Kamis, 03 Juli 2008

Nasehat Untuk Salafiyyin 2/3

Kumpulan Artikel Islami

Nasehat Untuk Salafiyyin 2/3 Nasehat Untuk Salafiyyin 2/3

Kategori Nasehat

Sabtu, 21 Februari 2004 21:39:20 WIBNASEHAT UNTUK SALAFIYYINOlehSyaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar RuhailyDitulis Pada tanggal 8/10/1424 H.Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]1. Yang Berkaitan Dengan Pemboikot.Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnyaKetentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.Yang demikian ini, dikarenakan hajer [boikot] disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.Dan hajer [boikot] juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.2. Yang Berkaitan Dengan Orang Yang Diboikot.Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: â€Å"Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut [dalam perang Tabuk], ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka [orang-orang yang ditarik perhatiannya] adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing …”. [Majmu’ Fatawa 28/206]3. Yang Berkaitan Dengan Jenis Pelanggaran.Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah [yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir] diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap [pelaku] kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer [diboikot] dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. [HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8], dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. [HR Abu Dawud, 5/402].Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.4. Yang Berkaitan Dengan Waktu Dan Tempat Terjadinya PelanggaranHendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer [memboikot], tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:Artinya: â€Å"hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit [pula terasa] oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari [siksa] Allah, melainkan kepada-Nya saja. [QS At Taubah 118]Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: â€Å"Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir [Qodariyah], di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”. [Majmu’ Fatawa 28/206-207]5. Yang Berkaitan Dengan Masa Pemboikotan.Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan NabiShallallahu 'alaihi wa sallam terhadap sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: â€Å" Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela [diboikot]. Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan [penyembuhan], dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya [pemboikotan] adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”. [Zad Al Ma’ad 3/20]Ketujuh : Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari pengingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:[1] Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid [tentu lebih pantas untuk didoakan].[2] Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.Hendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.[3] Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim [berlebih-lebihan] atau sebaliknya [kelalaian], yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.[4] Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat [tujuan] syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: â€Å"Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam [senantiasa] mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam [mengajarkan untuk] memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan”. [Al Masail Al Mardiniyyah 63-64].[5] Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat [kesalahan itu] masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.[Diterjemahkan Oleh ASPRI RAHMAT AZAI Islamic University of Madinah Po. Box : 10234 Phone : 966-4-8390448 Mobile: 966-59467833]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=266&bagian=0


Artikel Nasehat Untuk Salafiyyin 2/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Nasehat Untuk Salafiyyin 2/3.

Tidak ada komentar: