah [dihapus hukumnya] dengan firman Allah bunuhlahorang-orang musyrik dimana saja kalian temukan [At-Taubah : 5].

Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa ayat ini adalah khususbagi ahli kitab, dan maksudnya adalah bahwa agama ini telah terang danjelas yang diterima oleh fitrah manusia dan akal yang sehat, dan bahwaseseorang tidak memeluknya karena terpaksa, akan tetapi dia masukagama Islam karena puas dan karena cinta dan suka. Dan inilahpengertian yang benar. Diterjemahkan dari Muntaqa' Fatwa-fatwa SyaikhShalih bin Fauzan, II/118

Artikel Hukum orang yang murtad (orang yang keluar dari agamaIslam ) diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum orang yang murtad (orang yang keluar dari agamaIslam ).

Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib

Kategori Fatawa 'Arkanil Islam

Jumat, 25 Nopember 2005 06:49:04 WIBHUKUM ORANG YANG MENGAKU MENGETAHUI YANG GHAIBOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang mengaku mengetahui yang ghaib Jawaban.Hukum orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib adalah kafir, karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman.â€Å"Artinya : Katakanlah : â€Å"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” [An-Naml : 65]Allah memerintahkan kepada NabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada seorangpun di bumi maupun di langit yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib, maka ia telah mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang khabar ini. Kita tanyakan kepada mereka : Bagaimana mungkin kalian mengetahui yang ghaib, sedangkan Nabi saja tidak mengetahui Apakah kalian lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Jika mereka menjawab : â€Å"Kami lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka telah kafir karena ucapan itu. Jika mereka mengatakan : Bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia, maka kami katakan : Kenapa Rasul tidak mengetahui yang ghaib, sedangkan kalian mengetahui Allah berfirman.â€Å"Artinya : [Dia adalah Tuhan] Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga [malaikat] di muka dan belakangnya” [Al-Jin : 26-27]Ini adalah ayat kedua yang menunjukkan atas kafirnya orang yang mengetahui ilmu ghaib. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada manusia dengan firmanNya.â€Å"Artinya : Katakanlah : â€Å"Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak [pula] aku mengetahui yang ghaib dan tidak [pula] aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” [Al-An’am : 50][Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1676&bagian=0


Artikel Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib.

Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat Dan Kelomppok Yang Dimenangkan Apakah Terdapat Perbedaan ?

Kumpulan Artikel Islami

Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat Dan Kelomppok Yang Dimenangkan Apakah Terdapat Perbedaan ? Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat Dan Kelomppok Yang Dimenangkan Apakah Terdapat Perbedaan

Kategori Al-Manhaj As-Salafy

Kamis, 25 Maret 2004 09:45:44 WIBAS-SALAFIYAH, FIRQATUN NAJIYAH [GOLONGAN YANG SELAMAT] DAN THAIFATUL MANSHURAH [KELOMPOK YANG MENANG]OlehSyaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-HilaalyBagian Kedua dari Tujuh Tulisan [2/7]KetigaSifat-sifat [ciri-ciri] golongan yang selamat dan kelomppok yang dimenangkan apakah terdapat pertentangan dan perbedaan Terdapat berita-berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan sifat-sifat golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan baik secara manhaj atau kondisinya.Adapun tentang manhaj mereka terdapat tiga lafadz yang menjelaskan bentuknya :[1]. Ma anaa 'alaihi alyauma wa ashaabii [siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang] sebagaimana dalam hadits Abdillah bin 'Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu.[2]. Al-Jama'ah Sebagaimana dalam hadits Anas dan Sa'ad Radhiyallahu 'anhuma[3]. As-sawaadul A'dzam [kelompok paling besar] sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Radhiyallahu 'anhu.Lafadz-lafadz hadits yang shahih ini maknanya satu dan tidak berbeda, sinonim dan tidak berselisih, segaris dan tidak bertolak belakang, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Ajuuriy dalam kitabnya Asy-Syariat hal.13-15, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya : Siapakah An-Najiyah [golongan yang selamat] dan menjawab salam satu hadits Maa anaa 'alaihi al-yauma wa ashaabii [siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang] dan dalam hadits yang kedua Al-Jama'ah serta dalam hadits yang ketiga As-Sawaadul A'dzam [kelompok paling benar] dan dalam hadits keempat Kuluhaa fii an-naari ila waahidah wa hiyaa al-jama'ah [semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu al-Jama'ah].Saya Al-Ajuuriy berpendapat : Maknanya satu -Insya Allah-Berkata Abu Usamah Al-Hilaliy : Benar dan baik, dan masalahnya seperti yang dia katakan, karena Thaifah Almanshurah [kelompok yang dimenangkan] adalah Al-Jama'ah, karena Al-Jama'ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu hanya sendirian, sebagaimana yang telah didefinisikan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu.Dari Amr bin Maimun Al-Audiy Radhiayallahu 'anhu beliau berkata :"Artinya : Muadz bin Jabal mendatangi kami di masa Rasulullah lalu masuklah kedalam hatiku perasaan cinta kepadanya, kemudian aku bermulazamah [belajar] dengannya sampai aku memakamkannya di Syam, kemudian aku bermulazamah [belajar] kepada orang yang paling fakih setelah beliau yaitu Abdullah bin Mas'ud, kemudian pada suatu hari disebutkan kepadanya pengunduran shalat di waktunya, maka beliau berkata : shalatlah kalian di rumah-rumah kalian dan jadikanlah shalat kalian bersama mereka nafilah. Berkata Amru bin Maimuun : Dikatakan kepada Abdullah bin Mas'ud : Bagaimana sikap kami terhadap Jama'ah Lalu beliau menjawab kepadaku : Wahai Amru bin Maimuun sesungguhnya Jumhur Jama'ah [kebanyakan orang-orang yang berjama'ah] merekalah yang menyelisihi Al-Jama'ah, dan Al-Jama'ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun kamu sendirian" [Dikeluarkan oleh Al-Lalikaaiy dalam Syarh Ushul I'tikad Ahlus Sunnnah wa Jama'ah [160] dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyqi 13/322/2]Hal ini juga telah dinukilkan oleh Abu Syaamah dalam kitabnya Al-Baa'its 'Ala Inkaril Bidaa' wal Hawaadits hal.22 dalam rangka berhujjah degannya untuk perkataan beliau :Dimana telah datang perintah memegang teguh Al-Jama'ah, maka yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh itu sedikit dan yang menyelisihinya itu banyak, karena kebenaran yang dimiliki Al-Jama'ah pertama dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya tidak memandang kepada banyaknya ahli kebatilan setelah mereka.Ibnul Qayyim memuji perkataan ini dalam kitabnya yang hebat Ighatsatul Lahfaan Min Mashaaidisy Syaithan 1/69, dan berkata :Alangkah bagusnya perkataan Abu Muhammad bin Ismail yang dikenal dengan Abu Syaamah dalam kitabnya Alhawadits wal bida'a [lalu beliau menyebutkan ucapan tersebut].Saya berkata : "Telah jelas bagi orang yang dapat memandang, bahwa Al-Jama'ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun sendirian dan kelompok yang dimenangkan [At-Thaifah Al Manshurah] ini disifatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penegak kebenaran dan demikian juga lafadz kelompok [thaifah] terjadi pada satu atau lebih dalam bahasa Arab".Berkata ahli bahasa dan fiqih Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy dalam kitabnya Ta'wil Mukhtalafil Hadits hal. 45 :Mereka berkata : "Paling sedikit untuk dinamakan Jama'ah adalah tiga dan mereka salah dalam hal ini, karena Thaifah itu bisa satu dan tiga dan lebih, karena thoifah bermakna satu bagian dan satu. kadang-kadang pula bermakna satu bagian dari kaum sebagaimana firman Allah Subhnahu wa Ta'ala."Artinya : Hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" [An-Nur : 2]Menginginkan seorang atau dua orang.Saya berkata : Dan ini yang telah disepakati oleh para imam ahli bahasa dan agama sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab saya :Al-'Adillah Wasy Syawaahid 'Ala Wujubil Akhadzi Bi Khobaril Waahid Fil Ahkaam Al-Aqaaid 1/23, maka tidak diragukan lagi [dapat dipastikan] bahwa Thaifah Al-Manshurah [kelompok yang dimenangkan] ini adalah Al-Jama'ah dan dia adalah As-Sawaadul A'dzam [kelompok yang terbesar] karena dia adalah Al-Jama'ah. [Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]Berkata Ibnu Hibban dalam Shahihnya 8/44 : Perintah berjama'ah dengan lafadz umum dan yang dimaksud darinya khusus ; karena Al-Jama'ah adalah ijma' para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka barangsiapa yang berpegang teguh kepada apa yang telah mereka pahami dan menyelisihi orang-orang yang setelah mereka bukanlah termasuk orang yang menyelisihi Al-Jama'ah dan tidak juga memisahkan diri darinya. Baragsiapa yang menyelisihi mereka dan mengikuti orang-orang setelah mereka maka dia menjadi penyelisih Al-Jama'ah. Dan Al-Jama'ah setelah sahabat adalah kaum-kaum yang berkumpul padanya agama, akal, ilmu dan senantiasa meninggalkan hawa nafsu yang mereka miliki walaupun sedikit jumlah mereka dan bukanlah rakyat kecil dan awam mereka walaupun banyak jumlahnya.Berkata Ishaaq bin Raahaawih : Seandainya kamu bertanya kepada orang yang tidak tahu [bodoh] tentang As-Sawaadul A'dzam, niscaya akan mengatakan : Jama'ah orang-orang , mereka tidak mengetahui bahwa Al-Jama'ah adalah seorang alim yang berpegang teguh kepada atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya, maka siapa saja yang bersama dan mengikutinya maka dia adalah Al-Jama'ah. [Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]Berkata Imam Asy-Syathibiy dalam kitabnya Al-Itishom 2/267 dalam menegaskan pemahaman Sunni yang shahih ini : Lihatlah pernyataannya !, niscaya akan jelas kesalahan orang yang menganggap bahwa Al-Jama'ah adalah jama'ah [sekumpulan] orang-orang walaupun tidak ada pada mereka orang yang alim, ini merupakan pemahaman orang-orang awam dan bukan pemahaman para Ulama. Hendaklah orang yang telah mendapatkan taufiq dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memantapkan pijakannya di tempat yang licin ini agar tidak tersesat dari jalan yang lurus, dan taufiq itu hanya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.Berkata Al-Laalika'iy dalam Syarh Ushul I'tikad Ahli Sunnah Wal Jama'ah 1/255 dalam menafsirkan Ath-Thaifah Al-Manshurah dan Firqatun Najiyah : Para penentang marah terhadap mereka ; karena mereka As-Sawadul A'dzam dan mayoritas yang paling banyak mereka miliki ilmu, hukum, akal, kesabaran, kekhilafahan, kepemimpinan, kekuasaan, dan politik, sedangkan mereka orang-orang yang menegakkan shalat Jum'at dan perkumpulan, shalat jama'ah dan masjid-masjid, manasik haji dan hari-hari raya, haji dan jihad dan memberikan kebaikan kepada para perantau [emigran] dan para pendatang [imigran] dan penjaga perbatasan-perbatasan dan harta kekayaan negara, merekalah orang-orang yang berjihad fi sabilillah.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fataawa 3/3455 : Oleh karena itu disifatkan Firqatun Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, merekalah mayoritas yang terbanyak dan As-Sawaadul A'dzam.Saya berkata : "Renungkanlah kata-kata yang bernilai tinggi ini wahai Saudara dan hapalkanlah, karena hal itu dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan yang terjadi akibat memahami hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terdahulu dalam perpecahan umat di atas pemahaman salah orang awam dan prasangka sebagian ahli fiqih, dan dapat melenyapkan syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para da'i kelompok-kelompok sesat yang menolak hadits-hadits tersebut dengan dakwaan bahwa hadits-hadits tersebut menyelisihi kenyataan yang ada. Karena dia menetapkan [menghukum] mayoritas umat Islam masuk neraka dengan prasangka dari mereka bahwa mayoritas umat Islam beragama dengan kebid'ahan dan kesesatan, mereka tidak mengerti bahwa mayoritas umat Islam telah ditarik oleh fitrah mereka yang selamat kepada Aqidah yang benar -Insya Allah-, oleh karena itu tokoh-tokoh besar madzhab khalaf berangan-angan untuk mati di atas agama 'Ajaiz [orang-orang yang masih selamat fitrahnya -pent].[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf [Studi Kritis Solusi Problematika Umat] oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=535&bagian=0


Artikel Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat Dan Kelomppok Yang Dimenangkan Apakah Terdapat Perbedaan ? diambil dari http://www.asofwah.or.id
Sifat-Sifat Golongan Yang Selamat Dan Kelomppok Yang Dimenangkan Apakah Terdapat Perbedaan ?.

Hukum Orang yang Melalui Miqat Dengan Tidak Berihram

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Orang yang Melalui Miqat Dengan Tidak Berihram

>> Pertanyaan :

Kami ingin mengetahui hukum orang yang melewati miqat tanpa ihram?

>> Jawaban :

Orang yang melalui miqat tanpa ihram itu tidak lepas dari dua kondisi:Pertama, sebagai seorang yang hendak melakukan ibadah haji atau umrah;maka dalam kondisi seperti ini ia wajib kembali ke miqat untuk memulainiat ihramnya dari situ sesuai macam ibadah yang akan dilakukannya,haji ataukah umrah. Jika ia tidak melakukan hal tersebut, maka iatelah meninggalkan salah satu kewajiban nusuk [haji atau umrah], dansebagai tebusannya, sebagaimana pendapat para ulama, ia wajib membayarfidyah, yaitu menyembelih seekor domba di Mekkah dan membagi-bagikandagingnya kepada orang-orang fakir miskin di sana.

Kedua, melewatinya dengan tidak mempunyai rencana mela-kukan hajiataupun umrah, maka tidak mengapa baginya, apakah keberadaannya diMekah berhari-hari atau hanya sebentar saja. Sebab jika kita haruskania berihram dari miqat, maka dalam pandangannya haji atau umrah ituwajib ia lakukan lebih dari satu kali, padahal sudah diriwayatkan didalam hadits shahih dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bahwasanyahaji itu tidak diwajibkan kecuali satu kali saja seumur hidup,sedangkan selebihnya adalah haji sunnat. Pendapat yang demikian inilahyang paling kuat di antara beberapa pendapat para ulama tentang orangyang melalui miqat tanpa ihram; yaitu, apabila orang yang melewatimiqat itu tidak ada maksud untuk melakukan ibadah haji atau umrah,maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya dan ia tidak harus melakukanihram di miqat tersebut.

[ Fatwa Syaikh Muhammad bin shalih Al-'Utsaimin ]

Artikel Hukum Orang yang Melalui Miqat Dengan Tidak Berihram diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Orang yang Melalui Miqat Dengan Tidak Berihram.

Contoh Keberanian Para Ulama Di Hadapan Penguasa

Kumpulan Artikel Islami

Contoh Keberanian Para Ulama Di Hadapan Penguasa 1. Dikisahkan bahwa Hisyâm bin ‘Abdul Malik datangke Baitullah, Ka’bah untuk melakukan manasik haji. Ketika masuk keMasjid al-Haram, dia berkata, “Tolong hadirkan ke hadapanku salahseorang dari kalangan para shahabat.!”

Lalu ada orang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, mereka semuasudah meninggal dunia.”

Lalu dia berkata lagi, “Kalau begitu, dari kalangan tabi’in saja.”

Maka dihadirkanlah Thâwûs al-Yamâny. Tatkala menemui sang Amir, diamencopot kedua sandalnya di pinggir permadaninya dengan tidak memberisalam terlebih dahulu dan tidak pula memanggilnya dengan julukannya[kun-yah], lantas duduk di sampingnya tanpa idzin pula seraya berujar,

“Bagaimana kabarmu wahai Hisyâm.”

Maka meledaklah kemarahan sang Amir sehingga ia hampir sajaberkeinginan untuk membunuhnya, namun kemudian ada yang mencegahnyaseraya berkata,

“Wahai Amirul Mukminin, engkau saat ini berada di kawasan Haram Allahdan Rasul-Nya [Ka’bah] yang tidak boleh hal itu terjadi.”

Maka Hisyam berkata, “Wahai Thâwûs, apa yang mendorongmu untuk berbuatseperti itu tadi.”

“Apa gerangan yang telah aku perbuat,” balas Thâwûs

“Engkau telah mencopot kedua sandalmu di pinggir permadaniku, tidakmemberi salam dengan menyapa, ‘Wahai Amirul Mukminin,’ tidakmemanggilku dengan julukanku lalu duduk di sampingku tanpa idzin,”kata Hisyâm

“Adapun kenapa aku mencopot kedua sandalku di pinggir permadanimu,karena aku sudah biasa mencopotnya kala berada di hadapan Allah Ta’alasetiap hari, sebanyak lima kali akan tetapi Dia tidak mencela ataupunmarah kepadaku. Adapun ucapanmu ‘engkau tidak memberi salam kepadakudengan menyapa, ‘wahai Amirul Mukminin’’ karena tidak setiap Muslimsetuju atas naiknya engkau ke tampuk kekuasaan. Jadi, aku takut kalaumenjadi seorang pendusta [dengan menyapamu sebagai Amir semuaorang-orang beriman-red.,]. Mengenai perkataanmu ‘engkau tidakmemanggilku dengan julukanku’ karena Allah Ta’ala juga menamai paraNabi-Nya, lalu memanggi mereka; ‘wahai Daud’ ‘wahai Yahya’ ‘wahai‘Isa’ bahkan Dia malah menyebut musuh-musuh-Nya dengan julukan dalamfirman-Nya, ‘Celakalah tangan Abu Lahab.’ Sedangkan ucapanmu, ‘kamududuk di sampingku [tanpa idzin], maka hal itu karena aku telahmendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Bila kamu ingin melihatsalah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduksementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya,” jawabThâwûs

Kemudian Hisyam berkata, “Kalau begitu, nasehatilah aku.”

Maka Thâwûs berkata, “Aku mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata,‘Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat ular-ular dan kalajengkingseperti bagal [peranakan antara kuda dan keledai] yang mematuk setiapAmir [Penguasa] yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.”

2. Diriwayatkan bahwa Abu Ghayyâts, seorang ahli zuhud selalu tinggaldi sekitar pekuburan Bukhara, lalu suatu ketika datang ke kota untukmengunjungi saudaranya. Kebetulan bersamaan dengan itu, putera-puteraAmir Nashr bin Muhammad [penguasa setempat] barusan keluar darikediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkalamelihat mereka, sertamerta Abu Ghayyâts berkata,

“Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berartiengkau ikut andil di dalamnya.”

Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolonganAllah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secaraserentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sangpenguasa [Amir]. Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadiantersebut kepada sang penguasa.

Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata,

“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadappenguasa, dia akan diberi makan siang di penjara.”

“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadapar-Rahmân [Allah], dia akan makan malam di dalam neraka,” balas AbuGhayyâts

“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan Hisbah [AmrMa’ruf Nahi Munkar] ini,” tanya Amir

“Dia adalah Yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawabAbu Ghayyâts

“Yang mengangkatku adalah sang Khalifah,” kata Amir

“Kalau begitu, Yang mengangkatku melakukan Hisbah adalahTuhannya sang khalifah,” jawab Abu Ghayyâts

“Aku hanya mengangkatmu melakukan Hisbah di daerah Samarkandsaja,” kata Amir

“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts

“Aneh kamu ini, engkau melakukan Hisbah di tempat yang tidakdiperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamudiperintahkan,” kata Amir lagi

“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamuakan mencopotku akan tetapi bila Yang mengangkatku adalah Rabbku, makatidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâtspula

“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu,!” tanya Amir akhirnya

“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata AbuGhayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,!” kata Amir

“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agartidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amr

“Kalau begitu, tulislah kepada malaikat Ridlwân, penjaga surga, agarmemasukkanku kelak ke dalam surga,!” jawab Abu Ghayyâts

“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi

“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah Yang merupakan Pemiliksemua keperluan dan kebutuhan, Yang tidaklah aku meminta kepada-Nyasuatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab AbuGhayyâts

Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskanoleh sang Amir bahkan dia malah salut dengan keimanan dankeberaniannya.

[SUMBER: Buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn WaSamîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II,h.29-33]

Artikel Contoh Keberanian Para Ulama Di Hadapan Penguasa diambil dari http://www.asofwah.or.id
Contoh Keberanian Para Ulama Di Hadapan Penguasa.

Hukum Pengkafiran Terhadap Penguasa, Metode Penculikan Dan Pembunuhan Misterius !

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Pengkafiran Terhadap Penguasa, Metode Penculikan Dan Pembunuhan Misterius ! Hukum Pengkafiran Terhadap Penguasa, Metode Penculikan Dan Pembunuhan Misterius !

Kategori Al-Irhab = Terorisme

Minggu, 21 Agustus 2005 07:22:23 WIBHUKUM PENGKAFIRAN TERHADAP PENGUASA, METODE PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN MISTERIUS !OlehSyaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniPertanyaan.Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Fadhilatusy Syaikh, tentu Anda sudah mengetahui kondisi Afghanistan [pada waktu itu], yaitu jama'ah-jama'ah dan kelompok-kelompok sesat yang banyak bermunculan seperti jamur tumbuh di musim hujan. Sangat disayangkan jama'ah-jama'ah ini berhasil menyebarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan manhaj Salafus Shalih di tengah-tengah generasi muda salafi yang sedang berjihad di sana. Di antaranya adalah 'pengkafiran penguasa' dan menghidupkan kembali cara-cara yang sudah lama ditinggalkan yaitu 'penculikan dan pembunuhan misterius'! Sekarang setelah pemuda-pemuda itu kembali ke negeri mereka [setelah berakhirnya jihad] mereka menyebarkan pemikiran tersebut di tengah-tengah para pemuda dilingkungannya...."Jawaban.Setelah menguraikan bahaya berpaling dari tafsir salaf dalam memahami Al-Qur'an dan as-Sunnah beliau berkata :Sangat alami sekali bila mereka menyimpang dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari manhaj salaf shalih sebagaimana pendahulu mereka. Di antara mereka ini adalah : Kaum Khawarij dahulu maupun sekarang. Sebab pemikiran takfir [pengkafiran kaum muslimin] yang sering kami singgung sekarang ini berasal dari kesalahan memahami ayat yang sering mereka angkat, yaitu firman Allah."Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [Al-Maidah : 44].Salah satu kejahilan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini adalah mereka tidak memperhatikan [minimal] sejumlah nash-nash yang tercantum di dalamnya kata 'kufur', mereka artikan keluar [murtad] dari agama dan menyamakan para pelaku kekufuran itu dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nasrani... Lalu mereka menerapkan pemahaman yang keliru ini terhadap orang-orang muslim yang tidak bersalah...".Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh al-Albani berkata :"Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendengar persis seperti yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah 'kufrun duna kufrin' [yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent-]'.Kemudian beliau melanjutkan : 'Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara 'kufur i'tiqaadi' dengan 'kufur amali'. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan menyempal dari kaum muslimin tanpa ia sadari sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang...".Kemudian beliau menyebutkan sejumlah persoalan yang terjadi antara beliau dengan lawan dialog beliau, beliau berkata kepada mereka : "Pertama, kalian ini tidak dapat menghukumi setiap hakim [penguasa] yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu atau sebagian dari udang-undang itu bahwa jika ia ditanya alasannya ia akan menjawab : Memakai undang-undang Barat itu bagus dan cocok pada zaman sekarang ini, atau ia akan menjawab : Tidak boleh menerapkan Hukum Islam !.Sekiranya para Hakim itu ditanya alasannya maka kalian tidak dapat memastikan bahwa jawaban mereka adalah "Hukum Islam sekarang ini tidak layak diterapkan!". Kalau begitu jawabannya, mereka tentunya kafir tanpa diragukan lagi. Demikian pula jika kita tujukan pertanyaan serupa kepada masyarakat umum, di antara mereka terdapat para ulama, orang shalih dan lain-lain ... Lalu bagaimana mungkin kalian dapat menjatuhkan vonis kafir terhadap mereka hanya karena melihat hidup di bawah naungan undang-undang tersebut sama seperti mereka. Hanya saja kalian menyatakan terang-terangan bahwa mereka semua itu kafir dan murtad....."Kemudian Syaikh Al-Albani berbicara seputar masalah berhukum dengan selain hukum Allah, beliau berkata : "Kalian tidak dapat menghukumi kafir hingga ia menyatakan apa yang ada dalam hatinya, yaitu menyatakan bahwa ia tidak bersedia memakai hukum yang diturunkan Allah. Jika demikian pengakuannya barulah kalian dapat menghukuminya kafir murtad dari agama....".Kemudian, saya [Al-Albani] selalu memperingatkan mereka tentang masalah pengkafiran penguasa kaum muslimin ini bahwa anggaplah penguasa itu benar-benar kafir murtad, lalu apakah yang bisa kalian perbuat Orang-orang kafir itu telah menguasai negeri-negeri Islam, sedang kita di sini menghadapi musibah dijarahnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi! Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka Apa yang dapat kalian lakukan hingga kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan para penguasa yang kalian anggap kafir itu ! Tidaklah lebih baik kalian sisihkan dulu persoalan ini dan memulai kembali dengan peletakkan asas yang di atas asas itulah pemerintahan Islam akan tegak! Yaitu 'ittiba' [mengikuti] sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di atas sunnah itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing sahabat-sahabat beliau! Itulah istilah yang sering kami sebutkan dalam berbagai kesempatan seperti ini yaitu setiap jama'ah Islam wajib berusaha sungguh-sungguh menegakkan kembali hukum Islam, bukan saja di negeri Islam bahkan di seluruh dunia. Dalam mewujudkan firman Allah :"Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci" [Ash-Shaff : 9]Dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa ayat ini kelak akan terwujud. Bagaimanakah usaha kaum muslimin mewujudkan nash Al-Qur'an tersebut Apakah dengan cara mengkudeta para penguasa yang telah dianggap kafir dan murtad itu Lalu disamping anggapan mereka yang keliru itu mereka juga tidak sanggup berbuat sesuatu ! Jadi, bagaimana caranya Manakah jalannya Tidak syak lagi jalannya adalah jalan yang sering disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau peringatkan kepada para sahabat di setiap khutbah : "Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam!".Seluruh kaum muslimin, terlebih orang-orang yang ingin menegakkan kembali hukum Islam, wajib memulainya dari arah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulainya. Itulah yang sering kita simpulkan dalam dua kalimat yang sederhana ini : "Tashfiyah dan Tarbiyah!" Karena kami benar-benar mengetahui kelompok-kelompok ekstrim yang hanya terfokus pada masalah pengkafiran penguasa itu mengabaikan atau lebih tepatnya tidak mau peduli dengan kaidah Tashfiyah dan Tarbiyah ini. Kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya !Mereka akan terus menerus menyatakan vonis kafir terhadap penguasa, kemudian yang mereka timbulkan setelah itu hanyalah fitnah [kekacauan]! Peristiwa yang terjadi belakangan ini yang sama-sama mereka ketahui mulai dari peristiwa berdarah di tanah suci [al-Haram] Makkah [Persitiwa Juhaiman di awal tahun 1980-an], kekacauan di Mesir, terbunuhnya presiden Anwar Sadat, tertumpahnya sekian banyak jiwa kaum muslimin yang tidak bersalah akibat fitnah-fitnah tersebut. Kemudian terakhir di Suriah, di Mesir sekarang ini dan di Aljazair sungguh sangat disayangkan sekali... Kejadian-kejadian itu disebabkan mereka banyak menyelisihi nash-nash Al-Qur'an dan as-Sunnah, yang paling penting diantaranya adalah ayat :"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab : 21]Bagaimanakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai perjuangan dakwahnya "Kalian tentu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pertama kali menawarkan dakwahnya kepada orang-orang yang menurut harapan beliau siap menerima kebenaran yang beliau sampaikan. Lalu beberapa orang menyambut dakwah beliau sebagaimana yang sudah banyak diketahui dari Sirah Nabawiyah. Kemudian dera siksa dan azab yang diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Kemudian turunlah perintah berhijrah yang pertama [ke Habasyah] dan yang kedua [ke Madinah] serta berbagai peristiwa yang disebutkan dalam buku-buku sirah ....... Hingga akhirnya Allah mengokohkan dienul Islam di Madinah al-Munawwarah. Di saat itulah mulai terjadi pertempuran, mulailah pecah peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir di satu sisi dan melawan orang-orang Yahudi di sisi yang lain.Demikianlah sejarah perjuangan nabi ..... Jadi, kita harus memulai dengan mengajarkan Islam ini kepada manusia sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulainya. Akan tetapi sekarang ini kita tidak hanya memfokuskan diri kepada masalah Tarbiyah ini. Apalagi sekarang ini sudah banyak sekali perkara-perkara bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam yang sebenarnya tidak termasuk ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban para da'i sekarang ini adalah memulai dengan pemurnian kembali ajaran Islam yang sudah tercemari ini [tashfiyah]....Kemudian perkara kedua adalah proses Tasfiyah ini harus dibarengi dengan proses Tarbiyah, yaitu membina generasi muda muslim dibawah bimbingan Islam yang murni tadi.Apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada sekarang ini yang didirikan hampir seabad yang lalu, niscaya kita dapati banyak diantara para pengikutnya tidak mendapatkan faedah apa-apa. Meskipun gaung dan gembar-gembornya mereka ingin mendirikan negara Islam. Mereka telah menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih tersebut tanpa mendapatkan faedah apa-apa darinya ! Sampai sekarang masih sering kita dengar banyak diantara mereka yang memiliki aqidah sesat, aqidah yang menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah serta amal-amal yang bertolak belakang dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ......[Dinukil dari Tabloid "Al-Muslimun" 5/5/1416H edisi : 556 halaman 7. dan dari majalah "al-Buhuts al-Islamiyah" 49/373-377]Ketika mengomentari makalah di atas, al-Alamah Abdul Aziz bin Baz berkata :"Sayat telah menelaah jawaban yang sarat faedah dan sangat berharga yang diutarakan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany wafaqahullah, diterbitkan oleh Tabloid Al-Muslimun berkenan dengan masalah pengkafiran orang yg berhukum dengan selain hukum Allah tanpa melihat perinciannya. Menurut penilaian saya jawaban tersebut sangat berharga dan sesuai dengan kebenaran serta sejalan dengan sabilil mukminin [manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah.Dalam jawaban tersebut beliau mnejelaskan bahwa siapapun tidak dibolehkan menjatuhkan vonis kafir atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah hanya sekedar perbuatan lahiriyahnya tanpa mengetahui isi hatinya apakah menghalalkan tindakannya atau tidak ! Beliau berdalil dengan tafsir Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dan dari ulama-ulama Salaf lianya ..."[Tabloid "Al-Muslimun" 12/5/1416H edisi : 557 halaman 7][Dislain dari kitab Madariku An-Nazhar Fi As-Siyasah Baina Ath-Thabbiqaat Asy-Syar’iyah Wa Al-Ihfiaalat Al-Hamaasiyyah edisi Indonesia PandanganTajam Terhadap Politik Antara Haq dan Batil, penulis Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazairi, hal 131-134, Pustaka Imam Bukhari]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1543&bagian=0


Artikel Hukum Pengkafiran Terhadap Penguasa, Metode Penculikan Dan Pembunuhan Misterius ! diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Pengkafiran Terhadap Penguasa, Metode Penculikan Dan Pembunuhan Misterius !.

Menikah lebih dari satu

Kumpulan Artikel Islami

Menikah lebih dari satu

>> Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Sebagian orang mengatakan bahwamenikah lebih dari satu tidak dianjurkan kecuali bagi orang yangmengurusi anak yatim karena takut tidak mampu berbuat adil maka jikademikian dia boleh menikah dengan ibu anak yatim atau salah satu darianak perempuannya. Mereka berdalih dengan firman Allah Subhaanahu waTa'ala : Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap [hak-hak]perem-puan yatim [bilamana kamu mengawininya], maka kawinilahwanita-wanita [lain] yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. [An-Nisa':3]. Mohon dijelaskan hakekat sebenarnya?

>> Jawaban :

Pendapat tersebut batil, makna ayat yang benar adalah barangsiapa yangmengurusi anak-anak yatim, terus jika dia menikah dengan anak yatimtersebut, dia takut tidak bisa memberi mahar dengan wajar sepertiwanita lain maka lebih baik menikah dengan wanita selainnya. Karenaselain anak yatim masih banyak wanita yang siap menikah. Ayat tersebutmemberi anjuran untuk menikah lebih dari satu baik dua, tiga atauempat, demi untuk lebih menjaga pandangan, kemaluan, kesucian danmem-perbanyak keturunan serta melindungi kehormatan hidup seorangwanita. Seperdua, sepertiga atau seperempat suami lebih baik bagiwanita daripada tidak mempunyai suami sama sekali, dengan syarat suamimampu bersikap adil, dan barangsiapa yang tidak mampu berbuat adil,maka cukup satu saja dengan ditambah budak yang dimilikinya. Perintahini dikuatkan dengan keteladanan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam , beliau wafat dengan meninggalkan sembilan orang istri. AllahSubhaanahu wa Ta'ala berfirman: Sesungguhnya telah ada pada [diri]Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. [Al-Ahzab: 21].Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa untukumatnya tidak boleh menikah lebih dari empat istri, adapun lebih dariempat orang istri itu merupakan keistimewaan beliau Shallallaahu 'alaihiwa sallam.

Artikel Menikah lebih dari satu diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menikah lebih dari satu.

Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah 2/4

Kumpulan Artikel Islami

Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah 2/4 Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah 2/4

Kategori As-Sunnah

Sabtu, 4 Desember 2004 07:26:38 WIBPERNYATAAN PARA IMAM UNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MENINGGALKAN YANG MENYALAHI SUNNAHOlehSyaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniBagian Kedua dari Empat Tulisan 2/4[2]. MALIK BIN ANASImam Malik bin Anas menyatakan :[a] "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, ambillah ; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, tinggalkanlah". [1][b] "Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri". [2][c] Ibnu Wahhan berkata : "Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya : 'Hal itu bukan urusan manusia'. Ibnu Wahhab berkata : 'Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya : 'Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut'. Dia bertanya : 'Bagaimana Hadits itu . Saya menjawab : 'Laits bin Sa'ad, Ibnu Lahi'ah, Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin 'Amr Al-Mu'afiri, dari Abi 'Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya : 'Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya'. Malik menyahut :' Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. 'Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya".[3][Disalin dari Muqaddimah Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallama min Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Media Hidayah - Yogyakarta, hal. 55-57 penerjemah Muhammad Thalib]_________Foote Note[1]. Ibnu 'Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al-Ahkam [VI/149], begitu pula Al-Fulani hal. 72.[2]. Dikalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad As-Salik [1/227]. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al-Jami' [II/291], Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al-Ahkam [VI/145, 179], dari ucapan Hakam bin Utaibah dam Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam kitab Al-Fatawa [I/148] dari ucapan Ibnu Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata : "Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri".Komentar saya : Kemudian Imam Ahmad pun mengambil ucapan tersebut. Abu Dawud dalam kitab Masaail Imam Ahmad hal. 276 mengatakan : "Saya mendengar Ahmad berkata : Setiap orang pendapatnya ada yang diterima dan ditolak, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[3] Muqaddimah kitab Al-Jarh Wa At-Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunnan-nya [I/81]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1209&bagian=0


Artikel Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah 2/4 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah 2/4.

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat

Kumpulan Artikel Islami

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat

Kategori I'tiqad Al-A'immah

Senin, 27 September 2004 14:07:57 WIBPENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG SAHABATOlehDr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais[1]. Imam Abu Hanifah berkata: â€Å"Kita tidak boleh menyebutkan seorangpun dari sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dengan sebutan yang baik.” [1][2]. Kata beliau juga: â€Å"Kita juga tidak boleh berlepas diri dari salah satu sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak boleh pula mencintai yang satu dan mengesampingkan yang lain.”[2][3]. Beliau juga berkata: â€Å"Keberadaan salah seorang sahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesaat saja, hal itu lebih bagus dari pada amal kita sepanjang umur, meskipun umur itu panajang.”[3][4]. Kata beliau lagi: â€Å"Kita menetapkan, bahwa di antara umat Islam ini, orang yang paling mulia seudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar ash-Shidiq, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali Radhiallahu 'anhu”[4][5]. Beliau juga berkata: â€Å"Manusia paling mulia setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, Kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali. Selanjutnya kita tidak boleh membicarakan tentang para sahabat kecuali dalam hal-hal yang baik-baik saja.” [5][Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad], Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]_________Foote Note[1] Al-Fiqh Al-Alkbar, hl. 304[2] Al-Fiqh Al-Absath, hal 40[3] Al-Makki Manaqib Abi Hanifah, hal 76.[4] Kitab Al-Washiyah beserta syrhnya, hal 14[5] An-Nur Al-Lami, lembar 119-A

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1048&bagian=0


Artikel Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat.

Sesuatu Yang Membuat Shalat Dimakruhkan

Kumpulan Artikel Islami

Sesuatu Yang Membuat Shalat Dimakruhkan Sesuatu Yang Membuat Shalat Dimakruhkan

Kategori Shalat

Sabtu, 21 Februari 2004 13:19:36 WIBSESUATU YANG MEMBUAT SHALAT DIMAKRUHKANOlehSyaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam.Al-Makruh menurut para ahli ushul berarti sesuatu yang mendatangkan pahala jika ditinggalkan dan tidak mendatangkan hukuman jika dikerjakan. Al-Makruhat yang dimaksudkan di sini ialah hal-hal yang mengurangi kesempurnaan shalat namun tidak menggugurkannya. Bilangannya banyak, namun pengarang menyebutkannya sebagian di antaranya yang terkandung di dalam dua hadits ini.HADITS KELIMA PULUH"Artinya : Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : 'Jika shalat hendak didirikan, sedang makan malam sudah dihidangkan, maka mulailah dengan makan malam"Diriwayatkan dari Ibnu Umar yang semisal dengan hadits ini.MAKNA GLOBAL.Dalam shalat dituntut kekhusyu'an dan ketundukan serta kehadiran hati, karena yang demikian itu merupakan roh shalat. Kesempurnaan dan kekurangan shalat tergantung pada kehadiran makna ini.Jika shalat hendak didirikan, sementara makanan dan minuman sudah dihidangkan, maka yang lebih dahulu dilakukan ialan makan dan minum, agar konsentrasi orang yang shalat tidak terpecah dan pikirannya tidak tertuju ke makanan dan minuman, agar hatinya teralihkan dari kekhusyu'an, yang menjadi inti shalat. Dengan catatan, jika waktunya tidak mepet dan sempit. Jika waktunya sempit, yang lebih didahulukan ialah shalat daripada mengerjakan yang lainnya, karena sesuatu yang disunatkan tidak dapat mengalahkan sesuatu yang wajib.KESIMPULAN HADITS.[1] Jika makanan dan minuman sudah dihidangkan pada waktu shalat, maka makan dan minum harus dilakukan lebih dahulu selagi waktunya tidak sempit, apa pun keadaannya.[2] Menurut zhahir hadits ini, tidak ada bedanya apakah saat itu membutuhkan makanan atau tidak membutuhkannya. Tapi para ulama membatasinya pada kebutuhan terhadap makanan, dengan menyimpulkan alasan yang dapat mereka pahami dari maksud penyampai syari'at.[3] Kehadiran makanan bagi orang yang membutuhkannya menjadi alasan untuk meninggalkan shalat jama'ah, asalkan waktu makan dan minum itu tidak terus menerus pada waktu shalat dan menjadi kebiasaan secara kontinyu.[4] Kekhusyu'an dan meninggalkan semua kesibukan dituntut dalam shalat, agar hati tercurah pada munajat.HADITS KELIMA PULUH SATU"Artinya : Bagi riwayat Muslim dari Aisyah Rdhiyallahu 'anha, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak ada shalat saat kehadiran makanan, dan tidak pula menahan dia hadats".MAKNA GLOBAL.Dalam hadits sebelumnya sudah disampaikan keinginan penyampai syari'at yang kuat tentang kehadiran hati dalam shalat dihadapan Rabbnya. Yang demikian itu tidak akan terjadi kecuali dengan memotong segala hal yang menyibukkannya, yang dapat menghilangkan thuma'ninah dan kekhusyu'an.Karena itulah pembawa syari'at melarang shalat ketika makanan sudah dihidangkan, yang membuat hati orang yang shalat tertuju ke makanan itu. Disamping itu beliau juga melarang shalat sambil menahan dua hadats, buang air kecil dan air besar, karena shalat orang yang menahan buang air kecil dan air besar tidak akan sempurna, karena hati menjadi masygul menahan kotoran.PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA.Golongan Zhahiriyah dan Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah menyimpulkan berdasarkan zhahir hadits ini. Mereka menganggap shalat tidak sah jika makanan sudah terhidang atau ketika menahan buang air besar maupun kecil.Mereka menganggap shalat dalam keadaan seperti itu adalah batil. Hanya saja Ibnu Taimiyah membatasi ketidakabsahan ini ketika membutuhkan makanan. Sementara golonan Zhahiriyah tidak benar, karena mereka menganggapnya tidak sah secara mutlak.KESIMPULAN HADITS.[1] Makruh shalat ketika makanan sudah dihidangkan, terutama bagi orang yang membutuhkannya, begitu pula ketika menahan buang air besar atau air kecil, selagi waktunya tidak sempit.[2] Kehadiran hati dan khusyu' dituntut dalam shalat.[3] Orang yang sedang shalat harus menjauhkan segala hal yang menyibukkan dalam shalat.[4] Kebutuhan terhadap makan, minum, buang air besar dab air kecil merupakan alasan untuk mengakhirkan Jum'at dan jama'ah, dengan syarat, tidak menjadikan waktu-waktu shalat bertetapan dengan semua itu.[5] Ash-Shan'any berkata : 'Harus diingat bahwa hal ini bukan termasuk bab mendahulukan hak hamba atas hak Allah, tapi itu termasuk masalah menjaga hak Pencipta, agar tidak masuk dalam ibadah kepada-Nya dengan hati yang tidak diterima munajatnya'.[6] Sebagian ulama menafsiri khusyu' sebagai himpunan rasa takut danketenangan. Ini merupakan makna yang berlaku di dalam jiwa, tampak dalam ketenangan anggota badan yang sesuai dengan tujuan ibadah.FAIDAH.Menurut para ulama, shalat adalah munajat dengan Allah. Maka bagaimana mungkin ia dilakukan dalam keadaan lalai seperti ini Para ulama sepakat, bahwa hamba tidak mendapatkan pahala dari shalatnya kecuali apa yang dia pikirkan dan yang dia hayati dari shalatnya itu, yang didasarkan kepada firman Allah."Artinya : Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku" [Thaha : 14]"Artinya : Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" [Al-A'raf : 205]Yang juga didasarkan kepada riwayat Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban secara marfu'. 'Sesungguhnya hamba benar-benar mendirikan shalat, tidak ditetapkan pahala baginya kecuali sepersepuluhnya, tidak pula seperenamnya'.Shalat diwajibkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah. Jika di dalam hati orang yang shalat tidak terdapat pengagungan dan ketakutan kepada-Nya, maka bobot shalat itupun menjadi berkurang. Kehadiran hati artinya mengosongkannya dari segala hal yang menyibukkannya. Jadi harus adapenggadengan ilmu dan amal. Kelalaian hati dalam shalat untuk bermunajat hanya disebabkan oleh bisikan cinta terhadap dunia.[Disalin dari kitab 'Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam edisi Indonesia Syarah Hadits Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, Oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, hal 104-107, Darul Falah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=264&bagian=0


Artikel Sesuatu Yang Membuat Shalat Dimakruhkan diambil dari http://www.asofwah.or.id
Sesuatu Yang Membuat Shalat Dimakruhkan.

Seorang Wanita Dinikahkan Oleh Pamannya Yang LebihMuda

Kumpulan Artikel Islami

Seorang Wanita Dinikahkan Oleh Pamannya Yang LebihMuda

>> Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: Wanita dinikahkan oleh pamannyayang masih muda padahal paman yang cukup usia ada dan bisa hadir,apakah pernikahan tersebut syah?

>> Jawaban :

Setelah meneliti dan membahas surat yang isinya tentang masalah wanitagadis bisu dan tuli yang ingin menikah tetapi ia tidak memiliki bapakdan saudara dan yang ada hanya paman saja, kemudian dia dinikahkanoleh pamannya yang masih muda padahal paman yang telah cukup usia ada,apakah pernikahan tersebut sah. Apabila wanita tersebut tidak punyawali kecuali paman dan ia telah dinikahkan oleh pamannya yang masihusia muda maka nikah tersebut sah walaupun pamannya yang cukup usiaada dengan syarat paman yang berusia muda tersebut sudah baligh danadil dan ia menikah tanpa ada unsur paksaan dan calon suaminyasebanding. Namun jika wali tersebut sederaja maka lebih baikmendahulukan wali yang lebih tua di antara mereka, meskipun keduanyatetap sah. Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, juz 22/103

Artikel Seorang Wanita Dinikahkan Oleh Pamannya Yang LebihMuda diambil dari http://www.asofwah.or.id
Seorang Wanita Dinikahkan Oleh Pamannya Yang LebihMuda.

Hukum Ibadah Umrah

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Ibadah Umrah

>> Pertanyaan :

Apa hukum ibadah umrah?

>> Jawaban :

Para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya, ada di antara merekayang mengatakan bahwa umrah hukumnya wajib, dan ada pula yangberpendapat sunnah; dan ada pula yang membedakan antara pendudukMekkah dengan yang bukan penduduk Mekkah. Mereka mengatakan bahwaumrah itu wajib atas yang bukan penduduk kota Mekkah dan tidak wajibatas penduduk kota Mekkah. Pendapat yang saya pandang kuat adalahbahwa umrah itu wajib atas penduduk kota Mekkah dan lainnya, namuntingkat wajibnya lebih rendah daripada wajibnya ibadah haji, sebabkewajiban ibadah haji merupakan fardhu [kewajiban] yang sangatditekankan, dan merupakan salah satu rukun [pilar] Islam, sedangkanumrah tidak demikian.

[ Fatwa Syaikh Muhammad bin shalih Al-'Utsaimin ]

Artikel Hukum Ibadah Umrah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Ibadah Umrah.

Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun, Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa

Kumpulan Artikel Islami

Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun, Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun, Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa

Kategori Puasa - Fiqih Puasa

Selasa, 12 Oktober 2004 20:20:51 WIBANAK PEREMPUAN SAYA BERUMUR TIGA PULUH TAHUN DAN TELAH MEMPUNYAI ANAK, AKAN TETAPI IA MENDERITA PENYAKIT SYARAFOlehAl-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'PertanyaanAl-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Saya mempunyai anak perempuan yang berumur tiga puluh tahun dan telah mempunyai beberapa orang anak, sejak empat belas tahun lalu ia mengalami gangguan pada otaknya. Dulu penyakit ini dialaminya sebentar, kemudian berhenti, dan kali ini penyakit itu telah menjangkitinya lagi sehingga ia berperilaku yang tidak biasanya, penyakit itu telah berlangsung selama kira-kira tiga bulan, dengan demikian ia tidak bisa melakukan shalat dan wudhu dengan baik kecuali jika dibantu seseorang yang membimbingnya. Ketika datang bulan Ramadhan yang penuh berkah ia melaksanakan puasa selama satu hari saja, itupun tidak dilakukan dengan baik, sedangkan hari-hari yang selebihnya, ia tidak berpuasa. Berilah saya keterangan tentang masalah ini sehingga saya mengetahui apa yang wajib saya laksanakan dan apa yang wajib bagi anak saya itu, karena saya adalah walinya JawabanJika kenyataannya kondisi wanita itu sebagaimana yang Anda sebutkan, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk melaksanakan puasa dam shalat, juga tidak ada kewajiban mengqadha puasa baginya selama ia dalam keadaann seperti itu, bahkan tidak ada kewajiban bagi Anda kecuali memeliharanya. karena Anda adalah walinya. Telah disebutkan dalam suatu hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda."Artinya : Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya"Jika pada suatu waktu ia sadar, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat pada saat sadarnya itu, demikian juga bila ia sadar pada suatu hari di bulan Ramadhan, maka pada saat ia sadar ia wajib berpuasa. Jadi ia wajib berpuasa hanya pada hari yang ia sedang sadar saja.[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1091&bagian=0


Artikel Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun, Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa diambil dari http://www.asofwah.or.id
Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun, Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa.

Hukum Menggantung Kertas-kertas yang BertuliskanAyat-ayat dan Selainnya Pada Leher Anak-anak

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Menggantung Kertas-kertas yang BertuliskanAyat-ayat dan Selainnya Pada Leher Anak-anak Apa hukum orang-orang yang melakukan sihir Yakni,orang-orang yang menulis ayat-ayat al-Qur'an dan Asma Allah Subhannahuwa Ta'ala serta menjualnya kepada khalayak seraya mengatakan, Inilahyang akan memeliharamu ; atau ketika anak dilahirkan atau sakit,mereka menulis pada kertas dan menggantungkan di lehernya; ataumemberikan kepada pelajar [seraya mengatakan], Inilah yang akanmembuatmu cerdik dan berakal terutama di tanah air kami, Afrika, danbeberapa negara Arab.?

>> Jawaban :

Diharamkan menulis sesuatu dari selain al-Qur'an dan Asma' Allah padakertas atau selainnya untuk digantungkan di leher anak-anak yang sakit,binatang ternak, atau sejenisnya, karena mengharapkan kesembuhan;menggantungkan pada mereka ka-rena berharap terjaga dari berbagaipenyakit, tipu daya musuh atau tertimpa penyakit 'ain dan kedengkian;atau digantungkan pada para penuntut ilmu karena mengharapkankecerdasan, cepat hapalan, kepahaman dan selainnya. Nabi Shalallaahualaihi wasalam telah menyebutnya sebagai kesyirikan, dengan sabdanya,

Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka ia telahsyirik.

Diharamkan pula menjualnya serta menggantungkannya, dan harga yangdiperoleh dari menjual kertas-kertas ini adalah haram. Para pejabatberwenang wajib mencegahnya dan meng-hukum para pelakunya serta siapasaja yang pergi kepada mereka, dan menjelaskan bahwa ini termasuktamimah yang diharamkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam,agar mereka tertuntun kepada kebenaran dan berhenti darikeharaman-keharaman.

Adapun menulis ayat-ayat al-Qur'an, Asma' Allah dan sejenisnya berupadzikir-dzikir dan doa-doa yang shahih, maka ini diperselisihkan dikalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengharamkannya darikalangan ulama salaf dan di antara mereka ada yang memberi keringanan.Dan, yang benar, bahwa itu tidak boleh, berdasarkan keumumanhadits-hadits yang melarang menggantungkan tamimah, dan menutup jalandari menggantungkan tamimah dari selain al-Qur'an serta melindungi al-Qur'andan Asma Allah dari segala yang tidak pantas.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita,Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Fatwa-Fatwa al-Lajnah ad-Da'imah, jilid 1, hal. 207-208

Artikel Hukum Menggantung Kertas-kertas yang BertuliskanAyat-ayat dan Selainnya Pada Leher Anak-anak diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Menggantung Kertas-kertas yang BertuliskanAyat-ayat dan Selainnya Pada Leher Anak-anak.

Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 1/2

Kumpulan Artikel Islami

Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 1/2 Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 1/2

Kategori Hajji Dan Umrah

Jumat, 5 Maret 2004 19:13:48 WIBPENGARAHAN RINGKAS UNTUK JAMAAH HAJI DAN UMRAH SERTA PENZIARAH MASJID RASUL SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAMOlehKumpulan UlamaBagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]KEWAJIBAN-KEWAJIBAN BAGI JAMA'AH HAJI[1] Agar segera bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dari segala dosa, dan memilih harta yang halal untuk ibadah haji dan umrahnya.[2] Agar menjaga lidahnya dari dusta, menggunjing, mengadu domba dan menghina orang lain.[3] Dalam melaksanakan haji dan umrahnya, hendaklah bermaksud untuk mendapatkan ridha Illahi dan pahala akhirat, jauh dari rasa ingin dipandang, ingin tersohor dan berbangga diri.[4] Hendaklah mempelajari amalan-amalan yang disyariatkan dalam haji dan umrah, dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas baginya.[5] Apabila telah sampai di miqat, diperbolehkan memilih antara haji Ifrad, Tammatu' dan Qiran. Haji Tammatu' lebih utama bagi yang tidak membawa binatang kurban, sedang bagi yang membawanya, lebih utama baginya melaksanakan haji Qiran.[6] Seseorang yang berihram, apabila ia merasa khawatir tidak dapat melanjutkan ibadah hajinya dikarenakan sakit, atau musuh, atau karena sebab lain, maka disyaratkan ketika berihram mengucapkan : "Inna mahallii haistuu habastanii" Artinya : Tempat tahallulku adalah di tempat ku tertahan".[7] Anak-anak yang masih kecil haji mereka adalah sah, hanya saja haji semacam itu belum termasuk haji fardhu.[8] Orang yang sedang berihram boleh mandi dan membasuh kepalanya atau menggaruknya dikala perlu.[9] Bagi wanita yang sedang berihram diperbolehkan untuk menutup wajahnya dengan kerudung apabila takut dilihat kaum pria.[10] Mengenakan ikat kepala dibawah kerudung agar mudah sewaktu membuka wajah, sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian kaum wanita, tidak ada dasarnya dalam syari'at.[11] Bagi yang sedang berihram boleh mencuci kain ihramnya kemudian mengenakannya kembali dan boleh juga menggantinya dengan yang lain.[12] Seseorang yang sedang berihram, apabila ia mengenakan pakaian berjahit atau menutupi kepalanya atau memakai wangi-wangian karena lupa atau pun karena tidak tahu akan hukumnya, maka ia tidak dikenakan fidyah.[13] Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau umrah, hendaklah menghentikan bacaan talbiyah apabila ia sampai di Ka'bah sebelum memulai Tawaf.[14] Ramal [lari-lari kecil] dan Idhtiba' [mengenakan selendang ihram dengan meletakkan sebagiannya di atas pundak kiri, dan bagian lain disebelah ketiak kanan], hanya dilakukan pada Tawaf Qudum saja, dan ramal itu dikhususkan pada tiga putaran pertama, lagi pula untuk kaum pria saja, tidak untuk wanita.[15] Seseorang yang sedang melakukan Tawaf, apabila ia ragu apakah sudah melakukan tiga putaran atau empat umpamanya, maka hendaklah dihitung tiga putaran. Demikian pula diwaktu Sa'i.[16] Boleh melakukan Tawaf dibelakang sumur Zamzam dan Maqam Ibrahim dikala penuh sesak, karena Masjid Haram seluruhnya merupakan tempat Tawaf.[17] Adalah termasuk perbuatan mungkar, jika seorang wanita melakukan Tawaf dengan memakai perhiasan dan wangi-wangian serta tidak menutup aurat.[18] Wanita yang sedang datang bulan atau baru bersalin setelah berihram, tidak boleh melakulan tawaf, kecuali setelah ia dalam keadaan suci.[19] Bagi wanita boleh berihram dengan mengenakan pakaian yang ia sukai, asalakan pakaian itu tidak menyerupai pakaian pria dan jangan sampai menampakkan perhiasan, tetapi hendaklah mengenakan pakaian yang tidak merangsang.[20] Melafalkan niat dalam ibadah selain Haji dan Umrah adalah bid'ah yang diada-adakan, lebih-lebih bila dilafalkan niat itu dengan suara keras.[21] Diharamkan bagi seorang muslim mukallaf melintasi miqat tanpa berihram, apabila ia bermaksud melakukan ibadah haji dan umrah.[22] Jama'ah haji atau umrah yang datang lewat udara, hendaklah berihram ketika berada sejajar dengan batas miqat, oleh karena itu hendaknya ia bersiap-siap untuk berihram sebelum naik pesawat.[23] Bagi yang tempat tinggalnya di daerah miqat, tidak perlu pergi ke salah satu tempat miqat, dan cukuplah tempat tinggalnya itu sebagi miqat untuk berihram haji dan umrah.[24] Memperbanyak umrah setelah menunaikan haji, dari Tan'im atau Jir'anah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah, adalah hal yang tidak ada dalilnya.[25] Hendaklah para jama'ah haji pada hari tarwiyah berihram dari tempat tinggalnya di Mekkah, dan tidak perlu berihram dari dalam kota Mekkah atau dari bawah Pancuran Emas Ka'bah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah haji. Dan tidak perlu baginya Tawaf Wada' ketika berangkat menuju Mina.[26] Berangkat dari Mina menuju Arafah pada tanggal 9 Dzu-l-Hijjah, lebih utama dilakukan setelah terbit matahari.[27] Tidak diperkenankan meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari.Dan disaat berangkat setelah terbenam matahari, hendaknya dengan tenang dan penuh kekhusuan.[Disalin dari buku Petunjuk Jamaa Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 42-45, Diterbitkan dan diedarkan oleh Department Agama, Waqaf, Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=394&bagian=0


Artikel Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 1/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 1/2.

Laki-Laki Merdeka Menikah Dengan Wanita Budak

Kumpulan Artikel Islami

Laki-Laki Merdeka Menikah Dengan Wanita Budak

>> Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: Apakah boleh laki-laki merdekamenikah dengan seorang wanita budak ?

>> Jawaban :

Seorang laki-laki merdeka tidak boleh menikah dengan seorang wanitabudak kecuali dengan dua syarat; Pertama, takut terjerumus ke dalamperbuatan zina. Kedua , tidak mendapatkan biaya untuk menikah denganwanita merdeka. Jika kedua syarat tersebut bisa terpenuhi nikahnya sahtetapi jika salah satunya tidak bisa terpenuhi, maka pernikahantersebut batal dan wanita budak tersebut tidak halal bagi laki-lakitersebut untuk selama-lamanya.

Artikel Laki-Laki Merdeka Menikah Dengan Wanita Budak diambil dari http://www.asofwah.or.id
Laki-Laki Merdeka Menikah Dengan Wanita Budak.

Kakak Saya Selalu Memperolok-Olokan Karena Saya Berpegang Teguh Dengan Agama

Kumpulan Artikel Islami

Kakak Saya Selalu Memperolok-Olokan Karena Saya Berpegang Teguh Dengan Agama Kakak Saya Selalu Memperolok-Olokan Karena Saya Berpegang Teguh Dengan Agama

Kategori Keluarga

Rabu, 16 Februari 2005 11:48:13 WIBKAKAK SAYA SELALU MEMPEROLOK-OLOKAN KARENA SAYA BERPEGANG TEGUH DENGAN AGAMAOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaan.Saya mempunyai seorang kakak dan ia seringkali memperolok-olokkan saya sembari mengatakan tentang saya bahwa saya ini orang munafiq dan jika saya tinggal sendirian di kamar saya sering mendengarkan nyanyian, dan tidak lama saya akan menjauhi agama ini, saya akan terkena penyakit was-was. Walaupun saya sudah lama menasehatinya akan tetapi ia tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat. Maka apakah yang harus saya lakukan terhadapnya. Mohon bimbingan –Jazakumullah khairan- Jawaban.Anda wajib untuk tidak berputus asa akan keshalihannya atau kebaikannya [kelak]. Karena sesungguhnya banyak manusia yang dahulunya tidak benar amalan-amalannya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah kepada mereka. Maka perbanyaklah memberikan nasehat kepadanya, hadiahkanlah beberapa kaset dan buku-buku kecil yang menandung nasehat, mudah-mudahan Allah memberinya hidayah lewat tangan anda. Telah tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib."Artinya : Sungguh jika Allah memberi hidayah denganmu seorang, maka itu lebih baik bagimu daripada seekor unta merah"Maka ulang-ulangilah menasehatinya dan bersabarlah atas gangguan yang menimpa anda, sebagaimana yang dikatakan Luqman kepada putranya."Artinya : Hai annaku, dirikanlah shalat dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik dan cegahlah [mereka] dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik dan cegahlah [mereka] dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan [oleh Allah]" [Luqman : 17][Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1349&bagian=0


Artikel Kakak Saya Selalu Memperolok-Olokan Karena Saya Berpegang Teguh Dengan Agama diambil dari http://www.asofwah.or.id
Kakak Saya Selalu Memperolok-Olokan Karena Saya Berpegang Teguh Dengan Agama.