Selasa, 20 Mei 2008

Penentuan Dimulai Dan Berakhirnya Bulan Puasa

Kumpulan Artikel Islami

Penentuan Dimulai Dan Berakhirnya Bulan Puasa Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma,dia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: jika kalian melihatnya [bulan sabit yang mengawali bulanRamadhan-red] maka berpuasalah*, dan jika kalian melihatnya [bulansabit yang mengawali bulan Syawwal-red] maka berbukalah; jika kaliandikabuti oleh awan [sehingga tidak bisa/terhalangi melihatnya-red]maka perkirakanlah hitungannya [dengan menyempurnakan bulan yangberkabut awan tersebut, yakni bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari-red] .

* dengan meniatkan puasa pada malam harinya untuk esok harinya

Takhrij Hadits Secara Global

Hadits ini ditakhrij [dikeluarkan] oleh Imam al-Bukhari dengan lafazhdiatas, Imam Muslim, an-Nasai dan Ibnu Majah.

Makna Hadits Secara Global

Hukum-Hukum syara' ini dibangun atas al-Ashl [pondasi, pokok, landasan]sehingga tidak boleh beralih darinya kecuali dengan secara yakin.

Diantaranya; bahwa hukum asal dalam penentuan bulan Ramadhan adalahmasih berjalannya bulan Sya'ban dan terbebasnya dzimmah [tanggungandalam diri] dari kewajiban berpuasa, selama bulan Sya'ban tersebutbelum sempurna tiga puluh hari sehingga diketahui telah berakhir ataumelihat bulan sabit sebagai pertanda dimulainya bulan Ramadhansehingga diketahui ia telah masuk.

Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengaitkanberlakunya hukum puasa dan tidaknya di bulan Ramadhan dengan [dapatatau tidaknya] melihat [ru'yah] bulan sabit. Jika disana terdapatkabut awan, salju atau semisalnya maka beliau Shallallahu 'alaihiWasallam memerintahkan agar mereka memperkirakan hitungannya; yaitudengan menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh,kemudian baru mereka memulai puasa. Hal ini dilakukan berdasarkankaidah yang berbunyi: hukum asal sesuatu adalah masih berlaku/berjalannyastatusnya yang terdahulu [yang sudah berlaku/berjalan] sebagaimanaadanya .

Perbedaan Para Ulama

Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena terjadinya perbedaanpenafsiran terhadap makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam; [faqduruulahu] apakah maknanya perkirakanlah hitungannya [denganmenyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari] atau persempitlah[ciutkan hitungan] bulan Sya'ban dan perkirakanlah [hitunglah] menjadidua puluh sembilan hari saja .

Diantara implikasi dari adanya perbedaan diatas adalah timbulnyaperbedaan para ulama mengenai beberapa masalah:

A. Masalah berpuasa pada tanggal 30 bulan Sya'ban; bila pada saat itubulan sabit tidak muncul/kelihatan karena diselimuti oleh kabut awan,salju atau hal lainnya yang tidak memungkinkan untuk melihatnya [ru'yah].Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal itu:

Wajib berpuasa pada hari itu sebagai bentuk zhann [sangkaan; yangpersentase kemungkinan benarnya adalah lebih dari 50%-red] dantindakan ihtiath [preventif] ; ini adalah pendapat yang masyhur darimazhab Imam Ahmad [pendapat ini dianggap sebagai mufradaat Imam Ahmad[satu-satunya pendapat di kalangan para imam mazhab yang empat] danjuga pendapat yang diriwayatkan dari sejumlah para shahabat,diantaranya; Abu Hurairah, Ibnu 'Umar, 'Aisyah dan Asma'.

Dalil :

Berdasarkan pengertian sabda nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ; [faqduruulahu] yang ditafsirkan dengan makna persempitlah [ciutkan hitungan]bulan Sya'ban dan perkirakanlah [hitunglah] ia menjadi dua puluhsembilan hari saja.

Tidak wajib berpuasa pada hari itu, dan jika berpuasa denganmenjadikannya sebagai ganti dari hari bulan Ramadhan maka hal itu darisisi hukum tidak dianggap alias tidak shah ; ini adalah pendapatJumhur Ulama, diantaranya tiga imam mazhab [selain Imam Ahmad]; ImamAbu Hanifah, Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik. Demikian juga, pendapatini dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah. Beliau menyatakanbahwa riwayat-riwayat yang demikian banyak dari Imam Ahmad menunjukkandia memilih pendapat ini juga. Dan diantara para ulama besar mazhabHanbali yang memilih pendapat ini adalah Abul Khaththab dan Ibnu 'Aqil.Pengarang buku al-Furu' berkata: saya tidak menemukan indikasibahwa Imam Ahmad secara terang-terangan mewajibkan hal itu ataupunmemerintahkannya; oleh karenanya tidak patut pendapat tersebut [yangmenyatakan beliau mewajibkan berpuasa pada hari itu] dinisbatkankepada beliau.Dalil :

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan [Imam Bukharidan Muslim] dari Abu Hurairah secara marfu' , sabda nabi Shallallâhu 'alaihiwasallam : Berpuasalah kalian [dengan meniatkan puasa malam harinyauntuk esok harinya-red] karena melihatnya [munculnya bulan sabitpertanda datangnya bulan Ramadhan-red] dan berbukalah [ menghentikanpuasa] karena melihatnya [munculnya bulan sabit pertanda datangnyabulan Syawwal-red]; lalu jika kalian dikabuti oleh awan [sehinggatidak dapat/terhalangi melihatnya-red] maka sempurnakanlah bilanganbulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari [penuh] .

Jadi, hadits ini dan semisalnya menjelaskan tentang makna pertamayaitu perkirakanlah hitungannya [dengan menyempurnakan hitunganbulan Sya'ban menjadi 30 hari] .

Pendapat Jumhur ulama tersebut dipertegas lagi oleh Ibnu al-Qayyimdalam kitabnya al-Hadyu dimana beliau mendukung pendapat Jumhur danmenyanggah selain pendapat tersebut. Beliau juga menjelaskan bahwatidak ada pendapat seorangpun dari para shahabat yang sharih [secaraterang-terangan] yang dapat dipertanggung jawabkan kecuali dari Ibnu 'Umaryang memang dikenal sebagai orang yang amat keras dan preventif dalamberpendapat.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa pendapat yangdinisbatkan kepada Imam Ahmad berkenaan dengan wajibnya berpuasa padahari yang diragukan [30 Sya'ban] tidak otentik dan valid. Demikianpula halnya dengan yang dinisbatkan kepada para shahabat Imam Ahmadmeskipun sebagian dari mereka meyakini bahwa wajibnya berpuasa padahari tersebut termasuk pendapat beliau. Pendapat beliau yang sharihdan dicantumkan secara tertulis dari beliau adalah bolehnya berbukaatau berpuasa pada hari itu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat ImamAbu Hanifah dan mayoritas para shahabat dan Tabi'in. Pokok-Pokok utamasyari'at secara keseluruhan telah menetapkan bahwa tindakan preventif[al-Ihtiath] tidak memiliki implikasi wajib ataupun diharamkan.

B. Masalah ; jika bulan sabit pertanda dimulainya bulan Ramadhanterlihat di suatu negeri, apakah hal itu mengharuskan semua orangberpuasa atau tidak Setidaknya terdapat empat pendapat mengenai halini:

Wajib atas seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada untukberpuasa ; ini adalah pendapat yang ma.syhur dari Imam Ahmad dan parapengikutnya serta merupakan mufradaat mazhab beliau. Pendapat ini jugamerupakan pendapat Imam Abu Hanifah.

Alasannya ; karena masuknya bulan Ramadhan telah mantap danhukum-hukum yang berkaitan dengannya pun demikian, maka wajib berpuasaatas dasar tersebut.

Tidak wajib berpuasa bagi penduduk negeri yang lain bahkan setiappenduduk negeri dapat menentukan ru'yahnya secara tersendiri ; iniadalah pendapat sebagian ulama, yaitu pendapat al-Qasim bin Muhammad,Salim bin 'Abdullah dan Ishaq bin Rahawaih.

Alasannya ; berdasarkan riwayat Kuraib yang berkata: aku datang keSyam [dan sudah berada disana] dimana ketika itu sudah mulai memasukibulan Ramadhan; lalu kami melihat munculnya bulan sabit pada malamJum'at. Kemudian di akhir bulan, aku kembali ke Madinah lalu Ibnu 'Abbasmenanyaiku [tentang banyak hal] kemudian menyinggung tentang bulansabit seraya berkata: 'kapan pertamakali kalian melihat munculnyabulan sabit [pertanda masuknya bulan Ramadhan]. Lantas akumemberitahukan beliau tentang hal itu. Beliau berkata: 'Tetapi kamitelah melihatnya [dalam riwayat yang lain; memakai shighat fi'il al-Mudhari'â€"red] muncul pada malam Sabtu dan kami masih berpuasa hingga kamimenyelesaikannya tiga puluh hari penuh'. Lalu aku berkata: 'bukankahcukup bagimu ru'yah Mu'awiyah dan puasanya'. Beliau menjawab: 'tidak!Demikianlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihiwasallam kepada kami . [H.R.Muslim].

Perlu rincian lagi; jika al-Mathaali' â€" jamak dari kata mathla' - [posisimunculnya bulan] berbeda maka masing-masing negeri harus berdasarkanmathla' nya sendiri, sedangkan jika hal itu sama maka hukum puasa dantidak puasanya bagi mereka satu paket ; ini adalah pendapat yangmasyhur dari Imam asy-Syafi'i dan pendapat yang dipilih oleh SyaikhulIslam, Ibnu Taimiyyah.

Jika jarak antara kedua negeri kurang dari 2226 Km maka hilal [bulansabit] mereka satu paket, dan jika lebih dari jarak tersebut makatidak satu paket ; ini adalah pendapat as-Syaikh Muhammad bin 'AbdulWahhab al-Marakisyi sebagaimana yang dinyatakan dalam kitabnya al-'AzbuzZallal fii Mabaahits Ru'yatil Hilal .

INTISARI HADITS

Berpuasa di bulan Ramadhan terkait dengan ru'yah semua orangatau sebagian mereka terhadap hilal [bulan sabit]. Ibnu Daqiq al-'Iedmenolak untuk mengaitkan hukumnya berdasarkan perhitungan ahli nujum[astrolog]. Selanjutnya, ash-Shan'ani menjelaskan andaikata hal ituterbatas kepada perhitungan [hisab] mereka niscaya hanya sedikitorang yang mengetahuinya sedangkan syara' dibangun atas apa yangdiketahui oleh banyak orang.

Berbuka [tidak berpuasa] juga terkait dengan hal tersebut.

Bahwasanya jika hilal tidak terlihat, maka mereka tidak berpuasamelainkan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluhhari, demikian pula mereka tidak berbuka melainkan menyempurnakanbilangan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari.

Bahwasanya jika terdapat kabut awan, mereka memperkirakanbilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh. Ash-Shan'aniberkata: Jumhur Fuqaha dan Ahli Hadits berpendapat bahwa yangdimaksud dengan sabdan beliau [faqduruu lahu] adalah menyempurnakanbilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari sebagaimana yangditafsirkan dalam hadits yang lain.

[Disadur dari kitab Taysiirul 'Allaam Syarhu 'Umdatil Ahkaam ,karya Syaikh 'Abdullah Ali Bassam, jld. I, hal. 409-413, haditske-175].

Artikel Penentuan Dimulai Dan Berakhirnya Bulan Puasa diambil dari http://www.asofwah.or.id
Penentuan Dimulai Dan Berakhirnya Bulan Puasa.

Tidak ada komentar: