Sabtu, 17 Mei 2008

Kiat Bergaul Yang Baik

Kumpulan Artikel Islami

Kiat Bergaul Yang Baik Ikhlash Kunci Sukses dalam Bergaul

Bergaul dengan orang lain hendaknya didasari dengan keinginan dan niatyang benar. Kecintaan dan kebencian terhadap mereka; Melakukan sesuatuatau membiarkannya; Dan berbuat sesuatu atau tidak, jika dilakukankarena Allah subhanahu wata’ala dan di atas keyakinanmenjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala, maka kita akanmemperoleh kebahagiaan ketika bergaul dengan siapa saja.

Berkaitan dengan ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menyebutkandengan ungapan yang indah Kebahagiaan dalam bergaul dengan orang akandiraih jika engkau bergaul dengan mereka karena Allah, engkaumengharapkan ridha Allah dan tidak mengharapkan ridha mereka, engkautakut kepada Allah dan tidak takut kepada mereka, engkau berbuat baikkepada mereka karena mengharap pahala dari Allah dan tidak balasandari mereka, engkau tidak menzhalimi mereka karena takut kepada Allahdan tidak takut kepada mereka. Sebagaimana disebutkan juga di dalamsebuah atsar, Berharaplah pahala kepada Allah dalam urusan manusia,dan jangan berharap balasan kepada manusia dalam urusan Allah.Takutlah pada Allah dalam urusan manusia dan jangan takut kepadamanusia dalam urusan Allah.

Maksudnya adalah,”Janganlah engkau melakukan suatu bentuk ibadah danpendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala karena mereka,menginginkan pujian mereka, dan karena takut kepada mereka, namunberharaplah balasan dari Allah. Dan janganlah takut kepada manusiadalam urusan Allah, baik dalam hal yang engkau kerjakan atau yangengkau tinggalkan. Bahkan kerjakan apa saja yang telah diperintah kankepadamu meskipun mereka membencinya.”

Ketika Bertemu dengan Orang

Seseorang akan sering bertemu dengan orang lain, baik di masjid, dijalan, di tempat kerja, di rumah atau tempat-tempat lainnya. Bagaimanaseharusnya sikap dia manakala berjumpa dengan seseorang Para Salaftelah memberikan suri teladan yang sangat agung berkenaan dengan halini.

Abdur Rahman bin Mahdi berkata, Disebutkan bahwa jika seseorangbertemu dengan orang lain yang lebih tinggi ilmunya, maka itu adalahhari ghanimah baginya [untuk mengambil ilmunya, red], dan jikabertemu dengan orang yang semisal [setingkat], maka ia belajar bersamadan belajar juga darinya, jika bertemu dengan yang di bawahnya, makaia bersikap tawadhu' [rendah hati] dan mengajarinya. [Lihat, SiyarA’lam an-Nubala’ 9/203]

Menyikapi Orang yang Keliru dalam Mencari Kebenaran.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya;

“[Mereka berdo’a], Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jikakami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankankepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepadaorang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkankepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami;ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, makatolonglah kami terhadap kaum yang kafir . [QS. 2:286]

Syaikhul Islam berkata, Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mencarikebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam kemudian dia salah dalam sebagiannya, maka Allah

subhanahu wata’ala akan mengampuni kesalahannya, sebagai realisasidari do’a yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala untukNabi-Nya dan orang-orang mukmin, ketika mereka mengatakan, artinya, Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamibersalah. [QS. 2:286] [Lihat, Dar’u Ta’arudl Bainal Aqli wanNaqli, 2/103]

Maka apabila ada seseorang yang telah berijtihad untuk mencarikebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamkemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka dia diampuni berdasarkanayat tersebut di atas. Demikian juga jika seorang alim telahmengerahkan kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dariNabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalamsebagian masalah i'tiqad [keyakinan], maka dia tidak divonis denganbid'ah dan tidak dihajr [dikucilkan/ditinggalkan] disebabkankesalahannya. Meskipun ucapan atau pendapatnya adalah ucapan yangbid'ah, namun itu tidak mengharuskan dia divonis mubtadi' [ahlibid'ah]. Sebagaimana terhadap ucapan kufur, tidak mengharuskanpengucapnya divonis kafir, maka demikian juga tidak mengharuskandivonis sebagai pelaku bid'ah bagi orang yang mengucapkan perkataanbid'ah, kecuali jika syarat-syarat telah terpenuhi dan tidak ada lagifaktor penghalang jatuhnya vonis tersebut. [Lihat al-Fatawa28/233-234]

Oleh karena itu seorang ulama yang sudah dikenal kebaikannya dankesungguhannya di dalam mencari kebenaran, kemudian dia keliru dalamsatu masalah tertentu dan terjerumus dalam satu kebid'ahan, maka tidakboleh kita katakan sebagai pelaku bid'ah. Kita jelaskan bahwa beliausalah dalam hal tersebut, atau dalam masalah itu dia mencocoki

firqah fulaniyah [kelompok tertentu], namun dia bukan golonganmereka dan juga tidak memegang keyakinan mereka .

Namun demikian, meskipun dia dimaafkan, karena telah berusaha maksimalmencari yang benar, kita tetap mengatakan bahwa pendapatnya adalahkeliru atau bid'ah, lalu kita harus meninggalkan pendapat tersebut danmengambil pendapat para ulama lainnya yang lebih selamat. Berbedahalnya dengan orang yang mengambil agamanya dari selain Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang tersebut adalah seorang

mubtadi' [pelaku bid’ah] dalam pengambilan sumber, dalam ucapandan i’tiqad [kayakinan].

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, Kami mencintai sunnah dan ahlinya, kamimencintai orang alim dalam hal yang mengikuti sunnah danperkara-perkara yang terpuji. Dan kami tidak mencintai segala sesuatuyang diada-adakan berdasarkan ta'wil yang salah, dan penilaianadalah dengan banyaknya kebaikan. [Lihat, Siyar a’lam an Nubala’20/46]

Menggunjing Orang Lain adalah Penyakit dan Menyebut Allah adalahObat

Ibnu Aun berkata, Menyebut aib orang lain adalah penyakit, sedangkanmenyebut Allah subhanahu wata’ala adalah obat.

Imam Adz-Dzahabi memberikan komentar, Benarlah demi Allah, namunsungguh mengherankan karena kebodohan kita, mangapa di antara kitameninggalkan obat dan lebih asyik dengan penyakit Padahal Allah

subhanahu wata’ala telah befirman, artinya,

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat [pula]kepadamu.” [QS. Al-Baqarah: 152]

“Dan sesungguhnya mengingat Allah [shalat] adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain].” [QS. 29:45]

“[Yaitu] orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentramdengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lahhati menjadi tentram.” [QS. 13:28] [Siyar a’lam an-Nubala’6/369]

Dan juga amat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita agar menjagalisan serta peringatan agar tidak mengumbarnya dengan bebas tanpakendali. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,artinya,

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnyamalaikat pengawas yang selalu hadir.” [QS. 50:18]

Dan firman Allah subhanahu wata’ala yang lain, artinya,

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yangbersalah ketakutan terhadap apa yang [tertulis] di dalamnya, danmereka berkata, Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidakmeninggalkan yang kecil dan tidak [pula] yang besar, melainkan iamencatat semuanya.” [QS. 18:49]

Maka orang yang berakal akan selalu memerangi nafsunya, dan selalumemikirkan ayat-ayat dan hadits tentang penjagaan lisan darikesia-siaan, senantiasa mengutamakan dzikir sehingga dia akan terusdisibukkan dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan di dunia dan diakhirat.

Memberikan Penghargaan kepada yang Berhak Mendapatkannya

Pilar ini tidak jauh dengan pilar keadilan dan obyektif ketikamenyebut kan orang lain, akan tetapi yang dimaksudkan di sini adalahterbatas pada hal hal yang menjadi kekhususan dia dari orang selainnya.Karena di antara orang ada yang menonjol dalam ilmunya, ada pula dalamjihadnya, dalam dakwah dan selainnya.

Di antara contohnya adalah, Ubay bin Ka'ab adalah seorang ahli dalamal-Qur’an, ahli dalam tafsir yaitu Ibnu Abbas, ahli memutuskan perkaraadalah Ali bin Abi Thalib, orang kepercayaan adalah Abu Ubaidah, ahlipenunggang kuda adalah Khalid bin Walid ridhwanullah ‘alaihim,

ahli dalam ilmu fiqih adalah Imam Malik, ahli dalam ilmu hadits adalahAhmad bin Hanbal, ahli ibadah adalah Al-Fudail bin Iyadh, ahli Nahwuadalah Sibawaih rahimahumullah, dan lain sebagainya. Wallahua’lam.

Sumber: “Manhaj Ahlus Sunnah fin-Naqdi wal Hukmi ‘alal Akharin”,

Hisyam bin Ismail ash-Shiini, hal 67-74 dengan meringkas. [IbnuDjawari]

Artikel Kiat Bergaul Yang Baik diambil dari http://www.asofwah.or.id
Kiat Bergaul Yang Baik.

Tidak ada komentar: