Kumpulan Artikel Islami
Hukum Mencari-Cari Rukhsah Para Fuqaha Ketika Terjadi Perselisihan 1/3 Hukum Mencari-Cari Rukhsah Para Fuqaha Ketika Terjadi Perselisihan 1/3
Kategori Akhlak
Kamis, 28 Oktober 2004 13:46:56 WIBHUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' KETIKA TERJADI PERSELISIHANOlehSyaikh Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru'iBagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]Sesungguhnya syaithan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :"Mencari rukhsah [pendapat paling ringan] dari para fuqaha' dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka". Dengan cara ini syaithan menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masah-masalah khilafiyah [perselisihan]. Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar'i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya [yang salah tersebut] tanpa ragu-ragu.Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha' pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat [menurut hawa nafsu mereka -pent]. Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya [padahal malah sebaliknya, -pent]Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan :"Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat". [Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban -pent]. Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang tasahul [mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, -pent] dalam berfatwa, lalu mereka [sebagian ulama yang tasahul, -pent] mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini..Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu [pertama] orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan [yang kedua] mufti yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.Apakah mafsadah [kerusakan] dan mudharat [bahaya] yang ditimbulkan oleh cara seperti ini . manakah dalil-dalil syar'i yang menunjukkan kebatilan hal ini bagaimanakan pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini beserta penjelasan tentang bagaimanakan sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah [perselisihan] , dan apakah kewajiban seorang mufti , dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa [inilah yang akan diterangkan, -red].APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN RUKHSAH DI SINI Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan [paling enak, -pent] yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa.Adapun makna syar'i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya yang rukhsah-rukhsah syar'i yang lainnya.Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih :[1] Pendapat bolehnya mencukur jenggot[2] Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.[3] Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur.[4] Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum'at kecuali pada tujuh wilayah.[5] Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga [panjang] bayangan setiap benda adalah empat kalinya.[6] Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh [ketika jihad, -pent].[7] Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.[8] Pendapat bolehnya nikah mut'ah.[9] Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.[10] Pendapat bolehnya menjima'i istri dari duburnya.[11] Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.[12] Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.MAFSADAH [KERUSAKAN] YANG TIMBUL KARENA MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA'Mengikuti rukhsah para fuqaha' menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama [Islam], dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari'at.Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah kerusakan-kerusakan ini, lalu menyebutkan kerusakan-kerusakan yang lain, dia berkata :"Seperti memisahkan diri dari [ajaran] agama dengan tidak mengikuti dalil beralih mengikuti khilaf [perselisihan], meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang telah diketahui [kebenarannya], rusaknya kaedah politik yang syar'i, yaitu dengan tidak adanya ketegasan amar ma'ruf [sehingga para hakimpun berbuat sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan rukhsah kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman[1] , dan seperti menjadi sarana menuju pendapat mengabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang merusak ijma" [Al-Muwafaqat 4/147-148].Imam Ibnul Jauzi berkata : "Dan termasuk perangkap syaithan bagi para fuqaha' yaitu mereka bergaulnya dengan penguasa dan para sultan serta besikap mudhahanah[2] terhadap mereka, serta meninggalkan nahi mungkar terhadap para penguasa tersebut, padahal mereka mampu melaksanakannya. Dan terkadang mereka memberikan rukhsah kepada para penguasa tersebut pada perkara-perkara yang [sebenarnya] tidak ada rukhsah padanya agar mendapatkan tujuan-tujuan duniawi mereka.Sehingga dengan hal itu timbullah kerusakan kepada tiga kelompok.[1] Penguasa, dia berkata :"Kalau seandainya aku tidak di atas kebenaran, maka tentu si fulan akan mengingkariku. Dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia [si faqih] makan dari hartaku".[2] Orang awam, dia berkata :"Tidak mengapa dengan penguasa ini, demikian juga dengan harta dan perbuatan-perbuatannya karena si faqih senantiasa di sisinya".[3] Si faqih, karena sesunguhnya dia telah merusak agamanya dengan perbuatannya tersebut" [Talbis Iblis hal, 121]AKIBAT-AKIBAT DAN MAFSADAH-MAFSADAH DARI MENCARI-CARI RUKHSAHSebagian ulama membahas pendapat-pendapat yang marjuh [lemah] untuk menghilangkan kegelisahan dari banyak manusia yang mereka terjerumus dalam sebagian kemungkaran-kemungkaran, misalnya mencukur jenggot.Contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Hubaibullah Asy-Syingqiti dalam kitabnya "Fathul Mun'im" [1/179] dalam pembahasannya tentang bolehnya mencukur jenggot dimana dia berkata :"Ketika telah meluas musibah mencukur jenggot di negeri-negeri Timur, maka aku bersungguh-sungguh mencari [kaidah] asal yang di atas [kaidah] asal tersebut aku lahirkan hukum bolehnya mencukur jenggot, hingga sebagian orang-orang yang mulia [yaitu mulia menurut Muhammad Hubaibullah, namun pada hakikatnya mereka tidak mulia, karena mereka mencukur jenggot mereka, -pent] memiliki kelapangan dalam melaksanakan hal yang haram dengan kesepakatan [maksudnya dia ingin agar orang-orang yang mulia yang mencukur jenggot mereka tidak dikatakan telah melakukan keharaman, -pent]. Maka aku membawa pengertian larangan mencukur jenggot kepada kaidah ushul, bahwa bentuk af'ala [yaitu bentuk fi'il amr yang terdapat dalam hadits mengenai perintah Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot, -pent] menurut pendapat kebanyakan orang adalah untuk menunjukkan kewajiban, namun dikatakan [juga] untuk mustahab [dia ingin memalingkan asal perintah adalah wajib menjadi mustahab], sehingga menurut dia perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot hanyalah mustahab, -pent].Al-Allamah As-Safariniy berkata [wafat 1188H] -setelah menjelaskan haramnya mencari-cari rukhsah dalam taqlid- : "Pada hal ini [mencari-cari rukhsah] terdapat banyak kerusakan dan kehancuran, dan pintu ini kalau dibuka maka akan merusak syari'at yang baik dan akan menghalalkan kebanyakan hal-hal yang haram, dan manakah pintu-pintu yang lebih rusak dari pintu yang menghalalkan zina dan minum khamr dan yang lainnya ".[Disalin dari Majalah Al-Ashalah No. 29 Tahun ke 5. Dimuat di majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M, hal. 33 - 35, penerjemah Ibnu Abidin As-Soronji]__________Foote Noote[1] Perkataan dalam kurung ini kalimat penulis, bukan perkataan Imam Asy-Syatibi -red.[2] Mudahanah : meninggalkan dan melalaikan amar ma'ruf dan nahi mungkar karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi, -red
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.phpaction=more&article_id=1152&bagian=0
Artikel Hukum Mencari-Cari Rukhsah Para Fuqaha Ketika Terjadi Perselisihan 1/3 diambil dari http://www.asofwah.or.id
Hukum Mencari-Cari Rukhsah Para Fuqaha Ketika Terjadi Perselisihan 1/3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar