Jumat, 04 Juli 2008

Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 2/2

Kumpulan Artikel Islami

Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 2/2 Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 2/2

Kategori I'tiqad Al-A'immah

Selasa, 20 Juli 2004 09:43:32 WIBPENDAPAT PARA IMAM ABU HANIFAH TENTANG MASALAH TAUHIDOlehDr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais[7]. Beliau juga berkata: â€Å"Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. [1][8].Beliau juga berkata: â€Å"Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu [berkuasa] tetapi tidak seperti mampunya [berkuasanya] makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.[2][9].Beliau juga berkata: â€Å"Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.” [3][10]. Beliau berkata: â€Å"Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.” [4][11]. Beliau juga berkata: â€Å"Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah [hidup], qudrah [mampu], ‘ilm [mengetahui], sama’ [mendengar], bashar [melihat], dan iradah [kehendak]. Sedangkan sifat-sifat fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitang dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma’, dan sifat-sifat-Nya.[5][12]. Beliau juga berkata: â€Å"Allah tetap melakukan [berbuat] sesuatu. Dan melakukan [berbuat] itu merupakan sifat azali. Yang melakukan [berbuat] adalah Allahyang dilakukan [obyeknya] adalah makhluk danperbuatan Allah bukanlah makhluk.” [6][13]. Beliau juga berkata: â€Å"Siapa yang berkata, ‘saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi, maka orang tersebut telah menjadikafir. Demikian pula orang yang berkata: â€Å"Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ’arsy itu di langit atau di bumi.” [7][14]. Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: â€Å"Di mana Tuhan Anda yang Anda sembah itu”. Beliau menjawab: â€Å"Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: â€Å"Tahukah Anda bahwa Allah berfirman "wahuwa ma'akum" [Allah itu bersama kamu]” [8] Beliau menjawab: â€Å"Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, â€Å"Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”[9][15]. Beliau juga berkata: â€Å"Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakanjanji setia kepada Rasul, tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk.” [10][16]. Beliau juga berkata: â€Å"Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: â€Å"Tahukah Anda bahwa Allah berfiman, â€Å"Allah itu bersamamu. [11] ” Beliau menjawab: â€Å"Ungkapan itu seperti kamu menulis suratkepada seseorang, â€Å"saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.” [12][17]. â€Å"Beliau juga berkata: â€Å"Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam [berfirman] sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa Alaihis salam.” [13][18]. Kata beliau: â€Å"Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.” [14][19]. Beliau berkata lagi: â€Å"Allah itu berbicara, tetapi tidak sepertibicaranya kita.”[15][20]. Kata beliau: â€Å"Nabi Musa Alaihi salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allha: â€Å" Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa" [16]. Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.” [17][21]. Beliau berkata: â€Å"al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushaf dan tersimpan [terjaga] di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.” [18][22]. Kata beliau lagi: â€Å"al-Qur’an itu bukan makhluk.” [19][Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad], Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]_________Foote Note[1] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.301[2] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302[3] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56[4] Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, dengan komentar Al-Albani, hal.25[5] Al-Fiqh Al-Akhbar, hal.301[6] Ibid[7] Al-Fiqh Al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa V/48. Ibnu Al-Qayyim dalam Ijtima Al-Juyusy Al-Islamiyah, hal.139. Adz-Dzahabi dalam Al-Uluw, hal.101-102, Ibnu Qudamah dalam Al-Uluw, hal.116. Dan Ibnu Abi Al-Izz dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.301[8] Surah Al-Hadid, ayat 4[9] Al-Asma wa Ash-Shifat, hal.429[10] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56[11} Surah Al-Hadis, ayat 4[12] Al-Asma Ash-Sifat, II/170[13] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302[14] Ibid, hal.301[15] Ibid, hal.302[16] Surah An-Nisa, ayat 164[17] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302[18] Ibid, hal.301[19] Ibid

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=926&bagian=0


Artikel Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 2/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 2/2.

Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad

Kumpulan Artikel Islami

Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad

Kategori As-Saa'ah - Ad-Dajjal

Kamis, 17 Nopember 2005 09:39:25 WIBPENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IBNU SHAYYADOlehYusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MAAbu Abdillah Al-Qurthubi berkata, "Yang benar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal berdasarkan dilalah [petunjuk / dalil] terdahulu, dan tidak ada yang menghalanginya untuk berada di pulau tersebut pada waktu itu dan berada di tengah-tengah para, sahabat pada waktu itu yang lain." [At-Tadzkiroh. 702]Imam Nawawi berkata, "Para ulama mengatakan, "Kisahnya sangat musykil [sukar difahami] dan masalahnya samar-samar, apakah dia itu Al-Masih Ad-Daijal yang terkenal itu ataukah lainnya Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah salah satu Dajjal [pendusta besar] di antara dajjal-dajjal."Para ulama itu mengatakan, "Zhahir hadits-hadits itu menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mendapat wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Al-Masih Ad-Dajjal atau bukan, tetapi beliau hanya mendapat wahyu mengenai ciri-ciri Dajjal, sedangkan pada diri Ibnu Shayyad ada kemiripan dengan ciri-ciri tersebut. Karena itu Nabi saw tidak memastikan Ibnu Shayyad itu sebagai Dajjal atau bukan. Dan karena itu pula beliau berkata kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu, "Jika Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal, maka engkau tidak akan dapat membunuhnya." Adapun alasan Ibnu Shayyad bahwa dia itu muslim sedang Dajjal itu kafir, bahwa Dajjal tidak punya anak sedang dia punya anak, dan bahwa Dajjal tidak akan dapat memasuki kota Makkah dan Madinah sedang dia [Ibnu Shayyad] telah memasuki kota Madinah dan sedang menuju ke Makkah, maka alasannya itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal, karena Nabi saw hanya memberitahukan tentang ciri-cirinya pada waktu ia menyebarkan fitnah dan keluar dari bumi. Dan di antara kemiripan ceritanya dan keberadaannya sebagai salah seorang Dajjal pembohong ialah perkataannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, " Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah utusan Allah." Dan pengakuannya bahwa dia didatangi oleh seorang yang jujur dan seorang pembohong, bahwa dia melihat 'Arsy di atas air, dia tidak benci kalau ia sebagai Dajjal, dia mengetahui tempatnya. dan perkataannya, " Sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta di mana ia sekarang berada," dan kesombongannya yang memenuhi jalan. Adapun dia menampakkan Islamnya, argumentasinya, jihadnya, dan penghindarannya dari anggapan sebagai Dajjal tidak tegas menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal." [Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi 18: 46-47]Perkataan Imam Nawawi di atas dapat difahami bahwa beliau menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal.Imam Syaukani berkata, "Orang-orang berbeda pendapat mengenai masalah Ibnu Shayyad dengan perbedaan yang tajam, dan memang perkaranya sangat musykil sehingga timbul berbagai pendapat. Dan zhahir hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sangsi apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, maka keraguan beliau ini dapat dijawab dengan dua jawaban.Pertama.Bahwa keragu-raguan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah sebelum Allah memberitahukan kepada beliau bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Maka ketika Allah telah memberitahukan hal itu kepada beliau, beliau tidak mengingkari sumpah Umar.Kedua.Bangsa Arab kadang-kadang mengucapkan kata-kata. dengan nada ragu-ragu, meskipun berita itu tidak meragukan.Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa Ibnu Shayyad itu Dajjal ialah riwayat yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar, ia berkata, "Pada suatu hari saya berjumpa Ibnu Shayyad bersama Yahudi. dan ternyata sebelah matanya tuna netra dan tersembul keluar seperti mata himar. Ketika saya melihatnya, saya bertanya, "Wahai Ibnu Shayyad, saya minta engkau bersaksi karena Allah, sejak kapankah matamu buta" la menjawab, "Saya tidak tahu, demi Tuhan Yang Rahman." Saya berkata, "Engkau berdusta, bagaimana mungkin engkau tidak tahu sedangkan mata itu ada di kepalamu" Lalu ia mengusapnya dan menarik nafas panjang tiga kali." [Nailul Author Syarh Muntaqa Al-Akhbar 7: 230-231 oleh Asy-Syaukani, terbitan Musthafa Al-Babi, Mesir]Riwayat serupa juga telah disebutkan di muka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Perkataan Imam Syaukani ini menyiratkan makna bahwa beliau sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yang besar [yang bakal muncul pada akhir zaman].Dalam mengomentari hadits Tamim ini Al-Baihaqi berkata, "Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Dajjal terbesar yang akan keluar pada akhir zaman itu bukanlah Ibnu Shayyad, dan Ibnu Shayyad adalah salah satu dari dajjal-dajjal pembohong yang diberitahukan oleh Rasulullah saw akan kemunculannya, dan sebagian besar mereka telah muncul. Seolah-olah orang yang menetapkan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal [terbesar], mereka tidak mendengar kisah Tamim. Sebab, jika tidak demikian, maka mengkompromikan antara keduanya sangat jauh [tidak mungkin], karena bagaimana dapat disesuaikan antara orang yang ketika Nabi saw masih hidup dia baru menginjak dewasa dan bertemu dengan beliau serta ditanya oleh beliau, tetapi kemudian menjadi seorang yang sudah tua sekali dan di penjara di sebuah pulau di tengah lautan dengan dirantai besi, dan dia menanyakan tentang Nabi saw apakah beliau sudah muncul ataukah belum. Maka pendapat yang lebih cocok ialah tentang tidak adanya kejelasan yang pasti. Adapun sumpah Umar, maka boleh jadi hal itu dilakukannya sebelum ia mendengar kisah Tamim. Kemudian setelah mendengarnya, ia tidak berani lagi mengulangi sumpahnya. Adapun Jabir mcngemukakan sumpahnya di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah karena ia tahu Umar bersumpah di sisi Nabi saw, lantas ia mengikutinya." [Fathul-Bari 13: 326-327]Saya berkata, "Tetapi Jabir Radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang perawi hadits Tamim sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ketika beliau meriwayatkan kisah Al-Jassasah dan Dajjal seperti kisah Tamim." Kemudian Ibnu Abi Salamah berkata. "Sesungguhnya dalam hadits ini terdapat sesuatu yang tidak saya hafal. Katanya. "Jabir bersaksi bahwa Dajjal adalah Ibnu Shaaid." Saya [Ibnu Abi Salamah] berkata. "la [Ibnu Shaaid] telah meninggal dunia." Ia menjawab, "Meskipun lelah meninggal dunia." Saya berkata, "Ia telah masuk Islam." la menjawab, "Meskipun ia telah masuk Islam." Saya berkata, "Ia telah memasuki kota Madinah." la menjawab, "Meskipun ia pernah memasuki kota Madinah." [Sunan Abu Daud dengan Syarahi 'Aunul Ma ‘bud Kitab Al-Malahim, Bab Fi Khobar Al-Jassasah 11: 476]Maka Jabir ra tetap berpendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. meskipun ada yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad telah masuk Islam, pernah memasuki kota Madinah. dan telah meninggal dunia. Dan telah disebutkan di muka bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas."Ibnu Hajar berkata, "Abu Nu'aim Al-Ashbahani meriwayatkan dalam Tarikh Ashbahan yang memperkuat pendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. lalu beliau membawakan riwayat dari jalan Syubail bin Urzah dari Hassan bin Abdur Rahman dari ayahnya, ia berkata. "Ketika kami menaklukkan Ashbahan, maka jarak antara lasykar kami dengan Yahudi hanya satu farsakh, maka kami datangi tempat itu dari arah yang sesuai dengan pilihan kami. Pada suatu hari saya datang ke sana, ternyata orang-orang Yahudi sedang berpesta dan memukul gendang, lalu saya bertanya kepada teman saya dari golongan mereka. Kemudian dia menjawab, "Raja kami yang kami mintai pertolongan untuk mengalahkan bangsa Arab sedang tiba." Lalu saya bermalam di loteng rumah teman saya itu, kemudian saya melakukan shalat Shubuh. Ketika matahari terbit, terjadilah keributan di kalangan tentara, lalu saya lihat, ternyata ada seorang lelaki yang memakai kopiah dari tumbuh-tumbuhan yang harum, dan orang-orang Yahudi berpesta memukul gendang. Setelah saya perhatikan ternyata dia Ibnu Shayyad, lantas dia masuk Madinah dan tidak kembali lagi hingga datangnya As-Sa'-ah." [Dzikir Akhbar Ashbahan: 387-388 oleh Abu Nu'aim; Fathul-Bari 3: 327-328]Ibnu Hajar berkata, "Tidak ada relevansi antara riwayat Jabir [yang kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas] ini dengan riwayat Hassan bin Abdur Rahman, sebab penaklukan Ashbahan itu terjadi pada masa kekhalifahan Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Tarikhnya [Tarikh Ashbahan], sedang antara masa terbunuhnya Umar dengan peristiwa musim panas itu berselang waktu sekitar empat puluh tahun. Maka boleh jadi peristiwa itu disaksikan oleh ayah Hassan setelah berlalunya penaklukkan Ashbahan sekian lama. Dan di dalam pemberitaan yang menggunakan kata-kata ketika [lammaa] pada kalimat ketika kami telah menaklukkan Ashbahan ada bagian kalimat syarat ketika.... yang ditaqdirkan berbunyi: "Kami mengadakan perjanjian [ikatan] dengannya dan saya sering pulang balik ke sana," lalu terjadi peristiwa Ibnu Shayyad. Maka masa penaklukan Asbahan dan masuknya Ibnu Shayyad ke Madinah tidaklah dalam satu waktu."[Fathul-Bari 3]Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah Ibnu Shayyad ini merupakan sesuatu yang musykil [sulit] bagi sebagian sahabat. lalu mereka mengiranya Dajjal. sedangkan Nabi saw tawaqquf [diam saja] mengenai masalah ini sehinngga nyata sesudahnya bahwa dia bukan. Dajjal, melainkan sejenis dukun yang berperikeadaan syetan., karena itu beliau pergi ke sana untuk mengujinya. [Periksa Al-Furkon Baina auliyair rahman wa Auliyaisy-syaiton: 77, cetakan kedua, tahun 1375 H, Terbitan Mathabiur Riyadh]Ibnu Katsir berkata,”maksudnya bahwa Ibnu Shayyad itu bukan dajjal yang kelak akan keluar pada akhir zaman, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais Al-fihriyyah ini merupakan pemilahan dalam masalah tersebut" [An-Nihayah Fil Fitan wal malahim 1:70 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]Itulah sejumlah pendapat ulama mengenai ibnu Shayyad Yang berbeda-beda satu sama lain dengan dalil masing-masing. Karena itulah Al-Hafizh Ibnu Hajar berusaha mengkompromikan hadits-hadits dan pendapat yang berbeda-beda itu dengan mengatakan "Kompromi yang dekat antara kandungan hadits Tamim dan keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal ialah bahwa wujud Dajjal adalah yang disaksikan oleh Tamim dalam keadaan terbelenggu. sedang Ibnu Shayyad adalah syetan yang menyerupai diri sebagai Dajjial pada waktu itu hingga ia datang ke Ashbahan dan bersembunyi bersama temanya hingga suatu saat yang telah ditetapkan Allah baginya untuk keluar. Mengingat rumitnya masalah ini. maka Imam Bukhari menempuh tarjih [dengan menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain], sehingga beliau cakup meriwayatkan hadits Jabir dari Umar mengenai Ibnu Shayyad. dan tidak meriwayatkan hadits Fatimah binti Qais tetang kisah Tamim." [Fathul-Bari 13: 328].[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1667&bagian=0


Artikel Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pendapat Para Ulama Tentang Ibnu Shayyad.

Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab

Kumpulan Artikel Islami

Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab

Kategori Akhlak

Minggu, 29 Mei 2005 23:56:27 WIBSIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP PERBEDAAAN MADZHABOlehSyaikh Abdul Aziz bin BazPertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbedaan madzhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok?

>> Jawaban :Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak menyepakatinya.Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti RasulNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Maka yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syari'atNya yang telah diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah sedikit pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itu, setiap madzhab yang menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan mengungkapkan dalil-dalil syar'iyyah yang disertai kelembutan dan menggunakan metode yang tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran.[Majmu' Fatawwa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 157-158, Syaikh Ibnu Baz]MENGOLEKSI BUKU TAPI TIDAK MEMBACANYAPertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya seorang laki-laki yang memiliki banyak buku yang bermanfaat, alhamdulillah, termasuk juga buku-buku rujukan [mara-ji'], tapi saya tidak membacanya kecuali memilih-milih sebagiannya. Apakah saya berdosa karena mengoleksi buku-buku tersebut di rumah, sementara, ada beberapa orang yang meminjam sebagian buku-buku tersebut untuk dimanfaatkan lalu dikembalikan lagiJawaban.Tidak ada dosa bagi seorang muslim untuk mengoleksi buku-buku yang bermanfaat dan merawatnya di perpustakaan pribadinya sebagai bahan rujukan dan untuk mengambil manfaatnya serta untuk dipergunakan oleh orang lain yang mengun-junginya sehingga bisa ikut memanfaatkannya. Dan tidak berdosa jika ia tidak membaca sebagian besar buku-bukunya tersebut. Tentang meminjamkannya kepada orang-orang yang dipercaya bisa memanfaatkannya, hal ini disyari'atkan di samping sebagai sikap mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena dalam hal ini berarti memberikan bantuan untuk diperolehnya ilmu, dan ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan taqwa." [Al-Ma'idah : 2]Juga termasuk dalam cakupan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam"Artinya : Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya." [Hadits Riwayat Bukhari dalam Ad-Dzikir 2669][Fatwa Hai’ah Kibarik Ulama, juz 2, hal. 969, Syaikh Ibnu Baz][Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1442&bagian=0


Artikel Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab diambil dari http://www.asofwah.or.id
Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab.

Tak Jadi Mencuri Terung, lalu Allah KaruniakanUntuknya Seorang Isteri

Kumpulan Artikel Islami

Tak Jadi Mencuri Terung, lalu Allah KaruniakanUntuknya Seorang Isteri Di Damaskus, ada sebuah mesjid besar, namanyamesjid Jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah masjid yang penuh keberkahan.Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, dimasjid itu ada seorang syaikh pendidik yang alim dan mengamalkanilmunya. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya,dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalamberkhidmat untuk kepentingan orang lain.

Saat itu ada pemuda yang bertempat di sebuah kamar dalam masjid. Sudahdua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidakmempunyai makanana ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datanghari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentangapa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai padakondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencurisekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnyapada kondisi semacam ini.

Masjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberaparumah yang ada disampingnya. Hal ini memungkinkan sesorang pindah darirumah pertama sampai terakhir dengan berjalan diatas atap rumah-rumahtersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ diapindah kerumah sebelah. Di situ dia melihat orang-orang wanita, makadia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dialihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan diamencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit,seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.

Rumah-rumah dimasa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka diamelompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah berada didalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutuppanci yang ada disitu. Dilihatnya sebuah terong besar dan sudahdimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagimerasakan panasnya, digigitlah terong yang ada ditangannya dan saatitu dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagikesadaran beragamanya. Langsung dia berkata, 'A'udzu billah! Akuadalah penuntut ilmu dan tinggal di mesjid , pantaskah aku masukkerumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya' Dia merasabahwa ini adalah kesalahn besar, lalu dia menyesal dan beristigfarkepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada ditangannya.Akhirnya dia pulang kembali ketempat semula. Lalu ia masuk kedalammasjid dan mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karenaterlalu lapar dia tidak dapat memahami apa yang dia dengar.

Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglahseorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab -saat itu memangtidak ada perempuan kecuali dia memakai hijab-, kemudian perempuan ituberbicara dengan syaikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yangsedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itumelihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu,dipanggilah ia dan syaikh itu bertanya, 'Apakah kamu sudah menikah',dijawab, 'Belum,'. Syaikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah'.Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya. Akhirnya pemudaitu angkat bicara, 'Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untukmembeli roti, bagaimana aku akan menikah'. Syaikh itu menjawab, 'Wanitaini datang membawa khabar, bahwa suaminya telah meninggal dan diaadalah orang asing di kota ini. Di sini bahkan di dunia ini dia tidakmempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin',kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk dipojokkan.

Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisirumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seoranglaki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkindiganggu orang. Maukah kau menikah dengannya Pemuda itu menjawab 'Ya'.Kemudian Syaikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau maumenerimanya sebagai suamimu', ia menjawab 'Ya'. Maka Syaikh itumendatangkan pamannya dan dua orang saksi kemudian melangsungkan akadnikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syaikh ituberkata, 'peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dansang isteri membawanya kerumahnya. Setelah keduanya masuk kedalamrumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah olehpemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik.Rupanya pemuda itu sadar bahwa rumah itu adalah rumah yang tadi telahia masuki.

Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan' 'Ya' jawabnya. Lalu diamembuka tutup panci didapurnya. Saat melihat buah terong didalamnyadia berkata: 'heran siapa yang masuk kerumah dan menggigit terong ini!'.Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinyaberkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmudan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan rumah inisemuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barang siapa yangmeninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti denganyang lebih baik dari itu.

Diceritakan oleh : Syaikh Ali Ath-Thanthawi

Artikel Tak Jadi Mencuri Terung, lalu Allah KaruniakanUntuknya Seorang Isteri diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tak Jadi Mencuri Terung, lalu Allah KaruniakanUntuknya Seorang Isteri.

Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun

Kumpulan Artikel Islami

Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun

Kategori Zakat

Selasa, 2 Maret 2004 17:37:06 WIBTIDAK MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN SELAMA DUA PULUH TIGA TAHUNOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai perak yang dijadikan perhiasan di leher, kedua tangan, kepala dan ikat pinggang, saya sudah berulang-ulang meminta kepada suami saya agar menjual harta itu dan menzakatinya, tapi ia mengatakan, bahwa harta itu belum mencapai nishab. Saya telah memiliki harta itu selama sekitar dua puluh tiga tahun dan belum pernah mengeluarkan zakatnya. Apa yang harus saya lakukan sekarang ..JawabanJika harta itu belum mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu, perlu diketahui bahwa nishab dari perak adalah seratus empat puluh mitsqal [enam ratus empat puluh empat gram], dan jika perhiasan perak itu telah mencapai jumlah tersebut maka wajib mengeluarkan zakat dari harta itu setiap tahunnya menurut pendapat yang paling benar tentang hal itu diantara dua pendapat ulama. Harta yang dikeluarkan untuk zakat itu adalah senilai dua setengah persennya. Adapun nishab dari harta emas adalah sembilan puluh dua gram, dan harta yang harus dikeluarkan itu adalah senilai dua setengah persennya jika telah mencapai nishab ini. Jika harta yang dizakati itu melebihi dari nishab, maka dikeluarkan sebesar dua setengah persen dari seluruhnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Orang yang memiliki emas dan perak kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya maka pada hari kiamat nanti, akan dibuatkan baginya lempengan-lempengan yang terbuat dari api, kemudian distrikakan pada dahinya, lambungnya dan punggungnya, yang mana satu harinya seukuran lima puluh ribu tahun hingga Allah menetapkan ketetapannya di antara para hamba-hamba-Nya, kemudian ia akan mengetahui apakah ia akan menuju Surga atau ke Neraka" Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, ia berkata : Bahwa seorang wanita datang menemui beliau dan di tangan putrinya melingkar dua gelang emas, maka beliau bersabda."Artinya : Apakah engkau mengeluarkan zakat ini [gelang emas] , wanita itu menjawab : "Tidak", maka beliau bersabda : Apakah engkau senang jika Allah melingkarkan gelang padamu di hari Kiamat dengan dua gelang yang terbuat dari api.". Lalu wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan memberikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : "Kedua gelang ini untuk Allah dan Rasul-Nya".Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dan banyak hadits yang semakna dengan hadits ini.HUKUM ZAKAT PERHIASANOlehSyaikh Muhammad bin IbrahimPertanyaanSyaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Sesorang meminta fatwa tentang zakat perhiasan dan menanyakan tentang hadits yang mengisahkan tentang dua gelang.JawabanAda dua status perhiasan, pertama : Bahwa perhiasan tersebut memang diproyeksikan untuk digunakan sebagai perhiasan atau untuk dipinjamkan, yang mana si pemilik menggunakannya untuk dirinya sendiri atau dipinjamkan kepada seseorang yang hendak menggunakan tanpa imbalan, maka perhiasan yang statusnya seperti itu tidak perlu dizakati.Kedua : Perhiasan itu diproyeksikan untuk disewakan yang mana pemiliknya menyewakan perhiasan itu kepada orang yang ingin menggunakannya, atau bisa juga perhiasan itu tidak dipergunakan melainkan diproyeksikan sebagai sumber nafkah kehidupan, yaitu setiap kali pemiliknya membutuhkan uang maka ia menjualkannya sebagian dan uangnya di proyeksikan untuk nafkah hidup, atau perhiasan itu sebagai barang yang diharamkan, seperti bejana yang terbuat dari emas atau perak, atau sebagai cincin yang dikenakan pria, atau sebagai gelang yang dipergunakan oleh pria dan lain-lainnya, maka pada perhiasan-perhiasan semacam ini wajib dikeluarkan zakat jika telah mencapai nishab dengan sendirinya atau dengan menjumlah seluruh barang yang termasuk dalam kategori ini.Adapun mengenai hadits dimaksud, beberapa ulama telah menyebutkan tentang sanadnya dan melemahkannya, At-Tirmidzi mengatakan : Tidak ada hadits yang shahih dalam bab ini. Dan kendati diperkirakan keshahihannya. namun bertolak belakang dengan hadits-hadits lainnya. Wallahu a'lam.[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/98]HUKUM ZAKAT PERHIASAN YANG DIPROYEKSIKAN UNTUK DIPAKAIOlehSyaikh Muhammad bin IbrahimPertanyaanSyaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Bagaimana syari'at Islam mengenai zakat perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai JawabanPerhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak yang diproyeksikan untuk dipakai, mengenai penzakatannya telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, baik terdahulu mupun sekarang. Pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada zakat pada perhiasan tersebut [yang diproyeksikan untuk dipakai], berdasarkan hal-hal dibawah ini.[1]. Hadits yang diriwayatkan oleh Afiah bin Ayyub dari Laits bin Sa'ad dari Abu Az-Zubair dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau besabda."Artinya : Tidak ada zakat pada perhisan"Afiah bin Ayyub menukil hadits ini dari Abu Hatim dan Abu Zar'ah, ia berkata tentang hadits ini : Hadits ini tidak bermasalah, dan hadits yang telah disebutkan ini dikuatkan oleh Ibnu Zauji dalam Tahqiqnya, dalam hal ini terdapat bantahan terhadap pernyataan Al-Baihaqi bahwa Afiah adalah seorang yang tidak dikenal dan haditsnya ini tidak benar.[2]. Bahwa zakat perhiasan jika diwajibkan sebagaimana diwajibkan pada harta-harta yang telah ditetapkan kewajibannya, maka tentunya kewajiban ini telah dikenal sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya akan dilakukan pula oleh para imam pada masa setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan dengan demikian hal tersebut akan disebutkan dalam kitab-kitab mereka yang membahas tentang sedekah, namun kenyataannya, itu semua tidak pernah terjadi sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal".[3]. Apa yang diriwayatkan oleh At-Atsram dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa ia berkata : Lima orang di antara para sahabat berpendapat, bahwa tak ada zakat pada perhiasan, mereka itu adalah : Aisyah, Ibnu Umar, Anas, Jabir dan Asma'. Riwayat ini dinukilkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Ad-Dirayah" dari Al-Atsram.Al-Baji menyebutkan dalam Al-Muntaqa Syarh Al-Mu'atha : Hal ini tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan-perhiasan, adalah pendapat yang dikenal di antara pada sahabat, dan orang paling tahu tentang hal ini adalah Aisyah Radhiallahu 'anha, ia adalah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga tidak akan tertutup baginya pengetahuan tentang hal ini, juga Abdullah bin Umar, yang mana saudara perempuannya yang bernama Hafshah,adalah salah seorang istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tentunya tidak akan tertutup baginya untuk mengetahui hukum masalah ini.Dalam "Kitabul Amwal" karya Abu Ubaidi disebutkan, bahwa tidak ada riwayat yang shahih dari para sahabat tentang adanya zakat perhiasan, kecuali dari Ibnu Mas'ud, saya katakan : Dalam riwayat kitab "Al-Mudawanah" dari Ibnu Mas'ud terdapat pendapat yang sesuai dengan pendapat para sahabat tadi, dalam "Al-Mudawwanah" yang ditulisnya disebutkan : Ibnu Wahab berkata : Dikhabarkan kepadaku oleh beberapa orang ahlul ilmi dari Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, Al-Qasim bin Muhammad, Sa'id bin Al-Musayyab, Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dan Amrah dan Yahya bin Sa'id bahwa mereka berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan.Masih banyak lagi dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat yang tidak mewajibkan zakat, terlalu panjang jika harus dikemukakan semuanya. Adapun mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai berdalil pada hadits yang bersifat umum, seperti hadits."Artinya : [Zakat] pada Riqqah adalah seperempat dari sepersepuluh [dua setengah persen]".Dan hadits."Artinya :..Dan yang kurang dari lima Uqiyah tidak ada sedekahnya".Dalam kedua hadits ini tidak ada pengkhususan pada perhiasan sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal", dan diterangkan Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" bahwa kata "Riqqah" bagi bangsa Arab diartikan dengan dirham yang dicetak untuk digunakan sebagai alat penukar di kalangan manusia, sedangkan kata "Uqiyah" bagi bangsa Arab dalah menunjukkan pada dirham yang berjumlah empat puluh dirham setiap uqiyahnya.Pada kenyataannya bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk digunakan adalah dari nash-nash marfu' yaitu : Hadits seorang wanita yang anaknya mengenakan dua gelang, hadits 'Aisyah yang menggunakan perhiasan perak, hadits Ummu Salamah yang menggunakan kalung emas dan hadits Fatimah binti Qais yang berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Pada perhiasan ada zakatnya"Serta hadits Asma' binti Yazid tentang gelang-gelang emas, yang mana hadits-hadits menurut Asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hazim, bahwa beristidlal [berdalih] dengan hadits-hadits ini adalah tidak kuat karena hadits-hadist tersebut tidak shahih, dan tidak diragukan lagi ucapan-ucapan mereka lebih utama untuk didahulukan dari pada ucapan orang-orang yang kemudian, yang berusaha menguatkan riwayat-riawayat hadits ini.Kesimpulannya adalah, bahwa kami berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai bedasarkan dalil-dalil yang shahih, yaitu sesuai dengan pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, Ahmad , Abu Ubaid, Ishaq dan Abu Tsaur serta beberapa orang sahabat yang telah disebutkan sebelumnya beserta para Tabi'in. Demikian juga dengan perhiasan yang diproyeksikan untuk dipinjamkan tanpa imbalan, perhiasan tersebut tidak wajib dizakati. Adapun perhiasan yang bukan untuk dipergunakan dan bukan untuk dipinjamkan tanpa imbalan maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya.[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/95][Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 208- 212, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=351&bagian=0


Artikel Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun.

Wanita Dalam Kondisi Haid Dan Nifas Saat Akan Ihram

Kumpulan Artikel Islami

Wanita Dalam Kondisi Haid Dan Nifas Saat Akan Ihram

>> Pertanyaan :

Syaikh Al-Utsaimin Ditanya: Seorang wanita telah niat ihram, namun iasedang dalam keadaan haid atau nifas, apa yang harus dikerjakan Danapa hukumnya jika datang haid setelah ihram atau setelah melakukanthawaf ?

>> Jawaban :

Apabila seorang wanita hendak mengerjakan haji atau umrah kemudianmelewati miqat dalam keadaan haid atau nifas, maka wanita tersebutharus mengerjakan apa saja yang dikerjakan wanita yang sedang suciyaitu mandi dan niat ihram namun dia harus mengenakan pembalut agardarah tidak berceceran. Setelah suci dia harus segera pergi keBaitullah untuk mengerjakan thawaf dan sa'i dan menggunting rambut.Dengan demi-kian ibadah umrah telah sempurna. Dan jika datang haidatau nifas setelah melakukan ihram maka dia tetap dalam keadaanihramnya hingga suci, kemudian melaksanakan thawaf dan sa'i yangdilanjutkan dengan menggunting rambut. Dan bila datang haid setelahmelakukan thawaf maka dia boleh menyelesaikan umrah, karenapelaksanaan semua manasik setelah thawaf tidak disyaratkan suci darihadats ataupun haid.

Artikel Wanita Dalam Kondisi Haid Dan Nifas Saat Akan Ihram diambil dari http://www.asofwah.or.id
Wanita Dalam Kondisi Haid Dan Nifas Saat Akan Ihram.

Fatwa Baru Tentang Tarian Wanita Dalam PestaPernikahan

Kumpulan Artikel Islami

Fatwa Baru Tentang Tarian Wanita Dalam PestaPernikahan

>> Pertanyaan :

Apakah boleh bagi wanita menari dalam rangka pesta pernikahan, apalagihal itu di lakukan di hadapan sesama mereka saja?

>> Jawaban :

Menari itu makruh. Pada mulanya saya membolehkannya, akan tetapi sayaditanya berulang kali tentang hal-hal yang terjadi di saat menari,maka kemudian saya berpendapat dilarang, karena sebagian remajaputri yang menari itu mempunyai postur tubuh yang indah, cantik danlangsing, tariannya dapat membuat fitnah bagi wanita yang menonton,sehingga ada yang menyampaikan kepada saya bahwa bila hal seperti ituterjadi, maka ada sebagian wanita penonton yang datang mencium remajaputri yang menari, bahkan ada yang memeluknya. Ini menimbulkan fitnahyang jelas sekali.

[ Syaikh Ibnu Utsaimin, di dalam harian Jaridatul Muslimin, edisi 651.]

Artikel Fatwa Baru Tentang Tarian Wanita Dalam PestaPernikahan diambil dari http://www.asofwah.or.id
Fatwa Baru Tentang Tarian Wanita Dalam PestaPernikahan.

Persiapan Menuju Akhirat

Kumpulan Artikel Islami

Persiapan Menuju Akhirat Saudaraku, berikut ini merupakan bekal bagi kitauntuk menuju alam akhirat. Dengan bekal ini diharapkan perjalananpanjang yang akan kita lalui menjadi mudah. Dan semoga Allah

subhanahu wata’ala memudahkan kita semua dalam melewati alambarzakh, makhsyar, hisab, mizan, dan sirath. Bekal-bekal tersebut diantaranya adalah:

1. Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala, malaikat,kitab-kitab, para Rasul-Nya dan hari Akhir serta Qadar baik dan buruk.

2. Menjaga shalat fardhu lima waktu di masjid denganmengerjakannya secara berjama'ah pada waktunya, dengan penuhkekhusyu'an dan mema-hami makna-maknanya. Sedangkan bagi wanita,shalat di rumah adalah lebih utama.

3. Mengeluarkan zakat wajib pada waktunya sesuai dengan ukurandan sifat-sifatnya yang telah disyari'atkan.

4. Puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan pahaladari Allah subhanahu wata’ala.

5. Haji yang mabrur, sebab tiada balasan baginya kecuali surgadan berumrah di bulan Ramadhan yang pahalanya setara haji bersama Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam.

6. Mengerjakan hal-hal yang sunnah, yaitu yang di luar shalatlima waktu, zakat, puasa dan haji. Dalam hadits Qudsi, Allah

subhanahu wata’ala berfirman, artinya,Dan senantiasalah hamba-Ku mende-katkan diri kepada-Ku denganhal-hal yang sunnah hingga Aku mencintainya. [HR. Al-Bukhori danAhmad]

7. Segera bertaubat yang sebenarnya dari semua perbuatanmaksiat dan munkar serta bertekad untuk memanfaatkan waktu-waktu yangtersedia dengan memperbanyak istighfar, dzikir, dan beragam jenisketa'atan.

8. Berbuat ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala danmeninggalkan riya' dalam segala urusan. [Baca: QS. Al-Bayyinah: 5]

9. Mencintai Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yanghanya bisa terealisir dengan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam. [Baca: QS. Ali 'Imran: 31]

10. Mencinta karena Allah, membenci karena Allah, loyal karenaAllah dan memusuhi karena Allah. Dan konsekuensi dari hal ini adalahmencintai kaum Mukminin sekali pun mereka jauh dan membenciorang-orang kafir sekali pun mereka dekat.

11. Takut kepada Allah subhanahu wata’ala, Yang MahaAgung, mengamalkan wahyu-Nya, rela hidup berkekurangan serta bersiapdiri menyambut hari kepergian [saat kematian]. Inilah hakikat takwa.

12. Bersabar atas bencana yang menimpa, bersyukur di saatmendapatkan kesenangan, merasa selalu dalam pengawasan Allah

subhanahu wata’ala dalam setiap kondisi serta berharap mendapatkankarunia dan pemberian-Nya.

13. Bertawakkal dengan baik kepada Allah subhanahu wata’ala.[Baca: QS. Al-Ma'idah: 23]

14. Menuntut ilmu yang bermanfa'at dan berusaha untukmenyebarkan dan mengajarkannya. [Baca: QS. Al-Mujadilah: 11; Ali 'Imran:187]

15. Mengagungkan al-Qur'an dengan mempelajari danmengajarkannya, menjaga batasan-batasan dan hukum-hukumnya, mengetahuihalal dan haramnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam,Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al-Qur'an danmengajarkannya. [HR. Al-Bukhari]

16. Berjihad di jalan Allah, murabathah di jalan-Nya, tegarmenghadapi musuh dan tidak lari dari medan peperangan. Hal iniberdasar-kan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,Janganlah kamu mengangankan bertemu musuh, mintalah keselamatankepada Allah; jika kamu bertemu mereka, maka bersabarlah danketahuilah bahwa surga berada di bawah kilatan pedang. [Muttafaqun'alaih]

17. Menjaga lisan dari hal-hal yang diharamkan seperti berdusta,ghibah [menggunjing], namimah [mengadu-domba], mencaci, melaknat,berkata kotor dan musik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari Akhir,maka hendaklah ia berkata baik atau diam. [Muttafaqun 'alaih]

18. Menepati janji, menunaikan amanah, tidak berkhianat danlicik. [Baca: QS. Al-Ma'idah: 1; QS. Al-Baqarah: 283]

19. Tidak melakukan zina, minum khamer, membunuh jiwa yangdiharamkan Allah subhanahu wata’ala kecuali dengan haq, berbuatzhalim, memakan harta orang lain secara batil, memakan riba danmemakan sesuatu yang secara syari'at bukan miliknya. [Baca: QS. Al-A'raf:33]

20. Wara' [menjaga kesucian diri] dalam hal makanan dan minumanserta menghindari sesuatu yang tidak halal darinya. [Baca: QS. Al-Maidah:3]

21. Berbakti kepada kedua orangtua, menyambung tali rahim,mengunjungi teman-teman, bersabar atas tingkah polah mereka,mengupayakan berbuat baik, terhadap orang dekat atau pun jauh.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya, niscaya Allah akanmemenuhi hajatnya dan barangsiapa yang menghilangkan satu darikesulitan-kesulitan di dunia yang dihadapi seorang mukmin, niscayaAllah akan menghilangkan satu dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamatyang dihadapinya. [Muttafaqun 'alaih]

22. Menjenguk orang sakit, berziarah kubur, mengiringi jenazah,sebab hal itu dapat mengingatkan akhirat dan membuat zuhud dalamkehidupan di dunia.

23. Tidak memakai pakaian yang diharamkan seperti sutera, emas,tidak berpakaian melebihi mata kaki bagi laki-laki [Isbal] danmenggunakan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makandan minum.

24. Berhemat dalam nafkah, menjaga nikmat dan tidak berbuatmubazir. [Baca: QS. Al-Isra': 26]

25. Tidak dengki, iri, memusuhi, saling membenci danmenjatuhkan kehor-matan kaum Muslimin dan Muslimah dengan tanpa haq.

26. Beramar ma'ruf nahi munkar, berdakwah mengajak orang kepadaAllah subhanahu wata’ala dengan cara hikmah dan Mau'izhohHasanah.

27. Berlaku adil terhadap manusia, tolong-menolong dalamberbuat kebajikan dan takwa. [Baca: QS. Al-An'am: 152]

28. Berakhlak mulia seperti Tawadhu' [rendah hati], kasihsayang, lemah lembut, malu, halus hati, menahan emosi, dermawan, tidaksombong, angkuh, dan sebagainya.

29. Menjalankan hak-hak anak-anak dan isteri secara penuh danmengajarkan mereka masalah-masalah agama yang diperlukan.[Baca: QS.At-Tahrim: 06]

30. Memberi salam dan membalasnya, mendoakan orang yang bersin,memuliakan tamu dan tetangga, menutupi aib pelaku maksiat semampunya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,Barangsiapa yang menutupi [aib] saudaranya sesama muslim, makaAllah akan menutupi [aibnya] pada hari Kiamat. [Muttafaqun 'alaih]

31. Zuhud di dunia, pendek angan-angan sebelum ajal menjemput.

32. Cemburu [sensitif] terhadap kehormatan, memicingkan matadari hal-hal yang diharamkan

33. Menghindari hal yang sia-sia dan bermain-main sertamelakukan perkara-perkara positif.

34. Mencintai shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdan ke-luarga beliau [pen], berlepas diri dari orang-orang yangmembenci atau men-cela mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,Barangsiapa yang mencela para shahabatku, maka atasnya laknatAllah, malaikat dan seluruh manusia. [HR. Ath-Thabarani, dinilaiHasan oleh Syaikh Al-Albani]

35. Mendamaikan sesama manusia, menengahi beda pendapat diantara dua orang yang berselisih pendapat sehingga jurang perselisihandan perpecahan tidak meluas

36. Tidak mendatangi dukun, ahli nujum, para tukang sihir, paraperamal dan sebagainya

37. Wanita hendaknya patuh terhadap suaminya, menjaganya dalamharta, anak dan ranjangnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,Bila seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mena'ati suaminya, maka akandikatakan kepadanya, “Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang kamukehendaki.!” [HR. Ibnu Hibban, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani]

38. Tidak berbuat Bid'ah [mengada-ada] di dalam agama ataumenyeru kepada kebatilan dan kesesatan.

39. Kaum wanita hendaknya tidak menyambung rambutnya denganrambut lain [menyanggul atau rambut Wig], tidak mentato, mencukur alis,meratakan gigi dengan tujuan hanya untuk mempercantik diri.

40. Tidak mematai-matai kaum Muslimin dan mengungkap auratserta menyakiti mereka.

Sumber: Az-Zâ'ir Al-Akhîr karya Khalid bin Abu Shalih [AbuShofiyyah]

Artikel Persiapan Menuju Akhirat diambil dari http://www.asofwah.or.id
Persiapan Menuju Akhirat.

Berbicara Dengan Calon Istri Lewat Telepon

Kumpulan Artikel Islami

Berbicara Dengan Calon Istri Lewat Telepon

>> Pertanyaan :

Laki-laki berbicara kepada perempuan yang dilamarnya melalui telepon,apakah boleh secara syari ataukah tidak?

>> Jawaban :

Laki-laki berbicara kepada perempuan yang dilamarnya hukumnyaboleh-boleh saja setelah lamarannya disetujuinya, sedangkanpembicaraan dimaksudkan untuk saling memahami, sebatas keperluan dantidak mengandung unsur fitnah. Namun jika hal itu dilakukan melaluiwalinya adalah lebih baik dan lebih terpelihara dari sesuatu yangmeragukan.

Adapun pembicaraan melalui telepon yang terjadi antara laki-lakidengan perempuan dan antara pemuda dengan pemudi yang belum terjadikhitbah [lamaran] di antara mereka, yang dilakukan untuk saling kenal[sebagaimana mereka sebutkan], adalah perbuatan munkar dan diharamkan,dapat mengundang fitnah dan terjerumus ke dalam perbuatan keji [zina].

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlahorang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yangbaik, [Al-Ahzab: 32].

Oleh karena itu, seorang perempuan tidak boleh berbicara kepadaseorang lelaki asing [bukan muhrimnya] kecuali bila terpaksa danitupun dengan perkataan yang maruf tidak ada unsur fitnahnya dantidak mengundang keraguan.

Para ulama telah menegaskan bahwasanya perempuan yang sedang berihramboleh bertalbiyah namun tidak boleh menyaringkan suaranya.

Di dalam hadits disebutkan:.

Sesungguhnya bertepuk tangan itu milik perempuan. Maka barangsiapayang di dalam shalatnya merasa ada kesalahan maka hen-daknyamengatakan Subhanallah.

Semua keterangan di atas menunjukkan bahwasanya perempuan tidakmemperdengarkan suaranya kepada laki-laki kecuali pada kondisi-kondisiyang diperlukan untuk berbicara kepada mereka dengan tetap menjagarasa malu dan kesopanan.

[ Al-Fauzan: al-Muntaqa, jilid 2, hal. 163-164. ]

Artikel Berbicara Dengan Calon Istri Lewat Telepon diambil dari http://www.asofwah.or.id
Berbicara Dengan Calon Istri Lewat Telepon.

Banyaknya Kemusyrikan Di Kalangan Umat Islam

Kumpulan Artikel Islami

Banyaknya Kemusyrikan Di Kalangan Umat Islam Banyaknya Kemusyrikan Di Kalangan Umat Islam

Kategori Hadits

Sabtu, 18 Desember 2004 07:18:05 WIBBANYAKNYA KEMUSYRIKAN DI KALANGAN UMAT ISLAMOlehYusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-WabilMUKADIMAHArtikel ini diambil dari sebagian kecil Tanda-Tanda Kiamat Shugro, yang dimaksud dengan tanda-tanda kiamat shugro [kecil] ialah tanda-tandanya yang kecil, bukan kiamatnya. Tanda-tanda ini terjadi mendahului hari kiamat dalam masa yang cukup panjang dan merupakan berbagai kejadian yang biasa terjadi. Seperti, terangkatnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalelanya minuman keras, perzinaan, riba dan sejenisnya.Dan yang penting lagi, bahwa pembahasan ini merupakan dakwah kepada iman kepada Allah Ta'ala dan Hari Akhir, dan membenarkan apa yang disampaiakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disamping itu juga merupakan seruan untuk bersiap-siap mencari bekal setelah mati nanti karena kiamat itu telah dekat dan telah banyak tanda-tandanya yang nampak.________________________________Hal ini termasuk tanda-tanda hari kiamat yang sudah nampak dengan jelas yang kini semakin bertambah.Dikalangan umat Islam ini telah terjadi kemusyrikan, dan beberapa kelompok dari mereka menjalin hubungan akrab dengan orang-orang musyrik. Mereka menyembah berhala-berhala, patung-patung, arca-arca dan sebagainya. Mereka juga mendirikan bangunan-bangunan di atas kubur dan mereka sembah disamping menyembah Allah dengan tujuan agar mendapatkan barakahnya. Mereka cium, mereka agungkan, mereka junjung tinggi, mereka bernadzar untuknya, dan mereka adakan hari-hari besar tertentu berkaitan dengan kubur atau bangunan-bangunan di atas kubur tersebut. Banyak diantara mereka yang memperlakukan bangunan-bangunan itu seperti berhala Lata, Uzza dan Manat atau lebih besar lagi syiriknya.Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Apabila pedang telah diletakkan pada umatku, maka ia tidak akan diangkat lagi hingga hari kiamat. Dan tidak akan datang kiamat itu sehingga beberapa kabilah dari umatku mengikuti tingkah laku kaum musyrik, dan sehingga ada beberapa kabilah dari umatku yang menyembah berhala-hala" [Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abu Daud 11 : 322-324, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami Tirmidzi 6 : 466. Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits shahih". Dan hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Alban dalam Shahih Al-Jami' Ash-Shagir 6 : 174, hadits nomor 7295]Imam Asy-Syaikhani [Bukhari dan Muslim] meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu katanya : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga wanita-wanita tua suku Daus berputar-putar mengelilingi Dzil-Khalashah" [Shahih Bukhari, Kitab Al-Fitan, Bab Taghayyuriz-Zaman Hatta Tu'bada Al-Autsan 13 : 76, hadits nomor 7116, Shahih Muslim Syarah Nawawi, Kitab Al-Fitan Wa Asyroth As-Sa'ah, Bab Laa Taquumu As-Sa'utu Hatta Ta'buda Daus Dzal-Khalashah 18 : 32-33]Dan Dzul-Khalashah ialah tempat berhala suku Daus yang mereka sembah pada zaman jahiliyah.Apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini telah menjadi kenyataan. Karena suku Daus dan orang-orang Arab di sekitarnya telah terfitnah dengan Dzul-Khalashah. Yakni tatkala mereka dilanda kebodohan dan kembali mengikuti jejak nenek moyang mereka terdahulu dengan menyembeah Dzul-Khalashah disamping menyembah Allah. Sehingga, bangkitlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dengan dakwah dan seruannya kepada tauhid dan memurnikan ajaran Islam. Maka Islampun dapat kembali lagi ke jazirah Arab. Kemudian bangkitlah Al-Imam Abdul Aziz bin Muhamad bin Sa'ud rahimahullah, dan beliau mengirim sekelompok juru dakwah ke Dzul-Khalashah untuk merobohkan dan menghancurkan sebagian bangunannya. Tetapi setelah masa pemerintahan keluarga Sa'ud atas Hizaz berakhir, maka kembalilah orang-orang jahil menyembah patung di Dzul-Khalashah lagi.Kemudian, ketika Abdul Aziz bin Abdur Rahman Ali [keluarga] Sa'ud rahimahullah berkuasa atas Hizaz, beliau memerintahkan gubernurnya untuk mengirim pasukan guna menghancurkannya dan menghilangkan bekas-bekasya. Segala puji dan nikmat kepunyaan Allah [Vide : Ithaful Jama'ah I : 522-523 : Sarootu Ghamid wa Zahron : 347-349]Kesyirikan-kesyirikan itu akan senantiasa ada dalam berbagai negeri dengan berbagai bentuknya. Dan benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda."Artinya : Tidak akan lenyap malam dan siang [tidak akan lenyap dunia, yakni Kiamat] sehingga Lata dan Uzza [berhala] disembah kembali" Lalu Aisyah berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika Allah menurunkan firmanNya : 'Dia-lah yang mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya'. Saya kira dengan turunnya ayat ini semua itu sudah sempurna. Beliau menjawab : "Itu akan terjadi sesuai dengan kehendak Allah, tetapi kemudian Allah akan mengirimkan angin yang baik lantas mematikan setiap orang yang di hatinya masih ada iman meskipun seberat biji sawi, sehingga tinggal manusia yang tidak ada kebaikannya sama sekali, lalu mereka kembali kepada agama nenek moyang mereka [syirik]" [Shahih Muslim dengan syarah Nawawi, Kitab Al-Fitan wa syrithis Sa'ah 18 : 33]Dan lambang serta wujud kemusyrikan itu banyak sekali. Tidak terbatas pada penyembahan terhadap batu, kayu dan kuburan, tetapi bisa lebih jauh dari itu. Yaitu, dengan menjadikan thoghut-thaghut sebagai saingan bagi Allah Ta'ala, yang menciptakan syari'at untuk manusia dan menyuruh manusia mengikuti syariatnya dengan meninggalkan syariat Allah. Dengan demikian, berarti mereka menjadikan diri mereka sebagai tuhan-tuhan yang disucikan selain Allah seperti yang disinyalir Allah :"Artinya : Mereka menjadikan orang-orang pandai dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" [At-Taubah : 31]Maksudnya, mereka menjadikan ulama-ulama dan sarjana-sarjana serta hali-ahli ibadat mereka sebagai tuhan-tuhan yang membuat syari'at bagi mereka. Mereka mengikuti saja apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh orang-orang tersebut [tanpa berdasarkan Kitabullah dan sunnah RasulNya [vide : Tafsir Ibnu Katsir 4 : 77]Kalau dalam hal tahlil [penghalalan] dan tahrim [pengharaman] sesuatu saja begini, maka betapa lagi dengan orang-orang yang mengesampingkan Islam dan membuangnya ke belakang punggung mereka dan memeluk madzhab-madzhab atheis seperti sekularisme, komunisme, sosialisme dan qaummiyyah [nasionalisme/sukuisme] kemudian mereka masih menganggap dirinya muslim [Disalin dari buku Asyratus Sa'ah. Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat hal. 122 -125 terbitan Pustaka Mantiq, penerjemah Drs As'ad Yasin dan Drs Zaini Munir Fadholi]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1238&bagian=0


Artikel Banyaknya Kemusyrikan Di Kalangan Umat Islam diambil dari http://www.asofwah.or.id
Banyaknya Kemusyrikan Di Kalangan Umat Islam.

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3

Kumpulan Artikel Islami

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3 Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3

Kategori Ahkam

Minggu, 28 Nopember 2004 10:23:18 WIBSEMUA SAHABAT RASULULLAH ADALAH ADIL DAN HARAM HUKUMNYA MENCACI MAKI MEREKAOlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir JawasBagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3][F]. IJMA 'ULAMA TENTANG 'ADAALAH [KEADILAN0 SEMUA SHAHABAT RASULULLAH.Al-Khatib Al-Baghdadi [beliau lahir th 392 wafat th 463] beliau berkata :"Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama". [13]Ibnu Abdil Barr [363-463H] berkata :"Para shahabat tidak perlu kita periksa [keadilan] mereka, karena sudah ijma' Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa mereka semua Adil". [14]Ibnu Hazm [384-456H] berkata :"Semua shahabat adalah 'adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka". [15]Ibnu Katsir [701-774H] berkata ;"Semua shahabat adalah 'adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengharap ganjaran yang baik [dari Allah]" [16]Sebenarnya masih banyak lagi pujian dan sanjungan para Ulama tentang 'adalah [keadilan] shahabat, tetapi apa yang sudah disebutkan sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi orang yang punya bashirah.[G]. SIKAP PARA ULAMA TENTANG PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA PARA SHAHABAT.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [661-728H] menerangkan dalam Fatawa-nya :"Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang [kejelekan] mereka [semuanya] adalah dusta. Mereka [para shahabat] adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". [17]Kata Ibnu Katsir :"Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada yang terjadi secara tidak sengaja seperti Perang Jamal [antara Ali dengan 'Aisyah] dan adapula yang terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin [antara Ali dengan Mua'wiyah]. Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan tetapi [bila salah] pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat ganjaran kendatipun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati kepada kebenaran daripada Mu'awiyah mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya [Ali, 'Aisyah, Muawiyah dan para shahabat mereka]".[18]Meskipun perselisihan yang terjadi diantara para shahabat sempat membawa korban jiwa, yakni ada diantara mereka yang gugur, tetapi mereka segera bertaubat karena mereka adalah orang-orang yang selalu bertaubat kepada Allah dan Allah-pun menjanjikan taubat atas mereka. Allah berfirman."Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [At-Taubah : 102].[H]. PARA SHAHABAT TIDAK MA'SHUM.Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka ma'shum [terpelihara dari dosa dan kesalahan] atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara mereka segera istighfar dan taubat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat". [Hadits Hasan Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami'us Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431].Abu Bakar Ibnul 'Arabi berkata :"Dosa-dosa [yang dilakukan para shahabat] tidaklah menggugurkan 'adalah [keadilan], apabila sudah ada taubat". [19].Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa para shahabat yang pernah bersalah semuanya bertaubat kepada Allah dan mereka tidak bisa dikatakan nifaq atau kufur. Semua ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah sepakat bahwa para shahabat yang ikut serta dalam persengketaan, ikut dalam perang Jamal dan perang Shiffin, mereka adalah orang-orang yang beriman dan adil. Dan kesalahan mereka yang bersifat individu dan berjama'ah tidak menggugurkan pujian Allah atas mereka.Abu Ja'far Muhammad bin Ali Al-Husain ketika ditanya tentang orang-orang [para shahabat] yang ikut serta dalam perang Jamal ia menjawab :"Mereka [para shahabat] adalah orang-orang yang tetap dalam keimanan dan mereka bukan orang-orang kafir". [20]Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud, mereka berkata :"Ali bin Abi Thalib menyalatkan jenazah para shahabat yang memihak Mu'wiyah". [21][I]. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG ORANG-ORANG YANG MENCACI MAKI/MENGHINA PARA SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.Imam Malik berkata ;"Orang-orang yang membenci para Shahabat Rasulullah adalah orang-orang kafir". [Tafsir Ibnu Katsir V hal. 367-368] atau IV hal. 216 cet. Daarus Salam Riyadh.]Al-Qadhi 'Iyaadh berkata :"Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang menghina/mencaci maki para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam harus dihukum ta'ziir [yakni harus didera menurut kebijaksanaan hakim Islam -pen]". [Fathul Bari VII hal. 36].Kata Imam Abu Zur'ah Ar-Raazi [wafat th 264H]:"Apabila engkau melihat seseorang mencaci maki/menghina seseorang dari shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq [kafir]. Yang demikian karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq, Al-Qur'an adalah haq dan apa-apa yang dibawa adalah haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka [orang-orang zindiq] itu mencela kesaksian kita agar bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah [yakni agar kita tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah -pen]. Merekalah yang pantas mendapat celaan". [22]Imam Al--Hafizh Syamsuddin Muhammad 'Utsman Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi [673-747H] berkata :"Barangsiapa yang mencaci mereka [para shahabat] menghina mereka, maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Islam dan telah merusak kaum muslimin. Mereka yang mencaci adalah orang yang dengki dan ingkar kepada pujian Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan juga mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan, tingkatan dan cinta ... Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari'at [yakni Rasulullah]. Mencela pembawa Syari'at berarti mencela kepada apa yang dibawanya [yaitu Al-Qur'an dan Sunnah]". [23][J]. KHATIMAH.Apa yang telah saya terangkan dari Al-Qur'an dan Sunnah kiranya sudah cukup jelas, lebih-lebih lagi dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oleh karena itu sikap kaum Mu'minim terhadap mereka [para shahabat] adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yaitu :[a]. Mereka sebaik-baik ummat.[b]. Kita diwajibkan mengikuti jejak langkah mereka dengan baik [At-Taubah : 100] dan tidak boleh menyimpang dari jalan mereka [An-Nisaa' : 15] dan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin.[c]. Semua Shahabat adalah adil[d].Kita tidak berkeyakinan bahwa para Shahabat ma'shum, karena tidak seorangpun yang ma'shum selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Kita ridha kepada mereka dan kita mohonkan untuk mereka ampunan dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka [Al-Hasyr : 10].[K]. KESIMPULAN.Golongan Orientalis, Yahudi dan Syi'ah adalah golongan yang paling banyak mencaci dan menghina para Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Aqidah Syi'ah yang menyatakan para Shahabat tidak adil, bahkan mereka mengkafirkan, mereka adalah orang yang sesat dan menyesatkan dan orang-orangnya dinyatakan kafir. [24]Hukum mencaci/menghina para Shahabat adalah haram dan pelakunya akan dilaknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia. Sabda Nabi :"Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia". [Hadist Riwayat Thabrani]Orang Munafiq dan Murtad dan mati dalam keadaan demikian mereka adalah termasuk golongan kafir dan tidak termasuk Shahabat meskipun berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Semua shahabat adalah adil dan tetap dikatakan orang-orang yang beriman, meskipun mereka berselisih [Al-Hujuraat 9-10].Sebesar apapun infaq yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan dapat menyamai derajat seorang shahabat Rasulullah. Kita wajib mencintai para shahabat. Kita seharusnya mendo'akan orang-orang yang terlebih dahulu beriman dari pada kita :"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman ; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al-Hasyr : 10][Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/ThI/1415-1995]_________Foote Note[13]. Al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah hal. 49; Tanbih Dzawin Najabahilla 'Adaalatis Shahabah oleh Qurasy bin Umar bin Ahmad hal. 23[14]. Al-Iti'ab fi Ma'rifati Ashab Juz I hal. 9 cet. Daarul Fikr 1398H[15]. Ushulul Hadits hal. 386 dinukil dari Al-Ihkam fil Ushulil-Ahkam[16]. Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits hal.154[17]. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jilid III hal. 406[18]. Al-Ba'itsul Hatsits syarah Ikhtisar Ulumil hadits hal. 154[19]. Al-'Awashin minal Qawashim tahqiq Syaikh Muhibudin Al-Khatib hal. 94 Daarul Mathba'ah Salafiayh cet V Cairo.[20]. Ushulul -Itiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Imam Al-Lalikai, tahqiq DR Ahmad Sa'ad Hamdan jilid V & VI hal 1059-1060 cet. Daar Thayyibah-Riyadh[21]. Idem[22]. Al-Awashim minal Qawashim hal. 34[23]. Al-Khabair Adz-Dahabi, tahqiq Abu Khalid Al-husain bin Muhammad as-Sa'idl hal. 352-353 Daarul Fikr th 1408H cet. I[24]. Limaza Kafaral 'ulama Al-Khumaini oleh Wajih Al-Madini cet. cairo I 1408H; Aqaidus Syi'ah fil Mizan oleh Dr Muhammad Kamil Al-Hasyimi cet I, th 1409

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1197&bagian=0


Artikel Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3.

Menghajikan Orang Tua (Ayah) Dengan Harta Yang TelahDiwasiatkan

Kumpulan Artikel Islami

Menghajikan Orang Tua (Ayah) Dengan Harta Yang TelahDiwasiatkan

>> Pertanyaan :

Ayah saya telah meninggal dunia. Ketika masih hidup beliau ber-pesan [wasiat]agar dihajikan dan beliau telah mengkhususkan sebidang tanah dari yangdimilikinya untuk orang yang menghajikannya. Lalu, setelah kami dewasa,saya dan saudara saya datang ke sini [Saudi] untuk bekerja, dan kamitelah mengadakan kesepakatan dengan seseorang untuk menghajikan ayahkami dengan biaya 2000 [dua ribu] Real Saudi, namun kami tidakmenyerahkan tanah itu kepada orang yang menghajikan ayah kami tadi.Apakah hajinya benar Apakah kami salah?

>> Jawaban :

Sang ayah yang telah mewasiatkan sebidang tanah untuk kepen-tinganmenghajikannya, maka tanah itu wajib digunakan semuanya untukkepentingan haji, jika tanah itu sepertiga atau kurang dari hartapening-galannya. Jika lebih dari sepertiga, maka kalian punya hakpilih.

Akan tetapi jika diketahui bahwa yang dimaksudkan oleh ayah andaadalah hajinya saja. Dengan kata lain, bahwa maksudnya adalah agar iadihajikan dan beliau menentukan sepetak tanah itu demi kepas-tiannya,maka tidak mengapa kalian membayar sejumlah uang tertentu kepadaseseorang untuk menghajikannya dan tanah tetap menjadi milik kalian.

Semua itu kembali kepada pengetahuan kalian kepada niat ayah kalian.Jika kalian tahu bahwa niat ayah kalian itu adalah menggunakan seluruhnilai tanah itu untuk menghajikannya, maka kalian harus menghabiskantanah itu untuk kepentingan menghajikannya sekalipun sampai beberapakali haji, dengan syarat tidak lebih dari sepertiga jumlah hartapeninggalannya. Jika lebih dari sepertiganya, maka kalian yangmempunyai hak pilih.

Jika yang kalian ketahui adalah bahwa yang dikehendaki ayah kalianadalah satu kali haji saja dan beliau menentukan tanah itu untukkepastiannya, maka tidak mengapa kalau kalian membayar sejumlah uangkepada seseorang untuk menghajikannya dan tanah menjadi milik kalian.

[ Fatawa nur alad darbi: Ibnu Utsaimin, jilid 2, hal. 556. ]

Artikel Menghajikan Orang Tua (Ayah) Dengan Harta Yang TelahDiwasiatkan diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menghajikan Orang Tua (Ayah) Dengan Harta Yang TelahDiwasiatkan.

Siwak

Kumpulan Artikel Islami

Siwak Siwak

Kategori Amalan Sunnah

Kamis, 30 September 2004 16:27:26 WIBSIWAKOlehSyaikh Khalid al HusainanBagi seorang muslim dianjurkan untuk bersiwak di berbagai waktu dalam kesehariannya.Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.â€Å"Artinya : Kalau tidaklah memberatkan atas ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu !”. [Hadits Riwayat Bukhari no. 887, Muslim no.252 ini adalah lafadz Muslim, Pent.]Apabila dihitung dalam kesehariannya maka seorang muslim telah melakukan tidak kurang dari 20 kali bersiwak. Rinciannya yaitu, setiap sholat lima waktu, shalat sunnah rawatib [dua belas kali], shalat dhuha, shalat witir, ketika akan masuk rumah. Bersiwak adalah hal yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika akan masuk rumah seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu’anha dalam shahih muslim.Oleh karena itu setiap Anda memasuki rumah maka mulailah dengan bersiwak, karena hal itu termasuk mengikuti sunnah, begitu juga ketika akan membaca al Qur’an, ketika bau mulut mukai berubah, bangun dari tidur, berwudhu’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ."Artinya : Siwak itu membersihkan mulut dan diridhai Allah”. [Hadits Riwayat Bukhary, 4: 137 secara mu’allaq , Ahmad juz VI, hal. 47, 62, 124 dan 238]Faedah bersiwak.[1] Bagi hamba-hambaNya yang mulutnya bersih akan mendapatkan ridho dari Allah[2] Siwak dapat membersihkan mulutBerdasarkan penelitian kesehatan modern tentang siwak didapatkan bahwa sesungguhnya siwak meliputi banyak sekali materi yang bermanfaat bagi gigi dan gusi, antara lain :[a]. Mengandung materi-materi yang dapat mengenyahkan kuman-kuman[b]. Mengandung materi-materi yang dapat membersihkan gigi dan gusi[c]. Mengandung materi-materi yang dapat menjaga kebersihan gigi[d]. Mengandung materi-materi yang wangi dan dapat merubah bau mulut yang busuk.[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1056&bagian=0


Artikel Siwak diambil dari http://www.asofwah.or.id
Siwak.

Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub

Kategori Wanita - Thaharah

Jumat, 30 Januari 2004 13:42:01 WIBHUKUM MENGUSAP KAIN PENUTUP KEPALA SAAT MANDI JUNUBOlehSyaikh Abdul Aziz bin BaazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apa hukumnya seorang wanita yang mengusap kain penutup kepalanya saat mandi junub JawabanMerupakan suatu hal yang sudah diketahui dari pendapat para ulama, bahwa dalam syariat Islam yang suci ini telah ada ketetapan mengenai mengusap khuf dan mengusap kain penutup kepala bagi rambut wanita dan pria [ seperti telekung, jilbab ataupun sorban bagi laki-laki, pent], bahwa hal ini tidak dibolehkan dalam mandi junub menurut ijma para ulama, dan hanya dibolehkan dalam berwudhu berdasarkan hadits Shafwan bin Assal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah memerintahkan kami, jika kami dalam safar hendaknya kami tidak melepaskan khuf [sepatu yang melebihi mata kaki] kami selama tiga hari dan tiga malam kecuali jika kami junub, akan tetapi mengusap khuf itu dibolehkan setelah buang air besar, buang air kecil, atau bangun dari tidur". Tidak diragukan lagi bahwa syari'at Islam adalah syari'at yang amat mudah serta bertoleransi, tapi membasuh kepala dalam mandi janabat itu bukan suatu yang sulit sekali, karena saat Rasulullah ditanya Ummu Salamah tentang mandi junub dan mandi haid dengan berkata : "Wahai Rasulullah, sesunguhnya aku mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus melepaskan ikatan rambut itu saat mandi junub dan saat mandi haidh" maka Rasulullah bersabda."Artinya : Sesungguhnya cukup bagi kamu menuangkan air sebanyak tiga tuangan di atas kepalamu kemudian kamu membasuh seluruh tubuhmu dengan air, maka [dengan demikian] kamu telah bersuci" [Dikeluarkan oleh Muslim dalam shahihnya].Hadits ini menunjukkan bahwa beliau menganjurkan kepada kaum wanita yang mendapatkan kesulitan untuk membasuh rambut mereka dalam mandi junub untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali, sehingga air tersebut mengenai setiap rambut tanpa harus melepaskan ikatan rambut atau mengubah susunan rambut yang menyulitkannya dalam mandi junub, juga disertai keterangan tentang apa yang didapati mereka dari sisi Allah berupa pahala yang besar, kehidupan yang baik dan mulia serta kekal di alam Surga jika mereka bersabar serta konsisten dalam menjalankan hukum-hukum syari'at Allah. Akan tetapi dalam kondisi-kondisi darurat yang mana saat itu seseorang berhalangan untuk bisa membasahi seluruh bagian kepalanya karena terdapat suatu luka, penyakit ataupun lainnya, maka saat itu ia dibolehkan untuk mengusap kepalanya saat bersuci, baik dari hadast besar maupun kecil. Demikian ini jika kondisinya mengharuskan semacam itu dan tidak terbatas waktunya, yakni dibolehkan demikian selama dibutuhkan, demikian berdasarkan hadits Jabir tentang seorang pria yang dikepalanya terdapat luka, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya."Artinya : Hendaknya ia membalut lukanya dengan sepotong kain kemudian hendaknya ia mengusapkan di atas kain itu lalu membasuh seluruh anggouta tubuhnya" [Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya]Dan di antara hal yang sebaiknya diingatkan ketika menghadapi masalah atau bingung mengenai hukum, terutama terhadap orang-orang yang cenderung terhadap Islam, hendaknya dikatakan kepada mereka bahwa Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci dan pengekangan syahwat, dan bahwa sesungguhnya ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para hamba-Nya itu adalah untuk menguji mereka serta untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya di antara mereka, sebab untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk mendapatkan Surga-Nya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa kesulitan, akan tetapi hal itu akan bisa didapati dengan kesabaran dan perjuangan melawan hawa nafsu, bersusah payah dalam mendapatkan ridha Allah adalah salah satu jalan untuk menghindari murka Allah dan siksa-Nya, sebagai mana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagimu, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya". [Al-Kahfi : ] Juga firman-Nya."Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". [Al-Mulk :" 2] dan firman-Nya pula."Artinya : Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu ; dan agar Kami menyatakan [baik buruknya] hal ihwalmu". [Muhammad : 31]Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang bermakna dengan ayat-ayat tersebut, kita memohon kepada Allah untuk menjadikan kita semua sebagai penyeru kepada petunjuk. Semoga Allah senantiasa memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menganugrahkan kepada semuanya berupa pemahaman tentang penciptaan mereka dan memperbanyak pula penyeru-penyeru kebenaran, sesunguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[Majmu' Fatawa wa Maqalat Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 6/237][Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 23-25 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=106&bagian=0


Artikel Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub.

Kesamaan Aqidah Imam Empat

Kumpulan Artikel Islami

Kesamaan Aqidah Imam Empat Kesamaan Aqidah Imam Empat

Kategori I'tiqad Al-A'immah

Jumat, 16 Juli 2004 13:44:59 WIBKESAMAAN AQIDAH IMAM EMPATOlehDr. Muhammad Abdurrahman Al-KhumaisAqidah imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, â€Å"… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan[1]Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad [2]Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, â€Å"Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda penddapat dalam Ushuluddin [masalah aqidah]. Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah[3]Aqidah inilah yang dipilih oleh al-Allamah Shidq Hasan Khan, dimana beliau berkata : â€Å" Madzhab kami adalaha mazhab ulama salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil [meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah]. Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.”[4][Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad] oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]_________Foote Note[1]. Kitab al-Imam, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad[2]. Manhaj As-Sunah, II/106[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256[4]. Qathf ats-Tsamar, hal. 47-48

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=917&bagian=0


Artikel Kesamaan Aqidah Imam Empat diambil dari http://www.asofwah.or.id
Kesamaan Aqidah Imam Empat.

Memohon Kepada Allah Dengan Kedudukan Para Nabi Atau Orang Shalih

Kumpulan Artikel Islami

Memohon Kepada Allah Dengan Kedudukan Para Nabi Atau Orang Shalih Memohon Kepada Allah Dengan Kedudukan Para Nabi Atau Orang Shalih

Kategori Do'a Dan Dzikir

Selasa, 30 Maret 2004 08:53:29 WIBMEMOHON KEPADA ALLAH DENGAN KEDUDUKAN PARA NABI ATAU ORANG SHALIHOlehIsmail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-RumaihLajnah Da’imah Lil Ifta ditanya : â€Å"Apakah boleh seseorang memohon kepada Allah dengan perantara para nabi dan orang-orang shalih, sebab di antara para ulama ada yang membolehkan, karena do’a tersebut tetap ditujukan kepada Allah dan sebagian mereka ada yang melarangnya. Bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini ”Jawaban.Wali adalah setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.â€Å"Artinya : Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [Yaitu] orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” [Yunus : 61-62]Macam-macam tawassul kepada Allah dengan perantara wali-waliNya.Pertama.Seseorang bertawasul dengan do’a seorang wali yang masih hidup, dengan do’a wali tersebut Allah meluaskan rizkinya atau memberi kesembuhan, hidayah dan taufik atau semisalnya. Sebagaimana yang dilakukan para sahabat tatkala hujan tak kunjung datang, mereka bertawasul kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon agar turun hujan, seketika itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah supaya menurunkan hujan. Tidak lama kemudian do’a beliau dikabulkan oleh Allah dan turunlah hujan dengan lebat. [Shahih Muslim, kitab Al-Istisqa bab Do’a Fil istisqa 3/24-25]Contoh lain para sahabat yang bertawassul kepada Abbas di zaman Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu meminta agar beliau berdo’a kepada Allah untuk memohon diturunkan hujan. Lalu Abbas bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu bedo’a kepada Allah yang diamini para sahabat. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa Fi Yaumil Jum’ah 2/18]Bertawasul dengan do’a orang shalih yang masih hidup untuk mendatangkan manfa’at atau menghilangkan madharat sering terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.Kedua.Bertawasul kepada Allah dengan perantara cinta kepada Nabi dan mengikutinya atau cinta kepada para wali dengan mengucapkan : ‘Ya Allah dengan perantara kecintaan dan ketaatanku kepada NabiMu atau kecintaanku kepada para waliMu, maka kabulkanlah permintaanku.Demikian itu boleh karena termasuk tawassul dengan amal shalih sebagaimana tawassulnya orang-orang yang terperangkap di dalam goa lalu mereka bertawassul kepada Allah dengan amal shalih mereka masing-masing. [Shahih Al-Bukhari, kitab Badul Khalq 4/147-148]Ketiga.Bertawassul kepada Allah dengan perantara kedudukan para nabi dan para wali dengan mengucapkan : â€Å"Ya Allah saya bertawassul kepadaMu dengan perantara kedudukan para nabi atau kedudukan Husain, maka kabulkanlah permintaanku. Meskipun kedudukan para nabi dan wali sangat agung khususnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi kedudukan tersebut bukan menjadi penyebab terkabulkannya do’a. Oleh sebab itu tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, maka para sahabat Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi datang kepada paman beliau yang masih hidup untuk berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan. Padahal kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sangat tinggi dan mulia di atas mereka, akan tetapi tidak ada sahabatpun yang bertawassul dengan kedudukan Nabi setelah wafatnya. Sementara mereka adalah generasi umat terbaik yang paling tahu tentang kedudukan beliau dan generasi yang sangat menctainya.Keempat.Berdo’a kepada Allah dengan bertawassul dan bersumpah dengan kedudukan para wali atau para nabi seperti ucapan mereka : Ya Allah demi kedudukan para waliMu atau para nabiMu, kabulkanlah permintaanku. Hal tersebut dilarang karena bersumpah dengan makhluk untuk makhluk saja tidak boleh apalagi bersumpah dengan makhluk untuk khalik [Pencipta]. Tidak ada keharusan untuk bersumpah dengan kedudukan para wali dengan anggapan mereka lebih dekat kepada Allah.Inilah penjelasan yang sesuai dengan dalil-dalil dan sangat relevan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian aqidah dan kesyirikan. [Fatawa Islamiyah 1/48-49]Faedah.Tujuan meminta do’a dari seseorang yang mustajab doanya adalah memohon manfaat untuk orang yang dimintakan dan orang yang meminta. Sebab orang yang mendo’akan orang lain dari tempat yang jauh, para malaikat pasti berkata kepadanya : Bagimu kebaikan seperti yang kamu mintakan untuknya. Sebaiknya tujuan meminta do’a bukan hanya untuk kemanfaatan bagi yang meminta saja, sebab dapat merendahkan kehormatannya meskipun hal itu dibolehkan.[Fawaid Muntaqa’ Syarh Kitab Tauhid oleh Syaikh Utsaimin hal.76][Disain dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a hal. 9-13 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=558&bagian=0


Artikel Memohon Kepada Allah Dengan Kedudukan Para Nabi Atau Orang Shalih diambil dari http://www.asofwah.or.id
Memohon Kepada Allah Dengan Kedudukan Para Nabi Atau Orang Shalih.

Haji Pegawai Dan Polisi Tanpa Seizin Atasan, Tentara Menunaikan Haj Tanpa Seizin Komandannya

Kumpulan Artikel Islami

Haji Pegawai Dan Polisi Tanpa Seizin Atasan, Tentara Menunaikan Haj Tanpa Seizin Komandannya Haji Pegawai Dan Polisi Tanpa Seizin Atasan, Tentara Menunaikan Haj Tanpa Seizin Komandannya

Kategori Hajji Dan Umrah

Senin, 15 Maret 2004 08:53:48 WIBBERJANJI UNTUK HAJI SETIAP TAHUN, TAPI SEKARANG TIDAK MAMPUOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya telah berjanji kepada Allah untuk pergi haji setiap tahun dan ketika itu saya bukan sebagai pegawai. Tapi karena desakan kondisi saya menjadi tentara, dan komandan saya tidak memperbolehkan saya haji setiap tahun. Mohon penjelasan, apakah saya berdosa ataukah tidak JawabanJika yang menghambat seseorang dalam melaksanakan haji pada sebagian tahun karena hal-hal yang memaksa dan tidak dapat menanggulanginya, maka tidak dosa. Sebab Allah berfirman."Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan" [Al-Baqarah : 286]Allah juga berfirman."Artinya : Allah tidak hendak menyulitkan jamu" [Al-Maidah : 6]Kepada Allah kita mohon pertolongan. Dan shalawat serta salam kepada pemimpin kita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.BUTUH PEKERJAAN MEMBOLEHKAN PENUNDAAN HAJIOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sejak tiga tahun saya mengajukan cuti dari pekerjaan-ku untuk melaksanakan haji wajib. Tapi kondisi tidak mengizinkan saya melakukan itu karena saya membutuhkan pekerjaan. Apa yang harus saya lakukan . Dan bagaimana hukumnya jika saya haji tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.JawabanSelama kamu terkait dengan orang lain, maka kamu tidak wajib haji melainkan setelah persetujuan orang tersebut. Dan jika kebutuhan menuntut untuk tetap di tempat, maka tidak ada halangan jika kamu tidak haji. Tapi jika keperluan untuk tetap sudah selesai, maka kamu boleh haji, baik dengan cara bergantian atau dengan cara lain.HAJI PEGAWAI DAN POLISI TANPA SEIZIN ATASANOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang polisi boleh pergi haji tanpa seizin komandannya .JawabanSeorang pegawai atau polisi tidak boleh pergi haji kecuali dengan izin atasannya secara mutlak, baik haji wajib maupun sunah. Sebab waktu pegawai atau polisi merupakan hak atasan, di samping karena pekerjaan-pekerjaan haji terkadang menghambat pegawai, atau polisi dari melaksanakan sebagian tugasnya.TENTARA MENUNAIKAN IBADAH HAJI BERSAMA IBUNYA TANPA SEIZIN KOMANDANNYAOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya seorang tentara dan ingin haji dengan ibu saya namun komandan tidak mengizinkan. Apakah saya berdosa jika pergi haji bersama ibu saya tanpa seizin komandan .JawabanAnda mendapatkan gaji sebab pekerjaan anda. Maka jika Anda meninggalkan pekerjaan tanpa seizin komandan untuk berhaji bersama ibu Anda adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sebab kewajiban Anda adalah melaksanakan tugas ketentaraan. Oleh karena itu Anda tidak boleh pergi haji bersama ibu Anda tanpa seizin komandan. Agar lebih berhati-hati, hendaklah seseorang dari mahram ibu Anda menyertainya dalam haji, dan hendaknya Anda memberikan biaya haji untuk mereka berdua jika Anda menghendaki itu. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan sahabatnya.[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 54 - 58. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=473&bagian=0


Artikel Haji Pegawai Dan Polisi Tanpa Seizin Atasan, Tentara Menunaikan Haj Tanpa Seizin Komandannya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Haji Pegawai Dan Polisi Tanpa Seizin Atasan, Tentara Menunaikan Haj Tanpa Seizin Komandannya.

Hukum Menggunakan Istilah Jahiliyah Terhadap Masyarakat Muslim

Kumpulan Artikel Islami

Hukum Menggunakan Istilah Jahiliyah Terhadap Masyarakat Muslim Hukum Menggunakan Istilah Jahiliyah Terhadap Masyarakat Muslim

Kategori Siyasi Wal Fikri

Senin, 17 Mei 2004 09:10:15 WIBHUKUM MENGGUNAKAN ISTILAH JAHILIYAH TERHADAP MASYARAKAT MUSLIMOlehFadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

>> Pertanyaan :Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Ada sebagian orang yang menggunakan istilah jahiliyah bagi masyarakat Islam yang terdapat kerusakan di dalamnya. Dan penggunaan istilah ini memberi konsekuensi negatif sebagaimana yang Anda ketahui. Bagaimanakah bimbingan yang benar dalam masalah ini Jawaban.Jahiliyah secara umum telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walillahil hamd. Beliau datang dengan membawa cahaya Islam, pelita ilmu dan hidayah yang akan terus ada dan bertahan hingga akhir zaman. Tidak ada lagi masalah jahiliyah secara umum setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi akan masih tetap ada sisa-sisa jahiliyah dalam hal-hal tertentu dan jahiliyah yang dilakukan oleh sebagian oknum. Adapun jahiliyah secara umum telah berakhir seiring dengan diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan kembali hingga datangnya hari Kiamat.Adapun sifat-sifat jahiliyah yang dilakukan oleh sebagian orang atau jama'ah atau sebagian anggota masyarakat memang masih ada, namun hal itu termasuk jahiliyah dalam ruang lingkup khusus bagi yang melakukannya.Dengan demikian tidak boleh menggunakan istilah jahiliyah secara umum sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam buku Iqtidha Shiratul Mustaqim.Pertanyaan.Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Setelah diselidiki ternyata orang yang menggunakan istilah jahiliyah terhadap masyarakat Islam ialah untuk mengkafirkan masyarakat Islam tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemberontakan, bagaimanakah komentar Anda Jawaban.Tidak semua orang boleh menjatuhkan vonis kafir atau berkomentar tentang vonis kafir terhadap individu ataupun kelompok tertentu. Pengkafiran memiliki batasan-batasan yang perlu diperhatikan. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-Islaman maka ia dihukumi kafir. Pembatal-pembatal ke-Islaman itu sudah diketahui secara luas dan yang paling besar adalah syirik, mengaku tahu perkara ghaib, berhukum dengan selain hukum Allah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman."Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [Al-Maidah : 44]Masalah pengkafiran ini sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkannya terhadap orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar'i dan ahli ilmu yang mapan ilmunya, yang mengetahui Dienul Islam dan pembatal-pembatalnya, mengetahui situasi-situasi dan kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berwenang menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir terhadap siapapun baik pribadi, masyarakat ataupun negara. Karena mereka tidak ahli dalam masalah ini.[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 68-70 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=727&bagian=0


Artikel Hukum Menggunakan Istilah Jahiliyah Terhadap Masyarakat Muslim diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Menggunakan Istilah Jahiliyah Terhadap Masyarakat Muslim.