Kumpulan Artikel Islami
Demokrasi Dan Pemilu 2/2 Demokrasi Dan Pemilu 2/2
Kategori Demokrasi Dan Politik
Jumat, 2 April 2004 09:23:58 WIBDEMOKRASI DAN PEMILUOlehSyaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniSyaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iBagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]PERSEKUTUAN DAN KOALISI DENGAN KELOMPOK SEKULERTahaluf [persekutuan] adalah kesepakatan antara dua kelompok yang bersekutu pada satu urusan, keduanya saling menolong.Tansiq [koalisi] adalah suatu tandhim [sistem] yaitu semua partai berada dalam satu sistem yang menyeluruh dan menyatu. Tandhim lebih tertata ketimbang persekutuan.Bila koalisi ini bertujuan menyokong demokrasi berserikat, pemikiran dan usaha meraih kekuasaan yang dicanangkan oleh partai-partai Islam di beberapa negara Islam bekerjasama dengan partai sekuler maka pungkasannya adalah seperti persekutuan antara orang-orang Yaman dengan partai Ba’ts sosialis untuk melancarkan perbaikan. Persekutuan dan koalisi model begini diharamkan, sebab termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah menfirmankan.â€Å"Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran†[Al-Maidah : 2]â€Å"Artinya : Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan†[Hud : 113]â€Å"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu [karena] mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat [Kami], jika kamu memahaminya†[Ali-Imron : 118]Selain mengandung implikasi terwujudnya kecintaan antara golongan tersebut [antara muslim dan non muslim,-pent], hal ini juga menggerus pondasi wala’ dan bara’ [loyalitas dan sikap berlepas diri]. Padahal keduanya merupakan tali iman yang terkokoh. Allah berfirman.â€Å"Artinya : Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka†[Al-Maidah : 51]Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.â€Å"Artinya : Seseorang itu dikelompokkan bersama orang yang dia cintai†[Muttafaqun ‘Alaihi]Orang-orang yang melegalkan persekutuan dan koalisi berdalil dengan beberapa dalil, namun dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan apa yang mereka kehendaki, diantaranya ;[A] Persekutuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dengan Orang YahudiJawabannya sebagai berikut :[1] Haditsnya tidak shahih, karena mu’dhal [gugurnya dua orang rawi secara berurutan dalam silsilah sanadnya, -pent][2] Pasal-pasal dalam persekutuan yang dijadikan pijakan â€âœjika ini benar- maka menyelisihi isi dari persekutuan tadi.[3] Hukum bagi yahudi dan bagi orang-orang yang enggan menerapkan syari’at Allah adalah berbeda.[4] Mereka tidak dalam keadaan terpaksa [dharurat] sebab keadaan dharurat yang sesuai dengan syar’iat tidak terwujud, lantaran syarat darurat tidak ada.[5] Kalaulah hadits tentang persekutuan Nabi dengan yahudi itu shahih, tetapi hukumnya mansukh [terhapus] dengan hukum-hukum jizyah [upeti yang diserahkan oleh orang-orang non muslim yang berada dalam kawasan negara Islam sebagai imbalan jaminan keamanan dan menetapnya mereka, -pent][6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan pemerintah Islam, sedangkan jama’ah dan partai yang terjun di medan dakwah tidak boleh memposisikan diri mereka sebagai pemerintah Islam.[7] Orang-orang yahudi tersebut berada dalam naungan negara Islam, oleh karena itu tidak akan terwujud persekutuan antara golongan yang sederajat.[B] Persekutuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dengan Bani Khuza’ahJawabannya sebagai berikut :[1] Yang benar, Bani Khuza’ah adalah muslimin, buktinya, tersebut dalam sejarah mereka mengatakan : ‘Kami telah memeluk Islam dan kami tidak mencabut ketaatan, namun mereka membunuh kami sedang kami dalam keadaan ruku’ dan sujud’.[2] Andaikan saja mereka itu masih musyrik, tetapi hukum kafir asli berbeda dengan hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam.[3] Isi persekutuan yang ada sekarang ini bebeda dengan isi persekutuan dengan bani Khuza’ah ; pasal-pasal kesepakatan partai itu telah diisyaratkan di muka sedangkan pasal-pasal kesepakatan dengan Khuza’ah tidak mengandung penyelewengan dari kebenaran dan tidak ada kerelaan kepada kebatilan.[C] Perlindungan Yang Diberikan Muth’im bin Adi dan Abu Thalib Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.Jawabannya :Ini strategi beliau mensiasati keadaan dan beliau masih bebas untuk berdakwah.KONTRAKDIKSI YANG MENIMPA MEREKASuatu kali mereka menyebut â€Å"Partai Sekulerâ€Â, kali lain mengatakan â€Å"Perbedaan golongan ini hanya dalam program bukan perbedaan manhajâ€Â, kali lainnya lagi mengucapkan â€Å"Partai itu sekarang telah murtad, namun mereka telah bertobat, lantaran itu mereka menerima ke-Islaman dan pertobatan merekaâ€Â. Lantas mengapa mereka berdalih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersekutu dengan yahudi dan orang-orang musyrik, jika mereka telah memvonis bahwa partai tertentu kafir, lalu mengapa mereka masih mengadakan persekutuan Ini kontradiksi yang nyata. Andai taubat mereka jujur, maka menurut syari’at harus memenuhi hal-hal berikut :[1] Harus mengumumkan pelepasan diri mereka dari keyakinan mereka yang terdahulu dan atribut-atribut ketenaran mereka, dan mengakui kesalahan manhaj mereka yang dahulu.[2] Menghilangkan anasir yang menentang Islam dari diri mereka secara lahir batin.Dalih Yang Menjadi Pegangan Mereka Yaitu Perjanjian Hudaibiyyah.Jawabnya :[1] Pemerintah Islam berhak mengikat perjanjian dengan musuh mereka jika dipandang maslahatnya lebih banyak ketimbang mafsadahnya.[2] Pada perjanjian Hudaibiyyah tidak terdapat sikap mengalah, tidak seperti sikap partai-partai itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti tulisan ‘Ar-Rahman Ar-Rahiim’ dengan ‘Bismika Allah’. Adapun beliau tidak menuliskan kalimat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan merupakan bukti bahwa beliau menghapus risalah dari dirinya, tetapi justru mengucapkan : â€Å"Demi Allah, aku benar-benar utusan Allahâ€Â.[3] Terjadinya perjanjian Hudaibiyyah itu menghasilkan maslahat [kebaikan] nyata yaitu pengagungan kemuliaan Allah, bandingkan dengan dampak yang muncul akibat persekutuan dan koalisi tersebut.[4] Hukum bagi kafir asli dan bagi orang yang enggan menerapkan hukum Islam berbeda.PEMILIHAN UMUMTermasuk sistem demokrasi pula, oleh karena itu diharamkan, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syari’at. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang [Legislatif] yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun yang jadi hukum adalah ‘Suara Mayoritasâ€Â. Ini adalah dewan thagut, tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat, produk yahudi dan nashara, oleh karena itu tidak boleh meniru mereka.Bila ada yang membantah : â€Å"Sebab di dalam syari’at Islam tidak terdapat metode tertentu untuk memilih pemimpin, lantaran itu pemilu tidak dilarangâ€ÂJawabannya : Pendapat tersebut tidak benar, sebab para sahabat telah menerapkan metode tersebut dalam memilih pemimpin dan ini merupakan metode syar’i. Adapun metode yang ditempuh partai-partai politik, tidak memiliki patokan-patokan pasti, ini sudah cukup sebagai larangan bagi metode itu, akibatnya orang non muslim berpeluang memimpin kaum muslimin, tidak ada seorangpun dari kalangan ahli fikih yang membolehkan hal itu.AKTIVITAS POLITIKPartai-partai politik memiliki kesepakatan-kesepakatan antara mereka untuk tidak saling mengkafirkan dan bersepakat untuk mengukuhkan dasar-dasar demokrasi. Sedangkan hukum Islam dalam masalah ini adalah mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya, memberi cap fasiq kepada orang yang di cap fasiq oleh Allah dan RasulNya dan memberi cap sesat kepada orang yang diberi cap sesat oleh Allah dan RasulNya. Islam tidak mengenal pengampunan [grasi/amnesti dari pemerintah, -pent]. Mengkafirkan seorang muslim yang tercebur dalam maksiat bukan termasuk manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selama dia tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Adapun undang-undang produk manusia diantaranya undang-undang Yaman, telah dijelaskan oleh ulama Yaman bahwa di dalamnya terkandung penyelisihan terhadap syari’at.METODE DAKWAH KITA YANG WAJIB DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT[1] Kita mendakwahi manusia untuk berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah secara hikmah, nasehat yang baik selaras dengan pemahaman para Salaf.[2] Kita memandang bahwa kewajiban syar’i terpenting adalah menghadapi pemikiran import dan bid’ah-bid’ah yang disusupkan ke dalam Islam dengan cara menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dakwah, menggugah kesadaran umat, meluruskan keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang keliru dan menyatukan kaum muslimin dalam lingkup semua tadi.[3] Kami memandang bahwa umat Islam tidak membutuhkan revolusi, penculikan dan penyebaran fitnah. Namun yang dibutuhkan adalah pendidikan iman dan pemurnian. Ini merupakan saran paling vital untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat.[4] Sebagai penutup kami akan memperingatkan bahwa motif yang melatari munculnya uraian ini adalah kami melihat sebagian ulama dan khususnya ulama negara Yaman membicarakan permasalahan yang dipakai pijakan oleh partai-partai politik Islam. Mereka bermaksud meletakkan landasan syar’i bagi permasalahan tersebut, padahal masalah tersebut mengandung kontradiksi dan kesalahan-kesalahan ditinjau dari sisi syar’i. Perlu diketahui bahwa mereka tidak mewakili kaum muslimin namun hanya mewakili diri mereka sendiri dan partai mereka saja. Yang jadi mizan adalah dalil bukan jumlah mayoritas dan bukan desas-desus.Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada pemimpin kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabat beliau. Segala puji bagi Allah.Penandatangan fatwa ini adalah :[1] Syaikh Muhamad Nashiruddin Al-Albani[2] Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.[3] Syaikh Abdul Majid Ar-Rimi.[4] Syaikh Abu Nashr Abdullah bin Muhammad Al-Imam[5] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshabi, dll.[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=578&bagian=0
Artikel Demokrasi Dan Pemilu 2/2 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Demokrasi Dan Pemilu 2/2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar