Senin, 26 Mei 2008

Mendahulukan Thawaf Ifadhah Sebelum Melontar Atau Sebelum Wukuf Dan Hukum Memisahkan Putaran Thawaf

Kumpulan Artikel Islami

Mendahulukan Thawaf Ifadhah Sebelum Melontar Atau Sebelum Wukuf Dan Hukum Memisahkan Putaran Thawaf Mendahulukan Thawaf Ifadhah Sebelum Melontar Atau Sebelum Wukuf Dan Hukum Memisahkan Putaran Thawaf

Kategori Hajji Dan Umrah

Rabu, 21 Desember 2005 06:21:40 WIBMENDAHULUKAN THAWAF IFADHAH SEBELUM MELONTAR ATAU SEBELUM WUKUFOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh mendahulukan thawaf ifadhah dan sa'i sebelum melontar jumrah 'aqabah atau sebelum wukuf di Arafah Mohon penjelasan.JawabanBoleh mendahulukan thawaf dan sa'i haji sebelum melontar jumrah, tapi tidak boleh melakukan thawaf ifadhah sebelum wukuf di Arafah atau sebelum tengah malam Idul Adha. Namun jika seseorang bertolak dari Arafah dan singgah di Muzdalifah pada malam Idul Adha maka dia boleh thawaf dan sa'i pada paruh kedua malam Idul Adha atau pada hari Idul Adha sebelum melontar jumrah. Sebab dalam hadits disebutkan."Artinya : Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata : 'Saya thawaf ifadhah sebelum melontar ' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Tidak mengapa'. [Hadits Riwayat Darimi dan Ibnu Hibban]Dan jika seseorang meninggalkan Muzdalifah pada hari Idul Adha atau pada akhir malam Idul Adha seperti kaum wanita dan yang seperti mereka, maka mereka boleh memulai thawaf jika wanita tidak haidh sebelum thawaf ifadhah. Demikian juga jika laki-laki yang lemah, jika dia memulai thawaf kemudian baru melontar maka tiada berdosa. Tapi yang utama adalah melontar, kemudian menyembelih kurban jika dia mempunyai kurban, kemudian mencukur habis atau memotong rambut tapi mencukur habis lebih utama, kemudian thawaf ifadhah seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melontar jumrah pada hari Id, kemudian memakai parfum, kemudian naik unta ke Mekkah untuk thawaf. Tapi jika seseorang mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain, seperti menyembelih kurban, atau mencukur habis sebelum menyembelih kurban sebelum melontar, atau mencukur habis sebelum menyembelih kurban, atau mencukur sebelum melontar, atau thawaf sebelum melontar, atau thawaf sebelum menyembelih kurban, atau thawaf sebelum mencukur, maka masing-masing tersebut telah mencukupi. Sebab ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang mendahulukan dan mengakhirkan maka beliau bersabda : "Tidak mengapa, tidak mengapa"MENGAKHIRKAN THAWAF IFADHAH DAN MEMISAHKAN ANTARA SATU PUTARAN THAWAF DENGAN PUTARAN BERIKUTNYAOlehSyaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-JibrinPertanyaanSyaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah boleh mengakhirkan thawaf ifadhah bersama thawaf wada. Dan apakah bagi orang yang haji boleh memisahkan antara tujuh putaran thawaf dengan minum air atau yang lainnya JawabanBoleh mengakhirkan thawaf ifadhah karena takut berdesakan dan yang sepertinya. Maka seseorang ketika keluar ke Baitullah dengan niat thawaf ifadhah dan sekaligus thawaf wada', maka demikian itu telah cukup baginya. Lalu dia langsung keluar setelah thawaf. Dengan demikian maka dibenarkan baginya karena telah menjadikan akhir ibadahnya dengan thawaf di Baitullah. Namun yang utama adalah melaksanakan thawaf ifadhah pada hari 'Id atau hari-hari tasyriq. Tapi juga boleh mengakhirkannya dari waktu tersebut.Adapun memisahkan antara satu putaran thawaf dengan putaran thawaf berikutnya maka demikian itu diperbolehkan jika hanya dalam waktu sebentar, seperti untuk memperbaharui wudhu, atau minum air, atau shalat wajib, atau shalat jenazah, dan lain-lain. Tapi jika waktu memisahkan dalam tempo panjang tanpa sebab sampai setengah jam atau lebih, maka menurut pendapat yang shahih adalah membatalkan putaran thawaf yang telah dilakukan sebelumnya. Maka dia harus memulai thawaf dari awal lagi. Dan demikian itu juga dikatakan dalam masalah sa'i antara Shafa dan Marwah. Wallahu 'alam.THAWAF IFADHAH DILAKUKAN BERSAMA THAWAF WADA'OlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang mengakhirkan thawaf ifadhah kepada thawaf wada' dan menjadikan dalam satu thawaf dengan niat thawaf ifadhah dan thawaf wada' sekaligus Dan apakah boleh melaksanakan thawaf ifadhah pada waktu malam JawabanTiada dosa dalam demikian itu. Jika seseorang telah melaksanakan semua amal haji maka ketika dia telah thawaf ifadhah sudah cukup baginya dari thawaf wada', baik dia niat thawaf wada' bersama thawaf ifadhah ataupun tidak. Maksudnya, jika seseorang ingin meninggalkan Mekkah setelah melaksanakan semua amal haji maka sudah cukup baginya dengan hanya thawaf ifadhah. Dan jika diniatkan untuk thawaf ifadhah sekaligus thawaf wada maka tiada dosa dalam demikian itu. Sedangkan pelaksanaan thawaf ifadhah ataupun thawaf wada' maka boleh pada malam hari maupun pada siang hari.[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 159-164, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1704&bagian=0


Artikel Mendahulukan Thawaf Ifadhah Sebelum Melontar Atau Sebelum Wukuf Dan Hukum Memisahkan Putaran Thawaf diambil dari http://www.asofwah.or.id
Mendahulukan Thawaf Ifadhah Sebelum Melontar Atau Sebelum Wukuf Dan Hukum Memisahkan Putaran Thawaf.

Jin Dapat Memasuki Tubuh Manusia dan Menyetubuhinya

Kumpulan Artikel Islami

Jin Dapat Memasuki Tubuh Manusia dan Menyetubuhinya

>> Pertanyaan :

Apakah benar bahwa jin bisa masuk dalam tubuh manusia Dan apakahmungkin jin menyetubuhi manusia?

>> Jawaban :

Sebagian jin bisa merubah wujudnya kepada manusia dalam wujud wanitakemudian manusia menyetubuhinya. Demikian pula jin berubah wujudmenjadi seorang pria dan menyetubuhi wanita dari ma-nusia, sebagaimanalaki-laki menyetubuhi wanita. Solusi atas hal itu ialah membentengidiri dari mereka, baik laki-laki maupun perempuan, dengan doa-doa danwirid-wirid yang ma'tsur, membaca ayat-ayat yang mencakup pemeliharaandan penjagaan dari mereka dengan seizin Allah. Fakta menunjukkan bahwajin merasuki wanita manusia dan ruhnya mendominasi ruh wanita ini,sedangkan jin perempuan meraski pria manusia dan ruhnya mendominasiruh pria ini, sehingga ketika dipukul maka ia tidak merasakan pukulantersebut kecuali jin yang me-rasuki itu. Ketika jin itu keluar danorang tersebut ditanya, maka ia tidak ingat apa yang telah terjadipadanya, apa yang dikatakan kepadanya atau ditanyakan kepadanya, tidakmerasakan pukulan dan rasa sakit. Ada dari kalangan pembaca al-Qur'anyang membunuh jin yang merasuki manusia dengan bacaan al-Qur'an atauobat-obatan. Mereka mengetahui tempat bersarangnya jin ini, dan inidikenal dikalangan ahli ruqyah yang masyhur dengan pengobatan akibatgangguan jin dan sejenisnya.

Fatwa Syaikh Abdullah al-Jibrin yang ditandatanganinya

Artikel Jin Dapat Memasuki Tubuh Manusia dan Menyetubuhinya diambil dari http://www.asofwah.or.id
Jin Dapat Memasuki Tubuh Manusia dan Menyetubuhinya.

Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadhan

Kumpulan Artikel Islami

Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadhan Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadhan

Kategori Puasa - Fiqih Puasa

Senin, 18 Oktober 2004 14:17:47 WIBBILA WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHANOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Wanita yang sedang hamil atau menyusui yang khawatir pada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, lalu karena itu ia tidak berpuasa, apa yang harus ia lakukan nantinya. Apakah ia harus mengqadha serta memberi makan pada orang miskin, atau ia harus mengqadha saja tanpa perlu memberi makan kepada orang miskin, ataukah cukup baginya untuk memberi makan tanpa perlu mengqadha puasanya Manakah yang benar diantara ketiga hal itu JawabanJika wanita hamil itu khawatir kepada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya saja. Statusnya saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk berpuasa atau takut akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajib baginya berpuasa], sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [ Al-Baqarah : 185]Begitu juga halnya wanita yang menyusui, jika ia khawatir pada dirinya bila menyusui anaknya sambil berpuasa di bulan Ramadhan, atau khawatir pada anaknya jika ia berpuasa lalu tidak dapat menyusui, maka boleh baginya berbuka, dan wajib baginya mengqadha saja.[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 14, halaman 109-110]TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN KARENA HAMIL KEMUDIAN BERPUASA SEBULAN PENUH SEBAGAI PENGGANTINYA DAN BERSEDEKAH PULAOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Saya hamil di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa, dan sebagai pengantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah, kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan sehari demi sehari selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah .JawabanJika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman."Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah baginya berpusa], sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yag lain" [Al-Baqarah : 185][Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1113&bagian=0


Artikel Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadhan diambil dari http://www.asofwah.or.id
Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadhan.

Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu 1/2

Kumpulan Artikel Islami

Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu 1/2 Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu 1/2

Kategori Demokrasi Dan Politik

Selasa, 23 Maret 2004 21:40:47 WIBNASH FAKS SYAIKH AL-ALBANI KEPADA PARTAI FIS ALJAZAIRPenulisSyaikh Abdul Malik Ramadlan Al-JazairyBagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]BismillahirrahmanirrahimSegala puji hanya bagi Allah semata, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kami dan dari keburukan amal kami. Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah niscaya tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya niscaya tiada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tiadailah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.Amma ba'du,Kepada Lajnah Dakwah Dan Bimbingan Massa Partai FISWa `alaikum salam wa rahmatullah wa barakaatuhuWa ba'du,Pagi hari ini, Selasa 18 Jumadil Akhir 1412 H, saya telah menerima surat yang kalian kirimkan melalui faks. Saya telah membacanya dan telah memahami pertanyaan-pertanyaar seputar pemilu yang menurut kalian akan dilaksanakan pada hari Kamis, yakni besok lusa. Kalian berharap agar saya segera memberikan jawaban. Maka dari itu, saya bergegas rnenuliskan jawabannya pada malam Rabu agar bisa selekas mungkin dikirimkan kepada kalian melalui faks esok harinya insya Allah. Saya menyampaikan terima kasih karena kalian telah berbaik sangka kepada kami dan atas pujian kalian yang sebenarnya tidak layak kami terima. Saya memohon kepada Allah semoga kalian diberi taufik dalam berdakwah dan dalam memberi bimhingan kepada umat.Sekarang, inilah jawaban saya terhadap pertanyaan kalian sesuai kemudahan yang telah Allah berikan kepada saya dengan mengharap petunjuk Allah, semoga saya ditunjukkan jalan yang benar dalam memberikan jawaban ini:Pertanyaan pertama: Bagaimana hukum syar'i mengenai pemilu [parlemen] yang akan kami ikuti dalam rangka usaha mendirikan negara Islam atau khilafah Islam?

>> Jawaban : Suasana paling membahagiakan kaum muslimin di negeri mereka ialah ketika bendera Laa Ilaaha Illallah dikibarkan dan hukum Allah dijalankan. Sudah barang tentu setiap muslim menurut kemampuan masing-masing harus berjuang menegakkan negara Islam yang berdasarkan hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya menurut manhaj Salafus Shalih. Sudah diyakini oleh setiap cendekiawan muslim bahwa hal itu hanya bisa diwujudkan dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.Sebagai langkah pertama, para ulama hendaklah melaksanakan dua perkara penting berikut ini:Pertama, Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada kaum muslimin di lingkungannya. Alternatif satu-satunya adalah membersihkan ilmu yang mereka warisi dari para pendahulu dari segala bentuk syirik dan ajaran paganisme yang telah membuat mayoritas umat Islam sekarang tidak lagi memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah. Kalimat thayyibah ini memberi konseksuensi wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepada-Nya semata tiada sekutu bagi-Nya. Tidak meminta bantuan kecuali kepada-Nya, tidak menyembelih kecuali untuk-Nya dan tidak bernadzar kecuali karena- Nya. Dan menyembah-Nya hanya dengan tata-cara yang telah disyariatkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya, itulah konsekuensi kalimat syahadat Muhammadur Rasulullah.Sebagai konsekuensinya, para ulama harus membersihkan kitab-kitab fiqih dari pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad yang bertentangan dengan sunnah Nabi, agar ibadah mereka diterima oleh Allah. Mereka juga harus membersihkan sunnah Nabi dari hadits-hadits dhaif dan maudlu' yang sejak dahulu telah disusupkan ke dalamnya. Mereka juga harus membersihkan tingkah laku dan etika menyimpang yang terdapat dalam ajaran tarikat-tarikat sufi, misalnya berlebih-lebihan dalam ibadah dan kezuhudan dan masalah-masalah lain yang bertentangan dengan ilmu yang benar.Kedua, hendaklah mereka mendidik diri sendiri, keluarga dan kaum muslimin di lingkungan mereka dengan ilmu yang benar. Dengan demikian, ilmu mereka akan berguna dan amal mereka akan menjadi amal yang shalih, seperti yang difirmankan Allah:â€Å"Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa". Barangsiapa rnengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya ". [ Al-Kahfi : 110]Bila terdapat segolongan kaum muslimin yang melaksanakan gerakan tashfiyah dan tarbiyah yang disyariatkan ini, niscaya tidak akan ada lagi di tengah mereka orang-orang yang mencampuradukkan cara-cara syirik dengan cara-cara syar'i. Karena mereka memahami hahwa Rasulullah telah membawa syariat yang paripurna, lengkap dengan pedoman dan wasilahnya.Salah satu pedoman tersebut adalah larangan menyerupai orang- orang kafir, misalnya mengambil metode dan sistem mereka yang sejalan dengan tradisi dan adat mereka. Sebagai contoh, memilih pemimpin dan para anggota parlemen melalui pemungutan suara. Cara-cara seperti ini sejalan dengan kekufuran dan kejahilan mereka yang tidak lagi membedakan antara keimanan dan kekufuran, antara yang baik dan yang buruk, antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah telah berfirman:â€Å"Artinya : Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa [orang kafir] Mengapa kamu [berbuat demikian]; bagaimanakah kamu mengambil keputusan” [Al-Qalam 35-36]Dan Allah berfirman:"Artinya : Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan ". [Ali Imran 36]Demikian pula, mereka mengetahui bahwa dalam usaha menegakkan negara Islam, Rasulullah sawt shalallahu 'alaihi wasallam mengawalinya dengan dakwah tauhid dan memperingatkan mereka dari penyembahan-penyembahan thaghut. Lalu membimbing orang-orang yang menyambut dakwah beliau di atas hukum-hukum syar'i, sehingga kaum muslimin merasa bagaikan tubuh yang satu. Bila salah satu anggota tubuh merasa sakit maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak dapat tidur. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih. Tidak ada lagi di tengah mereka orang-orang yang terus-menerus melakukan dosa besar; riba, zina dan mencuri kecuali segelintir orang saja.Barangsiapa benar-benar ingin mendirikan negara Islam, jangan-lah ia mengumpulkan massa yang pemikiran dan perilakunya saling bertentangan satu sama lain, seperti yang dilakukan oleh partai-partai Islam dewasa ini. Namun terlebih dahulu harus menyatukan pemikiran dan paham mereka di atas prinsip Islam yang benar, yakni berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih seperti yang telah diuraikan di atas, saat itulah berlaku firman Allah:â€Å"Artinya : Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, dengan pertolongan Allah” [ Ar- Ruum : 4-5]Siapa saja yang menyimpang dari metode tersebut dalam mendirikan negara Islam dan mengikuti metode orang kafir dalam mendirikan negara mereka, maka perumpamaannya seperti orang yang berlindung dengan pasir yang mendidih dari panasnya api! Cara semacam itu jelas salah -jika tidak boleh disebut dosa- karena menyalahi petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan tidak menjadikan beliau sebagai contoh teladan. Sedang Allah berfirman:â€Å"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahrnat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al-Ahzab : 21]Pertanyaan kedua: Bagaimana menurut hukum syar'i mengenai bantuan dan dukungan yang diberikan untuk kegiatan pemilu?

>> Jawaban : Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukurn Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya.Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih belum tiba waktu untuk melakukan perubahan! Itulah realita yang kami lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen rnulai menanggalkan ciri dan identitas keislamannya dan berpenampilan ala barat supaya tidak canggung dengan anggota-anggota parlemen lainnya. la masuk parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, tapi malahan ia sendiri yang rusak. Hujan itu pada awalnya rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan lebat!"Oleh karena itu, kami tidak menyarankan siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen.Namun menurut saya, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, saya sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.Demikianlah menurut pendapat saya, sekalipun saya meyakini bahwa pencalonan diri dan keikutsertaan dalam proses pemilu tidaklah bisa mewujudkan tujuan yang diinginkan, seperti yang diuraikan di atas. Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan, sebagaimana yang telah digariskan oleh ahli fiqh.[Disalin dari buku Madariku An-Nazhar Fi As-Siyasah, Baina Ath-Thabbiqaat Asy-Syar’iyah Wa Al-Ihfiaalat Al-Hamaasiyyah, Penulis Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia Bolehkah Berpolitik , hal 40-50]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=526&bagian=0


Artikel Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu 1/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu 1/2.

Menikahi Wanita Suka Bersolek Dan Menolak Perintah Hijab, Namun Ada Suami Justru Menyuruh Buka Hijab

Kumpulan Artikel Islami

Menikahi Wanita Suka Bersolek Dan Menolak Perintah Hijab, Namun Ada Suami Justru Menyuruh Buka Hijab Menikahi Wanita Suka Bersolek Dan Menolak Perintah Hijab, Namun Ada Suami Justru Menyuruh Buka Hijab

Kategori Keluarga

Minggu, 18 September 2005 08:18:54 WIBSEORANG LELAKI MENIKAHI WANITA YANG SUKA BERSOLEK, SETELAH MENASEHATINYA MAKA IA MENTAATI SEBAGIAN SYARI’AT DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBANOlehLajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal IftaPertanyaanLajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ada seorang laki-laki yang menikahi wanita muslimah yang masih suka bersolek. Ia menasehatinya untuk melaksanakan syari’at Allah, khususnya perintah untuk mengenakan hijab. Ia melaksanakan beberapa ajakan tapi ia menolak perintah untuk berhijab. Bagaimana seharusnya laki-laki tersebut berbuat terhadapnya Apakah diwajibkan atasnya untuk mentalak istrinya Apabila tidak wajib baginya untuk mentalaknya, apakah ia turut menanggung dosa perbuatannya Mengingat bahwa setiap orang akan diperhitungkan berdasarkan amal perbuatannya, sementara ada hadits yang menyebutkan :â€Å"Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”Mohon penjelasan memahami dua hal diatas !JawabanWajib baginya untuk memerintahkan istrinya berhijab, karena hijab hukumnya wajib. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengajaknya hingga ia mau mengenakannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di rumah tangganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya terhadap istrinya. Apabila ia bertakwa kepada Allah dan bersabar niscaya Allah akan mudahkan perkaranya dan memberi keberkahan kepada perbuatannya, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’alaâ€Å"Artinya : Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” [Ath-Thalaq : 4][Majjalatul Buhuts Al-Islamiyah, 19/157]WANITA YANG DIPERINTAHKAN SUAMINYA UNTUK MEMBUKA HIJABNYA DI DEPAN SAUDARA-SAUDARA SUAMINYA, APABILA TIDAK DEMIKIAN MAKA IA AKAN MENTALAKNYAOlehSyaikh Abdul Aziz bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya baru saja menikah dengan seorang laki-laki dan setelah menikah, ia menyuruh saya untuk membuka hijab, di depan saudara laki-lakinya jika tidak maka dia akan mentalak saya, apa yang harus saya lakukan, sedangkan saya tidak ingin di talak JawabanTidaklah boleh seorang laki-laki menggampangkan bagi istrinya untuk membuka hijab di depan laki-laki lain dan tidaklah pantas ia bersikap lemah dan terlalu meremehkan kepada keluarganya sampai berani menyuruh istrinya membuka hijab di depan saudara laki-lakinya, paman-pamannya, suami-suami adik iparnya, saudara-saudara sepupunya dan lain sebagainya yang bukan mahram bagi istrinya itu.Maka yang demikian tidaklah boleh dan istrinya inipun tidak boleh taat kepadanya, karena taat hanya di dalam perkara yang baik, dan tetap wajib bagi si istri untuk memakai hijab dan menutup auratnya, walaupun diancam akan ditalak. Jika memang dia ditalak, maka Allah memberikan jodoh yang lebih baik, dari pada suaminya itu. Insya Allah. Karena Allah berfirmanâ€Å"Artinya : Dan jika mereka bercerai, maka Allah lah yang akan memberikan kecukupan kepada masing-masing karunianya” [An-Nisa : 130]Dan diriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.â€Å"Artinya : Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah memberikan ganti yang lebih baik daripada itu”Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pulaâ€Å"Artinya : Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah akan memberikan kemudahan di dalam urusannya” [Ath-Thalaq : 4]Dan tidak boleh bagi suaminya itu mengancam dirinya dengan talak karena ia memakai hijab dan menjalankan ketentuan-ketentuan perbuatan untuk menjaga diri dan keselamatan. Semoga Allah melindungi kita[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1580&bagian=0


Artikel Menikahi Wanita Suka Bersolek Dan Menolak Perintah Hijab, Namun Ada Suami Justru Menyuruh Buka Hijab diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menikahi Wanita Suka Bersolek Dan Menolak Perintah Hijab, Namun Ada Suami Justru Menyuruh Buka Hijab.

Pengertian Tentang Berbuat Baik Dan Durhaka

Kumpulan Artikel Islami

Pengertian Tentang Berbuat Baik Dan Durhaka Pengertian Tentang Berbuat Baik Dan Durhaka

Kategori Birrul Walidain

Selasa, 2 Maret 2004 06:44:06 WIBPENGERTIAN TENTANG BERBUAT BAIK DAN DURHAKA-OlehUstadz Yazid bin Abdul Qadir JawasKATA PENGANTARBuku kecil ini pada asalnya adalah kajian yang penulis sampaikan dalam satu muhadlarah di Bogor dengan tema 'Berbakti Kepada Kedua Orang Tua', kemudian banyak permintaan dari hadirin agar dibukukan untuk dapat dibaca oleh kaum muslimin agar lebih bermanfaat. Alhamdulillah, dengan rahmat Allah Subhnahu wa Ta'ala, Allah mudahkan penulis untuk melengkapi dalil-dalilnya dari Al-qur'an dan hadits-hadits yang shahih.Penulis mengangkat tema ini, karena banyak sekali di masyarakat anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, tidak menghargai orang tua, melecehkan orang tua, bahkan ada yang mencaci maki dan memukul orang tuanya, na'udzubillah min dzalik. Padahal, apabila 'Si Anak' ini menyadari, orang tua lah yang melahirkan, mengurus, memberikan nafkah, mendidik dan membesarkan dia sampai dia dewasa, karena itu kewajiban 'Si Anak' adalah taat kepada orang tua dan harus memenuhi hak orang tua dengan mematuhi perintah dan taat kepadanya.Jadi bahasan tentang berbakti kepada kedua orang tua adalah pembahasan yang amat penting setelah masalah tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Banyak hak yang harus dipenuhi oleh manusia, pertama hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, kedua hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ketiga adalah hak kedua orang tua kemudian hak-hak lainnya.Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya adalah mentauhidkanNya, beribadah kepadaNya dan meninggalkan segala bentuk keyakinan, perkataan dan perbuatan syirik. Dari Mua'dz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu."Artinya : Aku pernah dibonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diatas seekor keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, "Hai Mua'dz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hambaNya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah " Aku menjawab, "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Beliaupun bersabda , "Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hambanya ialah supaya mereka beribadah kepadaNya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepadaNya, sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepadaNya" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]Hak-hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus dipenuhi oleh umat Islam adalah taat kepadanya, menjauhkan semua larangannya dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti [ittiba'] yang dicontohkannya. Karena beliau diutus untuk ditaati dan diteladani."Artinya : Katakanlah : "Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran : 31]"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab : 21]Islam juga sangat memperhatikan hak-hak orang tua dan kerabat, sehingga kita ditekankan untuk mengamalkannya dengan baik terutama hak-hak orang tua, karena mereka telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan kita sehingga kita menjadi manusia yang berguna. Oleh karena itu kita wajib berbakti kepada kedua orang tua degan cara mentaati, menghormati, mencintai, menyayangi, membahagiakan serta mendo'akan keduanya ketika keduanya masih hidup maupun sudah meninggal dunia.Taat kepada kedua orang tua adalah hak orang tua atas anak sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya selama keduanya tidak memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dan syari'at Allah dan RasulNya. Rasulullahn Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Tidak boleh taat kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah" [Hadits Riwayat Ahmad]Sebaliknya, kita juga dilarang durhaka kepada kedua orang tua karena hal itu termasuk dosa besar yang paling besar. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seseorang tidak masuk surga bila durhaka kepada kedua orang tuanya."Artinya : Tidak masuk surga orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan [menyebut-nyebut kebaikan yang sudah diberikan], anak yang durhaka dan pecandu khamr" [Hadits Riwayat Nasa'i adri Abdullah bin Amr pada Shahih Jami'us Shaghir No. 7676]Akhirnya, penulis memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Kuasa semoga tulisan ini bermanfaat untuk penulis sendiri dan kaum muslimin, menjadi amal shalih bagi penulis dan kedua orang tua penulis serta menjadi amal yang ikhlas karena Allah Rabbul 'alamin semata.Alhamdulillahirabbil 'alaminYazid bin Abdul Qadir JawasPENDAHULUANBirrul Walidian [berbakti kepada kedua orang tua] adalah salah satu masalah yang penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur'an, setelah memerintahkan kepada manusia untuk bertahuid kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.Dalam surat Al-Isra ayat 23-24, Allah berfirman."Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23]"Artinya : Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24]Al-Hafidz Ibnu Katsir telah menerangkan ayat tersebut sebagai berikut :"Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada semua manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak menyekutukan dengan yang lain. " Qadla" disini bermakna perintah sebagaimana yang dikatakan Imam Mujahid, wa qadla yakni washa [Allah berwasiat]. Kemudian dilanjutkan dengan "Wabil waalidaini ihsana" hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Ayat ini mempunyai makna yang sama dengan surat Luqman ayat 14."Artinya : .... hendaklah kalian bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan kepada-Ku lah kalian kembali"Dan jika salah satu dari keduanya atau keduanya berada disisimu dalam keadaan lanjut usia, "fa laa taqul lahuma uffin" maka janganlah berkata kepada keduanya 'ah' ['cis' atau yang lainnya]. Jangan memperdengarkan kepada keduanya perkataan yang buruk. "Wa laa tanharhuma" dan janganlah kalian membenci keduanya. Ada juga yang mengatakan bahwa "Wa laa tanhar huma ai la tanfudz yadaka alaihima" maksudnya adalah janganlah kalian mengibaskan tangan kepada keduanya. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang perkataan dan perbuatan yang buruk, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan untuk berbuat dan berkata yang baik. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala " wa qul lahuma qaulan karima" dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yaitu perkataan yang lembut dan baik dengan penuh adab dan rasa hormat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan kasih sayang, hendaklah kalian bertawadlu' kepada keduanya. Dan hendaklah kalian berdo'a, "Ya Allah sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi dan mendidiku di waktu kecil", pada waktu mereka berada di usia lanjut hingga keduanya wafat. [Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal 39-40, Cet.I Maktabah Daarus Salam Riyadh, Th.1413H]Perintah Birrul Walidain juga tercantum dalam surat An-Nisa ayat 36, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman."Artinya : Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat kepada anak-anak yatim kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya" [An-Nisa : 36]Para ulama terdahulu telah membahas masalah Birrul Walidain [berbakti kepada kedua orang tua] ini dalam kitab-kitab mereka. Sepeti dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits besar [Ummahatul Kutub] lainnya dalam pembahasan tentang berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman terhadap orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tua.PENGERTIAN TENTANG BERBUAT BAIK DAN DURHAKAMenururt lughoh [bahasa], Al-Ihsan berasal dari kata ahsana-yuhsinu-ihsanan. Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan terhadapa keduanya. Menurut Ibnu Athiyah, kita wajib juga mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang.Sedang 'uquq artinya memotong [seperti halnya aqiqah yaitu memotong kambing]. 'Uququl Walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orang tuanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya yang berupa perkataan yaitu dengan mengatakan 'ah' atau 'cis', berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci dan yang lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak memperdulikan, tidak bersilaturrahmi atau tidak memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=343&bagian=0


Artikel Pengertian Tentang Berbuat Baik Dan Durhaka diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pengertian Tentang Berbuat Baik Dan Durhaka.

Pengertian Aqiqah, Dalil Syari Tentang Aqiqah, Hukum Aqiqah

Kumpulan Artikel Islami

Pengertian Aqiqah, Dalil Syari Tentang Aqiqah, Hukum Aqiqah Pengertian Aqiqah, Dalil Syari Tentang Aqiqah, Hukum Aqiqah

Kategori Kurban Dan Aqiqah

Jumat, 25 Juni 2004 14:14:56 WIBAHKAMUL AQIQAHOlehAbu Muhammad 'Ishom bin Mar'iBagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2][A]. PENGERTIAN AQIQAHImam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya â€Å"Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah â€Å"Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata :â€Å"Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih [An-Nasikah].[B]. DALIL-DALIL SYAR'I TENTANG AQIQAHHadist No.1 :Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : â€Å"Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari [5472], untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari [9/590-592], dan Irwaul Ghalil [1171], Syaikh Albani]Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari [9/593] dan Nailul Authar [5/35], Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]Hadist No.2 :Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : â€Å"Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan [kambing], diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]Hadist No.3 :Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : â€Å"Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad [2/31, 158, 251], Tirmidzi [1513], Ibnu Majah [3163], dengan sanad hasan]Hadist No.4 :Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : â€Å"Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud [2841] Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa [912] Thabrani [11/316] dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]Hadist No.5 :Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : â€Å"Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih [kambing] karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud [2843], Nasa’I [7/162-163], Ahmad [2286, 3176] dan Abdur Razaq [4/330], dan shahihkan oleh al-Hakim [4/238]]Hadist No.6 :Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : â€Å"Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad [6/390], Thabrani dalam â€Å"Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi [9/304] dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.[C]. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAHHUKUM AQIQAH SUNNAHAl-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar [6/213] : â€Å"Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : â€Å"….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID'AHKAN AQIAHIbnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa : â€Å"Orang-orang ‘Aqlaniyyun [orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen] mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit [shahih] dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya â€Å"Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam â€Å"Fathul Bari” [9/588]].WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUHBerdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya â€Å"Fathul Bari” [9/594] :â€Å"Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ [hadist no.2], ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : â€Å"Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya â€Å"Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya â€Å"al-Muhalla” 7/527.Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab â€Å"As-Shagir” [1/256] dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :â€Å"Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : â€Å"Dia [Ismail] seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ [9/594].” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]BERSEDEKAH DENGAN DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUTSyaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : â€Å"Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut [bersedekah dengan perak], seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRISebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa". Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : â€Å"Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq [4/326] dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu [tidak ada waktu lain] yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBINGBerdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. "Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam â€Å"Fathul Bari” [9/592] : â€Å"Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”Imam Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya â€Å"Subulus Salam” [4/1427] mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : â€Å"Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.”Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya â€Å"Raudhatun Nadiyyah” [2/26] berkata : â€Å"Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing.”Penulis berkata : â€Å"Ketetapan ini [bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing] tidak diragukan lagi kebenarannya.”BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBINGBerdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya â€Å"Fathul Bari” [9/592] : â€Å"…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit [shahih], tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….”Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.[Disalin dan diringkas kembali dari kitab â€Å"Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul â€Å"Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=856&bagian=0


Artikel Pengertian Aqiqah, Dalil Syari Tentang Aqiqah, Hukum Aqiqah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Pengertian Aqiqah, Dalil Syari Tentang Aqiqah, Hukum Aqiqah.

Hukumnya Berbeda, Tergantung Kepada Perbedaan jenisIddah

Kumpulan Artikel Islami

Hukumnya Berbeda, Tergantung Kepada Perbedaan jenisIddah

>> Pertanyaan :

Apakah boleh bagi seorang perempuan melakukan kewajiban haji,sedangkan ia masih dalam masa iddah setelah suaminya meninggal ataudalam masa iddah thalak. Yang jelas, dalam masa iddah secara umum,baik iddah thalak atau cerai?

>> Jawaban :

Bagi wanita yang masih dalam keadaan iddah karena suaminya meninggalmaka ia tidak boleh keluar rumah atau melakukan perjalanan jauh untukberibadah haji sebelum masa iddahnya habis. Sebab, ia wajib menunggudi rumah, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,

Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan me-ninggalkanistri-istri [hendaklah istri itu] menangguhkan dirinya [beriddah]empat bulan sepuluh hari. [Al-Baqarah 234].

Oleh karena itu ia wajib menunggu di rumahnya hingga masa iddahnyaberakhir.

Adapun wanita yang beriddah disebabkan selain kematian suami, makahukumnya sebagai berikut:

1. Karena thalak raji [suami boleh merujuk], status hukumnya adalahstatus sebagai istri, maka ia tidak boleh melakukan safar kecualiseizin suami; dan suami tidak apa-apa memberikan izin kepadanya untukmenunaikan ibadah haji, akan tetapi ia harus didampingi oleh seorangmahrom.

2. Karena thalak bain [thalak selama-lamanya], hukumnya pun sama, iaharus tinggal di rumah. Akan tetapi ia boleh menunaikan ibadah hajiapabila suami menyetujuinya, karena sang suami masih mempunyai hak didalam masa iddah itu. Maka apabila sang suami mengizin-kannya keluar,hal itu tidak mengapa.

Kesimpulannya, wanita yang masih dalam masa iddah karena suaminyameninggal wajib tinggal di rumah dan tidak boleh keluar. Sedangkanwanita yang beriddah karena thalak raji maka masalahnya tergantungkepada suami, karena statusnya masih sebagai istri. Sedang-kan wanitayang beriddah karena thalak bain, ia mempunyai hak lebih banyakdaripada wanita yang dithalak raji, namun sekalipun demikian sangsuami mempunyai hak demi melarangnya untuk menjaga kehormataniddahnya.

[ Fawaid wa fatawa tahummul marah al-Muslimah, hal. 89, oleh IbnuJibrin. ]

Artikel Hukumnya Berbeda, Tergantung Kepada Perbedaan jenisIddah diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukumnya Berbeda, Tergantung Kepada Perbedaan jenisIddah.

Makna Salaf

Kumpulan Artikel Islami

Makna Salaf Makna Salaf

Kategori Aqidah Ahlus Sunnah

Rabu, 13 Oktober 2004 07:21:02 WIBMAKNA SALAFOlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir JawasMenurut bahasa, Salaf artinya ‘nenek moyang’ yang lebih tua dan lebih utama[1]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan "salafu ar-rojuli" = salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]Menurut istilah, kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat [Islam] ini, yang terdiri dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun [generasi/ masa] pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:â€Å"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini [yaitu masa para Shahabat], kemudian yang sesudahnya [masa Tabi’in], kemudian yang sesudahnya [masa Tabi’ut Tabi’in].” [3]Menurut al-Qalsyani: â€Å"Salafush Shalih ialah generasi per-tama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menjaga sunnahnya, Allah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agama-Nya...” [4]Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Islamiyyah baina Salafiyyah wal Mu’tazilah: â€Å"Penetapan istilah Salaf tidak cukup dibatasi waktu, bahkan harus sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih [tentang aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-Pent.]. Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafy meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafy meskipun ia hidup pada zaman Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. [5]Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj [sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya] yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [6]Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah [wafat th. 728 H] [7] berkata : â€Å"Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8][Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]_________Foote Note[1]. Lisanul ‘Arab [VI/331] karya Ibnu Manzhur [wafat th. 711 H] Rahimahullah[2]. Lihat al-Mufassiruun baina Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat [I/11] karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdirrahman al-Maghraawi. Mu-assasah ar-Risalah 1420 H.[3]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhary [no. 2652] dan Muslim [no. 2533 [211]] dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu[4]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat [I/11].[5]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat [I/13-14] dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih hal 34.[6]. Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ [I/63-64] karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf [hal. 21] karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.[7]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdil Halim bin ‘Abdissalam bin ‘Abdillah bin Khidhr bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran [daerah dekat Syiria]. Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdil Hadi [wafat th. 744 H], Syamsuddin adz-Dzahabi [wafat th. 748 H], Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah [wafat th. 751 H], Syam-suddin Ibnu Muflih [wafat th. 763 H] serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir[wafat th. 774 H], penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibni Katsiir.‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau t seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat g tetapi Ahlul Bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara [tahun 728 H]. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau t ke dalam Surga-Nya. [Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145].[8]. Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [IV/149].

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1092&bagian=0


Artikel Makna Salaf diambil dari http://www.asofwah.or.id
Makna Salaf.

Tata Cara Orang Yang Masuk Islam

Kumpulan Artikel Islami

Tata Cara Orang Yang Masuk Islam

>> Pertanyaan :

Sepasang suami isteri ingin masuk Islam, lantas pegawai urusan fatwamenyuruh keduanya membasuh badan [mandi], mengucapkan dua kalimatsyahadat secara sukarela dan penuh penyerahan/kepasrahan diri, danberkhitan [sunatan], dan dia [pegawai tersebut] bertanya apakah halini [cara yang dia lakukan] adalah benar atau tidak . Dia berharapuntuk dituliskan kepadanya perkataan-perkataan Salaf mengenai masalahini serta cara yang dulu biasa dilakukan apabila seorang Kafir masukIslam pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam !?

>> Jawaban :

Sesungguhnya cara/metode Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dalammengajak orang-orang Kafir kedalam Islam adalah mengajak merekabersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya Muhammadadalah utusan/Rasul Allah ; Jika mereka meresponsnya dengan baik,beliau ajak mereka kepada syari'at Islam lainnya berdasarkanurgensinya dan pertimbangan sikonnya. Diantara hadits yang menyebutkanhal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslimdari Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam ketika mengutus Mu'az ke Yaman, beliau bersabdakepadanya : Sesungguhnya engkau mendatangi suatu kaum Ahlul Kitab,maka hendaklah yang pertama engkau lakukan adalah mengajak merekakepada bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah . Dan dalam riwayatyang lain : hingga mereka bertauhid kepada Allah ; jika merekamena'atimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwaAllah telah mewajibkan bagi mereka lima shalat waktu dalam setiap harisemalam; jika mereka mena'atimu dalam hal itu, maka beritahukanlahkepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka membayarzakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka untukdikembalikan/diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka; jikamereka mena'ati hal itu, maka jauhilah/berhati-hatilah terhadapharta-harta yang paling mereka utamakan dan banggakan dan takutlahterhadap doa orang yang dizhalimi karena tiada hijab/pelindung antaradoanya dan Allah . Dan diantaranya lagi adalah hadits lain yangdiriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'd as-Sidi,bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda kepada 'Aliradhiallahu 'anhu ketika beliau akan memberinya panji pada hari perangKhaibar: lakukanlah dengan perlahan hingga engkau turun ke lapanganmenghadapi mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam danberitahukanlah kepada mereka hak Allah yang wajib atas mereka. DemiAllah! sungguh, Allah beri hidayah di tanganmu seorang saja adalahlebih baik bagimu daripada onta merah [barang yang paling berharga danbernilai paling tinggi bagi orang Arab saat itu]. Dalam riwayat yanglain : ..maka ajaklah mereka kepada bersaksi bahwa tiada Tuhanmelainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah . Para Ulamaberbeda pendapat mengenai hukum mandi bagi orang Kafir yang masukIslam [dalam beberapa pendapat-penj] : [i] Hal itu adalah wajib : iniadalah pendapat Imam Malik, Ahmad dan Abu Tsaur rahimahumullah- ;berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan an-Nasai dariQais bin 'Ashim radhiallahu 'anhu- dia berkata : aku telahmendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam untuk masuk Islam, makabeliau memerintahkanku untuk mandi dengan air yang bercampur daunbidara . Jadi, perintah disini adalah mengindikasikan suatu kewajiban.[ii] Hal itu adalah sunnah, kecuali bila telah terjadi padanya jinabah[yang mewajibkan mandi junub] ketika masa kafirnya maka wajib baginyauntuk mandi : ini adalah pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagianpengikut mazhab Hanbali. [iii] Hal itu tidak wajib sama sekali dalamkondisi apapun, bahkan yang disyari'atkan baginya adalah mandiberdasarkan hadits tersebut dan hadits lain yang semakna : ini adalahpendapat Imam Abu Hanifah. Adapun masalah khitan/sunatan, maka hal ituwajib bagi kaum laki-laki dan adalah suatu kehormatan bagi kaum wanita[yang melakukannya], akan tetapi jika ajakan kepada orang yang inginmasuk Islam untuk berkhitan itu ditunda dulu untuk beberapa waktuhingga hatinya mantap dalam Islam dan telah merasa tenteram/tenangmaka hal itu adalah baik, sebab ditakutkan dengan menyutuhnya segeraberkhitan itu justru membuatnya lari dari Islam. Maka berdasarkan halini, apa yang Anda [penanya] suruh untuk dilakukan oleh sepasang suamiisteri tersebut saat masuk Islam adalah benar. Wabillhit Taufiq.Washallallhu 'ala Nabiyyin Muhammad, wa lihi washahbihiwasallam.[Fatw al-Lajnah ad-Dimah lil Buhuts al-'lmiyyah wal Ifta',jld. III, h. 381-383, no. fatwa : 1557].

Artikel Tata Cara Orang Yang Masuk Islam diambil dari http://www.asofwah.or.id
Tata Cara Orang Yang Masuk Islam.

Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf

Kumpulan Artikel Islami

Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf

Kategori Wanita - Darah Wanita

Kamis, 10 Februari 2005 06:25:48 WIBHUKUM-HUKUM HAIDOlehSyaikh Muhammad bin Shaleh Al 'UtsaiminBagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain.[1]. ShalatDiharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu raka'at sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.Contoh pada awal waktu : Seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak saru ra'kaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.Adapaun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Shubuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti : Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat" [Hadits Muttafaq 'alaihi].Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya' .Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu". [Hadits Muttafaq 'alaihi].Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zhuhur dan Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal.70.Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al-Qur'an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur'an.Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid -yakni ke shalat Idul fitri dan Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do'a orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat"Sedangkan membaca Al-Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al-Qur'an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh Al- Muhadzdzab, Juz 2, hal. 372 hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.Adapun jika wanita haid itu membaca Al-Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnul Munzdir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Baari [Juz 1, hal. 408], serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al-Qur'an. Sedangkan pernyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al-Qur'an" adalah hadist dha'if menurut perkataan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al-Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal itu termasuk yang dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui para istri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para shahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya" [Ibid,Juz 2. hal, 191].Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada siswi-siswinya atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al-Qur'an, dan lain sebagainya.[2]. PuasaDiaharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik itu puasa wajib mupun puasa sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha."Artinya : Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". [Hadits Muttafaq 'alaih]Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi saat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempurna dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi Beliau pun menjawab."Artinya : Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani".Dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya."Artinya : Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". [Hadits Muattafaq 'alaihi].[3]. ThawafDiharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun yang sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah."Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, hal 26 - 31 Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul Haq Jakarta]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1342&bagian=0


Artikel Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf.

Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain

Kumpulan Artikel Islami

Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain

Kategori Ath-Thiflu = Anak Muslim

Sabtu, 29 Oktober 2005 07:55:14 WIBMEMBERIKAN SESUATU KEPADA SALAH SEORANG ANAK DAN TIDAK MEMBERIKAN KEPADA ANAK YANG LAINOlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada salah satu anak saya yang tidak saya berikan kepada anak-anak yang lain karena mereka sudah kaya JawabanTidak boleh bagi Anda untuk mengkhususkan salah seorang anak laki-laki maupun perempuan dengan sesuatu. Akan tetapi wajib untuk berbuat adil dengan mereka, sesuai dengan hitungan warisan, atau tidak sama sekali, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.â€Å"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu” [Disepakati keshahihannya]Akan tetapi jika anak-anaknya rela dengan pengkhususan tersebut, maka hal tersebut tidak apa-apa, selama yang merelakannya adalah orang-orang yang sudah baligh. Demikian pula bila di antara anak-anak Anda ada yang dalam keadaan kesusahan, tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat dan tidak ada bapaknya atau saudaranya yang menafkahinya, tidak pula mendapat santunan dari pemerintah yang memenuhi kebutuhannya, maka bagi Anda hendaknya menafkahinya sebatas keperluannya hingga Allah mencukupi kebutuhannya.[Fatawa Mar’ah, 2/101]BOLEHKAH SEORANG IBU MENGKHUSUSKAN ANAKNYA LEBIH DARI YANG LAINOlehSyaikh Abdullah bin JibrinPertanyaanSyaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Bolehkah seorang ibu mengkhususkan salah seorang anaknya lebih dari yang lainnya, dari cara melepas kepergiannya, menerima kedatangannya, padahal perlakuan anak-anaknya terhadap ibu mereka tidak berbeda. Demikian pula anak cucu, perlakuan mereka terhadap nenek mereka tidak berbeda. Bolehkan hal tersebut Berilah kami penjelasan, semoga Allah memberi Anda pahala kebaikanJawabanWajib bagi orang tua berbuat adil diantara anak-anaknya, tidak melebihkan sebagian dari sebagian yang lain dalam hal nafkah, pemberian hadiah dan sebagainya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salamâ€Å"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu”â€Å"Artinya : Bukanlah kamu ingin perbuatan baik mereka kepadamu sama Maka perlakukanlah mereka dengan sama”Para ulama besar senantiasa berbuat adil kepada anak-anaknya hingga pada permasalahan mencium anak, senyum, menerima kedatangan dan sebagainya, berdasarkan perintah untuk berlaku adil terhadap anak-anak. Akan tetapi diperbolehkan utuk tidak menyamaratakan antara mereka, pada kondisi seperti orang tua yang mendahulukan anak terkecil, mengutamakan yang sakit dan semacamnya, berdasarkan alas an kasih saying. Jika tidak ada alas an tersebut, berarti kewajibannya adalah tetap adil dalam setiap interaksi dengan mereka, apalagi jika mereka sama pula dalam hal ketaatan, pengabdian dan silaturhaminya kepada orang tua.[Fatawal Mar’ah 1/96][Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita , penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1641&bagian=0


Artikel Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain diambil dari http://www.asofwah.or.id
Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain.

Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu

Kumpulan Artikel Islami

Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu

Kategori Hajji Dan Umrah

Kamis, 9 Desember 2004 06:54:06 WIBSATU HAJI ATAU UMRAH TIDAK BOLEH UNTUK DUA ORANGOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaanSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Alhamdulillah, saya setiap tahun pergi ke Mekkah untuk umrah dalam bulan Ramadhan. Pada suatu ketika saya niat umrah untuk bapak saya dan pada kesempatan lain saya niat umrah untuk ibu saya. Tapi dalam kesempatan terakhir saya niat umrah untuk keduanya. Maka ketika saya bertanya tentang umrah terkahir saya ini dijawab bahwa umrah saya dinilai untuk saya sendiri dan tidak untuk kedua orang tua saya. Apakah demikian itu benar JawabanYa itu benar. Ulama menyatakan bahwa satu umrah tidak dapat diniatkan untuk dua orang. Satu umrah hanya untuk satu orang. Adakalanya untuk seseorang, atau untuk bapaknya atau untuk ibunya. Dan tidak mungkin seseorang niat umrah untuk dua orang. Dan jika dia melakukan demikian itu maka umrahnya tidak untuk kedua orang, tapi menjadi untuk dirinya sendiri.Tapi saya ingin mengatakan, bahwa seyogianya seseorang menjadikan amal shaleh yang dilakukan diniatkan untuk dirinya sendiri, baik umrah, haji, sedekah, shalat, membaca Al-Qur'an atau yang lainnya. Sebab seseorang butuh kepada amal-amal shalih tersebut yang akan datang kepadanya hari yang dia berharap bila dalam catatan amalnya terdapat suatu kebaikan. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membimbing umatnya untuk memalingkan amal shalihnya kepada bapaknya atau ibunya, juga tidak kepada orang yang masih hidup atau orang yang telah meninggal. Tapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing umatnya untuk mendo'akan orang yang meninggal dalam iman. Di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal ; sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shaleh yang mendoa'akan kepada [orang tua]nya" [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya]Maka renungkanlah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Anak shalih yang mendo'akan kepada [orang tua]nya", dan beliau tidak mengatakan, "Anak shalih yang membaca Al-Qur'an, shalat dua raka'at, haji, umrah atau puasa untuknya". Namun beliau mengatakan, "Anak shalih yang mendo'akannya".Padahal rangkaian hadits berkaitan dengan amal shalih. Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang utama bagi seseorang adalah mendo'akan kedua orang tuanya dan bukan beramal shalih yang diperuntukkan mereka berdua. Meskipun demikian tidak mengapa baik seseorang beramal shalih dan diperuntukkan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Hanya saja haji dan umrah tidak dapat diniatkan untuk dua orang sekaligus.HAJI UNTUK ORANG YANG TIDAK DIKETAHUI NAMANYAOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Empat orang laki-laki dan perempuan dari keluarga saya meninggal dan saya ingin membiayai empat orang untuk menggantikan haji mereka, tapi saya tidak mengetahui sebagian nama keluarga saya tersebut. Mohon fatwa dan penjelasan.JawabanJika permasalahannya seperti yang kamu sebutkan, maka orang yang kamu ketahui namanya dari laki-laki dan perempuan maka tidak ada masalah didalamnya. Sedang untuk orang yang tidak kamu kenali namanya maka sesungguhnya niat kamu sudah cukup untuk itu.MERUBAH NIAT DALAM HAJI DARI UNTUK DIRINYA SENDIRI KEPADA ORANG LAINOlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaPertanyaanAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang niat haji untuk dirinya sendiri dan sebelum itu dia telah haji. Kemudian dia ingin merubah niat hajinya yang kedua itu untuk kerabatnya dan dia sudah di 'Arafah. Bagaimana hukum yang demikian itu Apakah demikian itu boleh ataukah tidak boleh JawabanJika seseoran telah ihram dengan niat haji untuk dirinya sendiri maka setelah itu dia tidak boleh merubah niatnya tersebut, baik ketika di jalan atau sudah di Arafah. Bahkan dia wajib menyempurnakan hajinya untuk dirinya sendiri dan tidak boleh merubah niat hajinya untuk bapaknya, ibunya atau yang lain sebab Allah berfrman."Artinya : Dan sempurnakan haji dan umrahmu karena Allah" [Al-Baqarah : 196]Jika dia telah niat haji ketika ihram untuk dirinya sendiri maka dia wajib menyempurnakan haji untuk dirinya sendiri, dan jika dia niat ihram untuk selain dirinya, maka dia wajib menyempurnakan haji yang dilakukan itu untuk orang lain yang telah dia niatkan dan tidak boleh merubah niatnya setelah ihram.ORANG YANG MEWAKILI ORANG LAIN NAMUN DIA TIDAK MAMPU LALU DIA MEWAKILKAN KEPADA ORANG LAIN LAGI.OlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaanSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebelum empat tahu lalu seseorang menerima amanat sebagai badal haji dari seseorang namun dia tidak melaksanakan haji untuk orang yang diwakilkannya tersebut karena dia butuh harta atau karena menganggap enteng hal tersebut. Lalu sekarang dia ingin melaksanakan haji yang dalam tanggungannya, tapi dia tidak mampu karena sakit. Lalu dia membayar orang lain untuk menggantikan agar dia terlepas dari tanggungannya. Perlu diketahui, bahwa orang pertama yang mewakilkan haji tidak ada dan tidak diketahui tempatnya. Bagaimanakah tentang permasalahan tersebut Mohon penjelasan.JawabanJika kondisinya seperti yang disebutkan penanya, maka cukup bagi orang tersebut membayar orang lain yang diyakini pandai dalam agama dan amanat untuk haji atas nama orang yang telah menyerahkan biaya haji kepadanya. Sebab Allah berfirman."Artinya : Maka bertaqwalah kamu sesuai dengan kemampuanmu" [At-Thagabun : 16]Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya, kepada apa yang diridai-Nya.[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Sfai'i hal. 67 - 73, Penerjemah H.ASmuni Solihan Zamakhsyari, Lc]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1218&bagian=0


Artikel Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu diambil dari http://www.asofwah.or.id
Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu.

Menggunakan Pil Pencegah Haid Untuk Ibadah Haji

Kumpulan Artikel Islami

Menggunakan Pil Pencegah Haid Untuk Ibadah Haji

>> Pertanyaan :

Apakah boleh bagi wanita meminum pil pencegah haid atau yang dapatmenunda kedatangannya di waktu haji?

>> Jawaban :

Boleh bagi wanita menggunakan pil pencegah haid di waktu haji bilamengkhawatirkan kedatangannya. Tentu hal itu dilakukan setelahkonsultasi dengan dokter spesialis untuk menjaga keselamatan sipeng-guna dan demikian pula di bulan suci Ramadhan kalau ia inginberpuasa bersama-sama [hingga tuntas].

[ Fatawal marah oleh al-Lajnah al-Daimah, hal. 89. ]

Artikel Menggunakan Pil Pencegah Haid Untuk Ibadah Haji diambil dari http://www.asofwah.or.id
Menggunakan Pil Pencegah Haid Untuk Ibadah Haji.

Susah Menghubungi Wali Karena Jauh

Kumpulan Artikel Islami

Susah Menghubungi Wali Karena Jauh

>> Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: Ada seorang wanita yang inginnikah tetapi walinya tinggal di daerah terpencil perbatasan antaraYaman Utara dan Yaman Selatan dan tranportasi ke daerah tersebutterputus sementara wanita tersebut harus menikah segera?

>> Jawaban :

Jika kondisinya seperti yang disebutkan, yaitu tempat tinggal walisusah dijangkau, jauh melebihi jarak yang dibolehkan mengqashar shalatmaka yang menjadi wali adalah wali jauh dan bila tidak ada maka iamenikah dengan wali hakim sebab ia [hakim] adalah wali bagi yang tidakmendapatkan wali, yaitu seorang qadhi yang menikahkan setelahsyarat-syarat nikah terpenuhi seluruhnya dan tidak ada hal-hal yangmenghalangi sahnya pernikahan. Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad binIbrahim, juz 10/102

Artikel Susah Menghubungi Wali Karena Jauh diambil dari http://www.asofwah.or.id
Susah Menghubungi Wali Karena Jauh.

Targhib Puasa Ramadhan

Kumpulan Artikel Islami

Targhib Puasa Ramadhan Targhib Puasa Ramadhan

Kategori Puasa

Sabtu, 9 Oktober 2004 14:50:31 WIBTARGHIB PUASA RAMADHANOlehSyaikh Salim bin 'Ied Al-HilaalySyaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid[1]. Pengampunan DosaAllah dan Rasul-Nya memberikan targhib [spirit] untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, [bahwasanya] beliau bersabda."Artinya : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [1]Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda."Artinya : Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" [Hadits Riwayat Muslim 233]Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, [bahwasanya] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin" Beliau bersabda."Artinya : Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [2][2]. Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api NerakaRasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Artinya : Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya" [3][3]. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan SyuhadaDari 'Amr bin Murrah Al-Juhani[4] Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku " Beliau menjawab."Artinya : Termasuk dari shidiqin dan syuhada" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban [no.11 zawaidnya] sanadnya Shahih][Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]_________Foote Note.[1] Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya[2] Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin[3] Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya Shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri[4] Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam'ani, Al-Lubap 1/317 karya Ibnul Atsir

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1080&bagian=0


Artikel Targhib Puasa Ramadhan diambil dari http://www.asofwah.or.id
Targhib Puasa Ramadhan.

Warisan Bagi Istri Yang Dicerai

Kumpulan Artikel Islami

Warisan Bagi Istri Yang Dicerai Warisan Bagi Istri Yang Dicerai

Kategori Waris Dan Wasiat

Kamis, 18 Maret 2004 06:57:13 WIBWARISAN BAGI ISTRI YANG DICERAIOlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminPertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang telah diceraikan oleh suaminya yang kemudian meninggal tiba-tiba setelah menceraikannya mendapat bagian warisan, sementara ia masih dalam masa iddah, atau setelah habis masa iddah Jawaban.Wanita yang ditalak, jika suaminya meninggal ketika masih dalam masa iddah, ada dua kemungkinan, yaitu talak raj’i [yang bisa di rujuk] dan bukan raj’i [tidak bisa di rujuk].Jika itu talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri sehingga iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah wafat [iddah karena ditinggal mati suami]. Talak raj’i yang terjadi setelah campur tanpa iwadh [pengganti talak], baik talak pertama maupun talak yang kedua kali, jika suaminya meninggal, maka si wanita berhak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Ta’ala.â€Å"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri [menunggu] tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka [para suami] itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” [Al-Baqarah : 228]Dalam ayat lain disebutkan.â€Å"Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] iddahnya [yang wajar] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka [diizinkan] keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” [Ath-Thalaq : 1]Allah Subhnahu wa Ta’ala memerintahkan wanita yang ditalak [raj’i] agar tetap tinggal di rumah suaminya pada masa iddah, Allah berfirman.â€Å"Artinya : Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” [Ath-Thalaq : 1]Maksudnya adalah rujuk. Jika wanita yang ditinggal mati suaminya dengan tiba-tiba itu dalam keadaan talak ba’in [yang tidak dapat di rujuk], seperti talak yang ketiga kali atau si wanita memberikan pengganti mahar kepada suaminya agar ditalak, atau sedang pada masa fasah [pemutusan ikatan pernikahan], bukan iddah talak, maka ia tidak berhak mewarisi dan statusnya tidak berubah dari iddah talak ke iddah diitnggal mati suami.Namun demikian, ada kondisi dimana wanita yang di talak ba’in tetap berhak mewarisi, yaitu seperti ; jika sang suami mentalaknya ketika sedang sakit dengan maksud agar si istri tetap mendapat hak warisan walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia belum menikah lagi. Tapi jika ia telah menikah lagi maka tidak boleh mewarisi.[Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 820][Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 524-525 , Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=492&bagian=0


Artikel Warisan Bagi Istri Yang Dicerai diambil dari http://www.asofwah.or.id
Warisan Bagi Istri Yang Dicerai.

Perpecahan Dikalangan Yang Mengaku Salaf

Kumpulan Artikel Islami

Perpecahan Dikalangan Yang Mengaku Salaf Perpecahan Dikalangan Yang Mengaku Salaf

Kategori Perpecahan Umat !

Sabtu, 17 Desember 2005 07:26:41 WIBPERPECAHAN DIKALANGAN YANG MENGAKU SALAFOlehSyaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-HilalySyaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr.PertanyaanSyaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Ciri-ciri ahlu bidah adalah berpecah belah, apa nasehat Anda kepada kami dalam menyikapi perpecahan yang ada dikalangan orang-orang yang initisab [mengaku-pent] sebagai salaf yang menimbulkan perpecahan serta saling membenciJawabanAku menggangap paling paham dengan salafi dan penyebaran dakwah salafiyyah, namun aku tidak melihat adanya perpecahan dikalangan mereka, sebaliknya malah aku melihat mereka saling mencintai, mengasihi, saling bertukar fikiran, bantu-membantu. Sebenarnya terdapat sekelompok orang yang tidak ada memiliki rasa takut kepada Allah yang berupaya untuk memecah-belah para ulama salaf dengan menyebarkan berita-berita bohong dan mengarang kejadian-kejadian fiktif yang sebenarnya tidak ada, membesar-besarkan kesalahan ; sibuk dengan qila wa qola dan mengadu domba.Wajib bagi para da'i dan ulama salaf waspada terhadap kelompok-kelompok pembuat makar dan keji ini, yang mengingatkan aku tentang pemikiran yang dibawa Al-Haddadi sejak sepuluh tahun yang lalu yang menamakan kelompok mereka dengan As-Sunnah ; memerangi ahli bid'ah dan sebagainya, ternyata mereka berupaya untuk mencela para ulama salaf yang terbaik. Mereka mencela Ibn Hajar, An-Nawawi bahkan hampir saja mereka mencela Syaikhul Islam dan Ibn Al-Qayyim.Kini kelompok new-Haddadi ini muncul kembali dengan wajah baru, maka para ulama harus benar-benar waspada kepada kelompok yang zalim terhadap diri mereka, zalim terhadap para penyeru kepada dakwah salafiyyah, jangan sampai para da'i terlalu cepat menerima berita dari mereka tetapi hendaklah mengambil berita dari sumber yang benar dan mengecek [tahqiq] terlebih dahulu dari ikhwan mereka, bagaimana sebenarnya mauqif [sikap] mereka, sebab aku yakin sebenarnya banyak orang-orang salaf yang salah memahami perkataan ikhwan kita [masyakih dari Jordan.-pent] yang kuyakini benar, namun dianggap keliru karena kurangnya pemahaman terhadap pemikiran mereka.Sebenarnya para ikhwan kita sepakat dengan mereka dalam aqidah, manhaj, serta prinsip-prinsip dasar dakwah yang mulia ini, semoga Allah melindungi kita dari kejelekan diri kita. Banyak dari kita terkadang lebih mengedepankan hazzun nafsi [interest pribadi] dari pada manhaj sendiri.Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr.Aku melihat banyak soal-soal yang senada, di sini aku temukan soal seperti yang lalu dan telah dijawab oleh Syaikh Salim, namun di sini aku menambahkan bahwa tidak seorangpun yang dapat mengkritik prinsip-prinsip dasar dakwah salafiyah, aqidah, maupun manhajnya. Karena dakwah ini adalah hasil buatan Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan buatan manusia., namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara penuntut ilmu sebagaimana yang diterangkan Syaikh Salim dalam jawabannya tadi.Dari sini kami peringatkan kepada para duat salafi untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap dakwah salaf yang telah tersebar di seantero dunia Islam bahkan diseluruh dunia sebagaimana menyebarnya api jika disulut minyak, sampai-sampai terdapat lahan dakwah subur disebuah negeri yang seluruh penduduknya salafi, ini adalah realita yang tak dapat disangkal apalagi sebagian ikhwan telah mendatangi tempat-tempat tersebut.Oleh karena itu berbagai macam perbedaan dan perselisihan yang terjadi diantara salafiyyin, jangan sampai dicampuri oleh orang-orang awam, hendaklah mereka menyerahkan perkara ini kepada para ulama, dan menyibukkan diri mereka dengan hal-hal yang bermanfaat seperti tazkiyatun nafsi maupun menuntut ilmu, jangan mereka menyibukkan diri dengan isu-isu yang disebarkan dan jangan pula ikut campur menyebarkan isu-isu ini, tetapi hendaklah mengecek kebenaran berita yang mereka dengar, kemudian mengembalikannya kepada ulama ar-Rasikhin. Hendaklah mereka manyibukkan diri dengan aib-aib yang ada pada diri mereka, karena dengan mebuat laris isu-isu yang tak jelas ini akan membuat para pemuda bingung dan akhirnya merekapun menjadi mangsa syaitan baik dari jin maupun manusia.Wallahu a'lam.[Seri Soal Jawab DaurAh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002. Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1700&bagian=0


Artikel Perpecahan Dikalangan Yang Mengaku Salaf diambil dari http://www.asofwah.or.id
Perpecahan Dikalangan Yang Mengaku Salaf.